"Dia aja kurang semangat dalam hidupnya, pagi kerja, sore pulang, tidur, besoknya kerja lagi, ya gitu-gitu aja siklus hidupnya, gak ada usaha lebih mengembangkan diri. Dan mereka suruh aku nikah sama orang macam itu? Sekalipun umurku udah kelewat matang, tapi ya jangan gitu-gitu amat lah jodohin orang. Kesal rasanya."
Hm. Beda tipis sih antara peduli orang lain dengan terlalu sibuk ikut campur akan kehidupan orang lain. Kadangkala, kita merasa pribadi kita sudah terlalu benar-cakap untuk ikut campur dengan pribadi orang lain, ya, kehidupan orang lain. Sehingga, akhirnya, tanpa kita sadari kita sudah terlalu dalam mencampuri urusan orang lain yang berpotensi pada melukai mereka.
Kita berpikir apa yang ada dalam diri kita, berupa prinsip, standar atau ukuran-ukuran dalam hidup yang cocok dan pas untuk kita akan pas juga untuk orang lain. Kita lupa kalau setiap manusia itu diciptakan Sang Kuasa dengan ukuran sepatu yang berbeda-beda (disesuaikan dengan bentuk kaki masing-masing). Maksudnya, setiap orang punya pergumulannya masing-masing yang disesuaikan oleh Sang Kuasa dengan kapasitas diri mereka. Dan karena ini, maka prinsip, standar atau ukuran-ukuran dalam hidup setiap orang juga tidak sama, terbentuk berdasarkan proses hidup masing-masing mereka yang telah melewati banyaknya pergumulan hidup yang membuat mereka tertawa, menangis, bertahan, atau bahkan merelakan pergi.
Seperti penggalan kalimat seorang wanita berusia sekitar 40 an tahun di atas, dia yang memilih belum menikah karena beberapa keadaan (pergumulan-pergumulan hidup), malah, mendapatkan kenyataan kurang menyenangkan dari lingkungan sekitarnya.
Iya, orang-orang di lingkungan tempat dia bekerja terlalu sibuk untuk mencarikannya jodoh, sampai-sampai tidak memikirkan proses apa yang sudah wanita ini lalui sampai akhirnya tak kunjung berumah tangga. Bahkan, kesibukan orang-orang ini telah membuat mereka tidak perduli lagi dengan standar pria yang (benar-benar) diinginkan wanita ini sebagai pasangan hidupnya.
Ya, mereka berusaha mencarikannya pria secara acak (mengingat usia wania ini sudah tidak muda lagi). Akhirnya mereka berhasil, mereka menemukan pria lajang, berusia sekitar 40 an tahun juga, dan bekerja di sebuah instansi pemerintahan. Menurut mereka, pria ini cukup cocok untuknya, bisa memberikan keturunan, kehidupan yang lebih lengkap dan bahagia.
Tapi, lalu wanita ini bertanya, "Memangnya kebahagiaan dalam hidup itu didapat ketika kita sudah menikah ya?"
Sebuah pertanyaan yang sederhana, namun, cukup membingungkan untuk dijawab. Karena, pada dasarnya ukuran kebahagian pun itu berbeda-beda antara satu orang dengan orang yang lain. Ada orang yang merasa sangat bahagia dalam hidupnya ketika mereka bisa berbagi dengan orang-orang yang kurang beruntung (baca: anak yatim piatu, anak jalanan, pengemis, dsb), ada juga yang merasakan kebahagiaan hidup ketika bisa travelling ke tempat-tempat wisata dan bersejarah di dalam ataupun luar negeri, bahkan ada juga orang yang hanya dengan memelihara orang tuanya dia merasakan kebahagiaan dalam hidup.
Jadi, terlalu sempit jika kebahagiaan hanya diukur dengan membangun sebuah bahtera rumah tangga, ya pernikahan.
Seorang ibu tunggal yang sudah cukup bahagia dengan kehidupannya bersama anak semata wayangnya, mendadak mendapat tawaran dari lingkungan sekitarnya untuk mencoba membangun kehidupan berumah tangga lagi. Berbeda dengan wanita di paragraf sebelumnya, ibu tunggal ini akhirnya pun tergoda dengan bujukan lingkungan sekitarnya. Akhirnya, dia menikah, berpindah kota-pulau, dan tentu saja berhenti dari pekerjaannya.
Beberapa tahun setelahnya, dia menemukan hidupnya tidak bahagia, bahkan mendapati anak semata wayangnya kerap diperundung oleh keluarga dari suami barunya. Tahun pun berganti, rasa sesak yang tak kunjung menemukan kelegaan, membuatnya mengambil keputusan yang nekat. Iya, cukup nekat untuk akhirnya memutuskan membawa anaknya kabur ke kampung halamannya (berbeda kota dan pulau juga) dan meninggalkan suami barunya.
Lihatlah, bukan kebahagian yang akhirnya dia dapat, malah, penyesalan yang mendalam. Dia harus berpindah-pindah kota-pulau, kehilangan pekerjaan, bahkan karena memilih kabur, dia (agaknya) mendapat pandangan baru yang kurang baik (negatif) dari lingkungan sekitarnya.
"Janda itu menikah lagi, eh, sekarang malah dia kabur dan suami barunya ditinggal. Agak aneh sih."
Benar-benar sebuah pengaruh lingkungan sekitar (melalui perkataan-perkataan yang dilontarkan), sedikit banyak telah memengaruhi keputusan orang lain akan masa depannya. Hm. Mereka semua seakan peduli, tapi, berakhir pada terlalu dalam memengaruhi-mencampuri.
Semuanya tergantung pada diri kita sendiri, kita yang kenal pribadi kita sendiri, dari mulai keinginan hati sampai kapasitas diri. Kita tidak bisa mengatur bahkan melarang lingkungan sekitar untuk berkomentar atau mencampuri kehidupan kita, karena di zaman serba digital yang dipenuhi banyak media sosial, berkomentar akan hidup orang lain itu hal yang wajar dan bahkan sudah menjadi gaya hidup. Hehehe. Tapi, meseki demikian, ada hal yang masih bisa kita atur, yaitu, respons hati kita. Iya, kita bisa mengatur respons hati kita sendiri untuk menghadapi perkataan-komentar mereka atas hidup kita.
Setiap kali orang berusaha menginterupsi hidup-keputusan-keputusan yang kita ambil dalam hidup kita, kita harusnya lebih bisa bijaksana. Jika itu memang tidak pas-cocok dengan prinsip atau standar hidup kita ya harusnya kita abaikan. Mungkin, kita bisa menjawab mereka dengan gaya bahasa seperti ini, "Apakah kalian gak punya urusan lain dalam hidup kalian masing-masing? kok sibuk banget ngurusi hidup dan urusan orang lain sih?" dan lalu mengbaikannya. Atau, jika kita merasa tidak pantas mengatakannya kepada orang yang usianya lebih tua, ya, kita bisa saja menjawab dengan gaya bahasa seperti ini "Terima kasih untuk sarannya, tapi saya juga punya pertimbangan lainnya."
Simple bukan? Karena penuh kebahagiaan atau penuh penyesalan dalam hidup itu bukan orang-orang di sekitar kita yang akan merasakannya, tapi, ya kita sendiri yang akan menanggung semua itu. Jadi, tolong bijaklah dalam merespons setiap perkataan (pengaruh) orang-orang sekitar kita dengan disesuaikan terhadap keinginan dan kapasitas diri kita.
Tapi, jika selama ini, kitalah, orang yang banyak berkomentar terhadap hidup orang lain, maka, berhentilah. Ingatlah kembali bahwa "sepatu" masing-masing kita itu tidak sama. Jadi, hargailah setiap jalan-keputusan yang orang lain ambil, jangan sampai karena perkataan-perkataan kita mereka salah mengambil keputusan tentang masa depannya. Have a nice day :)
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”