Jangan sampai tulisan ini jatuh ke tangan ibuku, atau jika iya maka habislah riwayatku.
Sore itu aku menyibukkan diri disudut kamar tidurku. Tanpa sepengetahuan orang rumah, beberapa hari sebelumnya aku sengaja menyisihkan uang jajanku demi hari itu. Atau bisa jadi ibuku tahu tapi pura-pura tak tahu saat celengan plastik berbentuk ayam jago merah milikku yang masih terisi seperempat, tiba-tiba sudah raib karena ulahku sendiri.
Dengan segenggam uang receh dan beberapa lembar uang kertas, aku yang masa itu masih terlalu polos dan belia memberanikan diri membeli beberapa jenis peralatan make up berupa handbody, pelembap, bedak tabur dan sisir. Yang paling aku ingat adalah keseluruhannya dari brand-brand lowbudget sehingga nyaman bagi kantong kaum ekonomi menengah seperti dikeluargaku. Tentunya uang yang kubawa cukup untuk membeli barang-barang tersebut ditambah dengan selembar kertas kado bergambar lucu khas anak-anak.
Aku teramat exicted saat membungkus barang-barang tersebut secara satu persatu, tentu saja dengan berbagai bentuk bungkusan yang biasa aku lakukan seperti tiap kali menyiapkan kado untuk menghadiri undangan ulang tahun teman-temanku. Mulai dari bentuk permen yang dulu kusebutnya kado pocong, bentuk persegi dengan hiasan kipas, sampai bentuk bingkisan sederhana dengan hiasan pita. Aku berniat memberikan surprise untuk ibuku dihari spesialnya kali ini. Aku bahkan tak tahu sudah menginjak angka keberapa umur ibuku pada saat itu, tapi yang bisa aku pastikan adalah aku yakin bahwa ibu akan senang dengan ide cemerlangku yang satu ini. Sebab pertama, belum pernah ku dengar teman-temanku melakukan hal-hal seperti ini kepada ibu mereka, dan kedua ialah karena kebetulan handbody ibuku sudah habis sehingga kado dariku pasti akan menjadi solusinya.
Tepat diwaktu kumpul keluarga, saat sinetron kesukaan ibu sedang tayang di TV dan orang serumah begitupun aku, akan ikut bersama menyaksikannya. Aku secara diam-diam membawa bungkusan kadonya ke hadapan ibu dan dengan muka cengingisan khas anak kecil, ku berikan bungkusan tersebut agar segera dibukanya. Ibuku jelas kaget, meski ekspresinya tidak selebay seperti akting tokoh sinteron yang sedang kami tonton.
Beliau bertanya-tanya bagaimana aku bisa menyiapkannya, sedangkan aku terlalu malu untuk jujur sebab akan mengkhawatirkan jika ibu tahu darimana asal uang yang kupergunakan demi menyiapkan kado tersebut. Pasti beliau akan mengomeliku dengan dalih aku menyia-nyiakan uang atau parahnya bisa mengancamku untuk tidak boleh sembarangan membuka celengan.
Tapi naasnya, saat itu ada satu orang lagi diruang keluarga yang ikut menonton TV bersama. Seseorang yang kusebut Paklik, lelaki dewasa dari kerabat jauh yang kebetulan sedang ada urusan sehingga berkunjung ke rumah kami. Melihat kegembiraanku saat memasuki ruang keluarga dengan membawa kado untuk ibuku dan melihat bagaimana reaksi ibu yang terlihat senang dibalut rasa tak percaya karena anaknya ini ternyata memberinya kejutan, Paklik memberikan reaksi yang berbeda. Aku tak begitu ingat kata-kata apa yang diucapkannya saat itu, tapi aku ingat betul bagaimana ekspresi mukanya yang terlihat tak begitu mengenakkan seakan meremehkan usahaku.
Seketika aku diam begitu saja. Aku mengira kejutan yang kuberikan untuk ibu dihari ulang tahunnya seperti ini adalah hal yang sangat menakjubkan. Bahkan mengingat bagaimana usahaku demi menyiapkan kado tersebut sepenuh hati, mendadak membuatku nelangsa. Seakan apa yang ku lakukan adalah hal memalukan yang tidak pantas dan tidak boleh terjadi lagi. Entah kenapa aku merasa sedih, dan secara tak langsung mempertanyakan segala apa yang telah ku lakukan ini. Benarkah jika ini semua terlalu memalukan? Hingga kemudian seiring berjalannya waktu tanpa sadar aku menyetujui anggapan tersebut untuk diriku.
Usai kejadian tersebut, aku tak lagi mengulanginya. Seakan seperti kecaman, aku tak berani untuk kembali memberi ibuku kejutan seperti dihari itu. Bahkan ditahap lebih parahnya lagi, ucapan selamat ulang tahun sebagai ungkapan rasa sayangku dihari ulang tahunnya ku anggap menjadi sesuatu yang memalukan juga.
Dewasa ini, aku menyadari suatu hal dibalik kejadian dihari itu. Bahwa komentar dari Paklik tersebut, menjadi salah satu penyebab besar mengapa aku tumbuh menjadi sosok yang tidak dengan mudahnya mengekspresikan rasa sayang secara lisan maupun melalui kejutan-kejutan kecil berupa pemberian benda atau barang.
Kini aku mulai mencoba untuk membuka diri, mencoba mengungkapkan hal-hal sebagai ekspresi tanda perhatian dan sayang. Memang masih terlalu aneh dan asing bahkan jatuhnya menjadi gengsi bagiku meski hanya sekedar merangkul ibuku atau orang-orang yang kusayangi disekitarku. Masih juga terlalu sulit seakan rasanya seperti mendobrak dinding pagar beton yang terlalu keras untuk ku hancurkan.
Namun aku yakin bahwa besok atau entah suatu saat nanti, aku bisa merangkul dan memeluk hangat ibuku. Aku akan memberinya ucapan sayang dan memberinya kejutan semudah seperti apa yang dulu pernah aku lakukan dimasa kecilku. Teruntuk ibuku tersayang, keberadaanmu yang teramat istimewa akan aku usahakan bagaimana caranya untuk bisa menyatakan diri dihadapanmu bahwa ibu adalah sosok spesial yang selalu ingin aku bahagiakan.
Surat sayang untuk ibu, dari anakmu yang masih terlalu gengsi untuk mengaku.
Selamat hari ibu, untukmu yang memiliki tempat istimewa di hatiku.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”