Susahnya Jadi Anak Blasteran Sunda Jawa Ketika Ditanya Kamu Orang Mana

anak Sunda Jawa

Tulisan ini pernah dimuat di Ini Kebumen

Advertisement

Cinta Laura, Yuki Kato, Amanda Rawles, dan masih banyak lagi orang-orang yang punya darah blasteran Indonesia dan luar negeri. Tapi kalian tau nggak si kalau di Indonesia juga ada lho orang-orang blasteran versi lokal. Ya, apalagi kalau bukan blasteran antar suku. Keragaman suku di Indonesia yang jumlahnya mencapai 1340 suku menurut sensus BPS tahun 2010, memungkinkan banyak terjadinya pernikahan antar suku di Indonesia. Hal itulah yang jadi penyebab lahirnya anak-anak blasteran versi lokal, termasuk saya.

Meskipun lahir dari kebangsaan yang sama, anak-anak blasteran versi lokal ini juga punya masalah yang cukup membingungkan seperti anak blasteran Indo-luar negeri ketika ditanya "Kamu orang mana?". Contoh nyatanya adalah saya, lahir dari ayah keturunan Sunda dan ibu keturunan Jawa.

Siapapun mereka, ketika berkenalan dengan orang baru pasti pertanyaan yang sering terlontar adalah "Kamu orang mana?" atau "Kamu asli mana?". Saat itulah saat dimana saya selalu bingung harus menjawab apa. Lahir dan besar di Jawa Tengah, tapi masih merasa memiliki jiwa Sunda karena sebagian kecil dari waktu saya pernah dihabiskan di sana membuat saya bingung ketika orang bertanya dari mana asal saya.

Advertisement

Bagi orang-orang seperti saya yang lahir dari orang tua berbeda suku, mungkin mudah saja menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan tempat dimana kita lahir dan dibesarkan. Saya pun menggunakan prinsip tersebut ketika ada yang bertanya dari mana asal saya. Namun ada beberapa kejadian yang membuat saya bingung harus menjawab apa ketika pertanyaan tersebut terlontar lagi.

Kejadian pertama ketika saya menjadi mahasiswa baru di salah satu universitas di Jawa Tengah. Ketika berkenalan dengan teman baru, mereka selalu kaget jika saya mengaku kalau saya orang asli Jawa. Lebih parahnya lagi beberapa dari mereka ada yang mengira saya bukan orang Jawa, melainkan orang Jakarta, Bekasi, Padang, bahkan Palembang.

Advertisement

Kejadian kedua saat saya naik angkutan umum di kota kelahiran ibu saya di Jawa Tengah. Lagi-lagi sopir yang bertanya asal saya darimana, tidak percaya ketika saya mengaku orang asli daerah sini. Hal serupa juga saya alami ketika naik ojek online di kota kelahiran ayah saya di Jawa Barat.

Kejadian-kejadian tersebutlah yang membuat saya bingung ketika nantinya ada orang yang bertanya lagi darimana asal saya. Namun terlepas dari kebingungan itu, ada hal menarik yang saya alami sebagai anak blasteran versi lokal ini.

Hidup di 2 keluarga dengan bahasa dan budaya yang berbeda membuat saya mampu berbicara dan memahami kedua bahasa dan budaya tersebut. Hal inilah yang berpengaruh terhadap logat bicara saya. Ketika berbicara dengan orang Jawa, saya bisa menggunakan logat Jawa yang kental. Namun ketika berbicara dengan orang Sunda atau orang asing, logat Jawa saya sering sekali tidak terlihat. Mungkin hal inilah yang jadi salah satu faktor kenapa orang asing yang saya temui selalu tidak percaya jika saya mengaku sebagai orang asli Jawa.

Menurut saya sah-sah saja mereka menebak asal seseorang dari logat bicaranya. Tidak bisa dipungkiri bahwa tempat dimana kita tinggal sangat berpengaruh terhadap logat bicara yang kita miliki. Contohnya saja, teman saya yang tinggal di Jawa di kampung halaman ibunya dari lahir sampai dewasa, namun masih memiliki darah Bugis dari ayahnya. Dia yang tidak pernah tinggal di kampung halaman ayahnya dan selalu menggunakan bahasa Jawa dirumahnya, wajar saja jika logat bicaranya adalah logat Jawa yang kental. Sehingga ketika berkenalan dengan orang asing yang menanyakan asalnya dari mana, mereka tidak akan kaget ketika dia menjawab bahwa dia adalah orang asli Jawa.

Menurut saya sah-sah juga jika seseorang ingin berbicara dengan logat manapun yang ia kuasai terlepas dari mana asal daerahnya. Yang terpenting adalah bangga dan tidak melupakan bahasa serta budaya yang kita miliki.

Bagaimanapun juga saya tetap bangga dengan bahasa dan budaya yang ada di sekitar saya. Hidup di 2 keluarga dengan bahasa dan budaya yang berbeda membuat saya bisa mengalami 2 atmosfer yang berbeda. Hal itulah yang semakin meningkatkan toleransi saya terhadap keragaman budaya yang ada di Indonesia.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Full time human

Editor

Not that millennial in digital era.