Dear aku,Â
Maaf karena aku pernah berusaha mati-matian untuk memperbaiki orang lain, saat tanganku sendiri harus gemetar menanggung ketidaknyamanan hidup. Maaf aku tidak memberi cukup waktu untuk memulihkan jiwaku yang hancur, aku membiarkan diriku bersembunyi dibalik lebel kenyamanan, sementara faktanya, aku sendiri berdarah-darah bersama luka yang kusembunyikan.
Aku minta maaf jika kehadiranku didepan orang lain harus memalsukan senyum terlukaku. Aku memaksakan diri untuk tertawa sehingga tidak ada yang perlu khawatir tentang keadaanku. Aku minta maaf karena aku memberikan semua waktu dan upayaku untuk orang-orang yang tidak memberikan penghargaan yang sama.Â
Aku menyesal jika ada malam di mana aku bisa menangis sampai tertidur dan tidak ada seorang pun yang tahu apalagi peduli. Dan aku sangat menyesal kalau aku tidak mencintai diriku seperti aku pantas untuk menerimanya.
Perihalnya hidup, sekarang aku mengerti. Aku tak bisa menuntut takdir untuk memenuhi keegoisanku. Mungkin ada baiknya aku menerima apa yang Tuhan takdirkan untukku, Â sepahit apapun itu, sebenci apapun orang lain terhadap jalan hidupku. Setidaknya aku tak mengganggu kehidupan mereka. Yang harus aku fokuskan adalah kehidupanku sendiri.
Karena inilah hidup. Kita terlibat dengan semesta ini. Kita menghabiskan waktu dengan napas kita sendiri. Menikmati pagi dengan mentari pagi dan kicauan burung. Menghabiskan siang dengan rutinitas yang menjemukan. Melewati sore hari bakteri-bakteri yang memenuhi tubuh setelah bekerja seharian. Lalu sejenak kita bercengkerama dengan senja sambil melangkahkan kaki di tanah yang setiap hari kita lewati. Malam harinya kita berduka dengan kenangan pahit dan manis, keletihan jiwa, dan takdir yang memilukan.
Membayangkan bagaimana kita bisa bertengkar dengan keluarga kita sendiri, istri-suami, anak-orangtua, kakak-adik, dan bahkan saudara. Kita juga menyaksikan kehidupan ini seperti sinema yang biasa kita saksikan di layar kaca. Bodohnya, terkadang kehadiran cinta yang baru justru tidak kita syukuri dengan baik. Kita menyalahkannya, karena ia tidak bisa memberikan keinginan kita yang sama seperti dulu.
Seiring berjalannya waktu, kehidupan tak semenarik dulu. Kita kehilangan sahabat yang kita kira bisa selamanya ada di hidup kita. Kita menyadari bahwa semua orang yang pernah ada, kini hanyalah masa lalu.
Kadang hidup memang mengecewakan. Kita marah, kesal, dan putus asa karena dituntut oleh kehidupan yang tak bisa kita penuhi. Kita cemas dengan ucapan dan perlakuan orang lain yang selalu menuntut kesempurnaan. Akhirnya kita mati-matian berupaya menyenangkan hati mereka.Â
Jika keberuntungan berpihak pada kita, maka kita bisa membayar semua perlakuan buruk mereka. Namun ketika takdir tak sejalan, kita bukan saja dipermalukan oleh mereka, tapi kita yang mempermalukan diri sendiri. Kita menangis, kita tertawa, dan kita membebani diri kita sendiri. Tapi disuatu titik kehidupan, kita akhirnya bisa menemukan apa artinya semua ini, di mana kita tak lagi mempermasalahkannya. Kita merenung di atas kursi kayu di teras rumah, atau kursi di dalam kamar dengan cahaya yang temaram. Kita menyadari bahwa semua ini bukan sepenuhnya salah kita.Â
Kita adalah produk baru yang diciptakan dari sistem kehidupan ini. Suka atau tidak kita harus mengikutinya. Tak peduli kita ini kaya atau miskin, yang jelas, ketidakadilan itu selalu terjadi. Layaknya lautan yang tercemari limbah dan sampah plastik, jika ikan itu adalah kita, maka kita akan menjadi korbannya. Tak ada yang bisa menanganinya dan inilah kita, seseorang yang tak kuasa ingin mengubahnya, namun nyatanya tak ada yang bisa kita perbuat kecuali menerima jalan cerita yang telah Tuhan tetapkan.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”