Akhirnya Kuputuskan Pergi Bukan Karena Benci, tapi Aku Hanya Tak Mau Terlalu Banyak Makan Hati

kuputuskan pergi tanpa benci

Awalnya kau tak menyukai dia, pasanganku. Lama-lama kau membencinya. Aku mencoba mengakrabkan kalian dengan memintanya untuk menyapamu duluan jika kalian bertemu. Kau membuang muka saat dia melakukannya. Tak kusangka rasa bencimu sebesar itu padanya. Kau bilang akan mengabaikanku jika aku bersamanya. Kau bilang kau tak masalah tanpaku karena kau bisa melakukan segalanya sendiri. Entah bagaimana semua ini terjadi.

Advertisement

Kau dan aku akhirnya seolah hidup di dunia yang berbeda walau kenyatannya kita dalam satu lingkungan yang sama. Bahkan sekarang kau memperlakukan aku lebih dari orang asing. Kau mengatakan ke orang-orang bahwa aku  teman yang lupa diri karena dimabuk cinta. Kau kecewa padaku yang menghabiskan waktu lebih banyak dengan pasanganku daripada denganmu.

Menurutmu, bagaimana bisa aku mendekatimu jika kau menghindariku seolah tubuh ini mengeluarkan bau comberan? Kau menghilang saat pertemuan dan kegiatan yang biasa kita lakukan bersama. Kau pun menggunakan pihak ketiga unuk berurusan denganku. Kau menyendiri saat aku bergabung dengan kelompok kita. Kau telah melewatkan banyak hal karena ini. Aku… kasihan padamu.

Sedangkal itukah kau anggap persahabatan ini? Atau aku yang keliru mengira, kita adalah sahabat? Ya, mungkin aku keliru, maaf jika aku membebanimu dengan status yang hanya aku yang mengakuinya. Selama ini pernahkah aku marah padamu? Pernahkah aku menunjukan rasa tidak suka di depanmu? Apa karena kau adalah teman terbaik yang tak pernah melakukan kesalahan? Tidak. Kau sering membuatku marah dan kesal. Aku hanya tak mau ambil hati. Aku sayang padamu. Aku anggap kau saudara, sebagai keluarga.

Advertisement

Aku pernah di posisimu. Aku memahami kondisimu. Karena aku pun pernah jauh dari orang tua sama sepertimu. Sekarang aku mengasihani diri karena menganggap aku punya seorang sahabat. Ingatkah saat aku mengabarimu bahwa dia bertemu orang tuaku bersama dengan orang tuanya. Kau tak merespon sama sekali. Aku malu. Aku ke-geer-an sendiri meyakini bahwa kau akan ikut berbahagia karena kabar baik itu. Malah keesokan harinya, kau mengabaikanku. Kau tak menghiraukanku saat aku memanggilmu dan mengajakmu berbicara. Miris.

Teman, aku akan tetap mengatakan kau temanku saat orang-orang bertanya siapa kau. Aku tak berharap, kau bisa memaafkan dia. Aku pun tak berharap kau akan datang kepadaku menyesali perlakuanmu padaku. Tapi, maukah kau menganggap aku dan dia sebagai orang biasa yang lalu lalang? Mohon jangan kau tampakkan rasa tidak senang saat kau mendengar nama kami. Hal ini hanya akan mengundang banyak tanya dari berbagai pihak. Aku tak mau kau membicarakan hal tidak benar mengenai kami. Selama ini aku menaruh iba padamu. Kau terus-terusan mengeluhkan perlakuan buruk orang lain terhadapmu. Dan aku mempercayainya.

Advertisement

Aku pun ikut-ikutan menaruh rasa tidak suka pada orang itu. Aku membelamu di depan banyak orang agar kau tak disalahkan. Tapi, dengan apa yang kau katakan ke orang-orang mengenai diriku sekarang, membuatku menyesal telah masuk dalam kisah sinetron yang kau buat. Aku yang salah. Harusnya aku hanya mendengar tanpa men-judge orang lain berdasarkan omongan sepihak. Aku hanya ingin kau lebih banyak tersenyum dan tertawa. Juga, mohon jangan kau menghindar saat bertemu dengan kami. Tak masalah jika kau menganggap kami tak ada, pergilah ke mana pun kau inginkan tanpa merasa khawatir akan bertemu dengan kami. Aku hanya ingin kau hidup normal.

Teman, aku hargai keputusanmu. Jaga kesehatan. Aku harap kau segera menemukan teman sejatimu.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

maybe full of "Yin"

Editor

une femme libre