Surat Terbuka untuk Ibu, dari Gadis Kecilnya di Perantauan yang Tengah Rindu

Ingin terbenam dalam pelukmu, Ibu


Ibu aku rindu, kapan terakhir kali kau mengatakan itu pada Ibu?

Advertisement

Ada yang begitu lupa akan ibunya,

Ada yang sungkan mengatakan rindu padanya,

Ada yang ingin sekali pulang mendekap pada Ibu. 


Advertisement

Kita hanyalah anak yang seringkali lupa akan orangtua, karena diterpa kesibukan. Sesekali merindu namun tidak ingin mengatakan karena hubungan yang berjarak di masa lalu, terdengar aneh ketika terungkap rindu. Begitu juga ada yang tidak kuat menahan terpaan hidup yang keras di perantauan, dan seakan menggila untuk pulang hanya untuk merasakan damainya dekapan Ibu. 

Bagimu yang di perantauan, tinggal di kamar kos, malam bagaikan siang dipakai untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah, bahkan lupa untuk makan. Sesekali sengaja melupa tentang sepiring nasi bersama lauknya, hanya karena isi dompet tidak bisa menyanggupi hasrat. Menahan lapar bukan hanya pengalamanmu seorang, jadi tidak perlu sedih untuk itu. Mie instan bahkan menjadi makanan kebanggaan anak kos di akhir bulan, namun kau pun harus menjaga kesehatan. Bukankah kau merindukan masakan Ibu? Oleh karena itu, kau harus kembali pulang dengan berhasil dan sehat untuk bisa mersakan nikmatnya masakan buatan Ibu.

Advertisement


Ibu yang paling dirindukan bukanlah masakanmu, namun kau Ibu. 

Parasmu yang mulai keriput karena usia,

Tubuhmu yang tak lagi sekuat dulu, padahal aku masih mengingat jelas sewaktu kecil saat pagi kau seringkali menemaniku berjalan ke sekolah.

Tutur-katamu yang membekaliku menjlanai hidup.

Aku rindu dekapmu Ibu, hanya ingin tenggelam dalam tenang di dekapanmu, dan mendapatkan kekuatan untuk melawan berbagai persolan yang berkecamuk di dada.


Kau dan aku sang perantau, semoga kerja keras kita meraih cita-cita di berkati Yang Kuasa, dan orangtua kita diberi kesehatan. Agar nantinya Sang Ibu bisa mendampingimu saat wisuda, bangga melihatmu memakai toga, ataupun berfoto bersama sebagai kenang-kenangan perjuangan. Sang perantau tidak bisa berfoya-foya menghabiskan uang orangtua dan nihil pejuangan demi masa depan. Tidak ingin mengguruimu soal cara hidup yang benar, namun bukankah waktu ini sementara? Kau dan aku bukanlah pemilik waktu. Jika waktu adalah pemberian, bisa saja esok waktu tidak lagi diberikan kepada kita ataupun kepada orang-orang yang kita sayang. Maka Mahatma Gandhi mengatakan "Live as if you were to die tomorrow. Learn as if you were to live forever". Waktu kita berharga, jika kita bermain dengan waktu, hanya menunggu waktu kita di campakkan. Semoga kita berusaha semampunya, untuk kehidupan yang baik bagi diri sendiri dan orang lain. 


Ibu sehat-sehatlah di sana, karena aku akan berhasil, dan aku harap kau bisa melihatnya. Maaf karena sekarang belum waktunya aku mengirimkan padamu undangan wisuda, namun pasti secepatnya. Ibu sewaktu-waktu perantauan membuatku pilu, banyak tugas sana-sini, susahnya mengatur keuangan, bahkan sulitnya mendapatkan seorang yang tulus mencintai. Namun aku lupa hanya kau Ibu dan juga Ayah yang tulus mencintai bagaimanapun aku, yang tegar mendampingi apapun aku, yang rela mendekap dan membimbing walau kentaanya semua salahku.  Ibu bagaimanapun keadaannya, aku yakin aku memiliki hati yang kuat sepertimu, dan pasti bisa melewati semuanya walaupun tidak mudah.


Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

"Semoga kita ialah kebaikan-kebaikan yang diciptakan"

Editor

Not that millennial in digital era.