Tidak terdengar suara cerewetnya Ibu membangunkanku di pagi ini. Tidak ada harum masakan Ibu yang menusuk hidungku, atau suara surau dekat rumah yang selalu khas saat membangunkanku. Aku masih di Jogjakarta, tempat perantauanku. Tempat yang jauh dengan kampung halamanku. Pagi ini, di puasa hari pertama, rasanya ada yang hilang. Sahur yang seharusnya aku masih mengantuk di ruang tengah, namun saat ini aku harus bergelut di dapur dengan cabai-cabai dan mentega, atau saat berbuka yang aku harus menuangkan sirup marjan ke gelasku sendiri, ingin manja rasanya.
Beberapa hari ke depan, aku harus menjalani kehidupan seperti ini, bahkan lebaran di perantauan. Bagaimana itu tidak terlihat begitu berat? Bagaimana juga aku harus melewati ini semua? Tidak ada yang membuatku bisa tersenyum saat ini, kecuali aku yang tadi malam bermimpi berbuka dengan kurma andalan Ibuku yang Ia sering bilang “Makan satu, atau tiga!”, setidaknya aku bisa tersenyum sahur ini, meski air mata menetes juga. Rindu pada masakan Ibu, yang aku selalu protes kepadanya karena merasa bosan dengan menu yang ada. Tapi sekarang, bukan tentang menu yang aku protes dibuatnya, tapi kesempatan untuk sahur atau berbuka di rumah yang selalu aku tunggu.
Aku bukan seorang cenayang, tapi aku tahu bagaimana ini akan terlihat sangat membosankan. Hari-hari akan penuh dengan sepi, hari-hari yang akan membuatku semakin rindu dengan suasana Ramadan di rumah. Setiap pagi yang selalu akan terbayang cerewetnya Ibu membangunkanku, atau setiap malam tarawih yang kami pergi bersama ke surau, pagi dan malam yang akan dikenang untuk rindu di hari esok. Aku belum terlalu menguatkan diri, raga mungkin akan kuat dengan hari ini, saat ini, tapi rasa rindu akan selalu mencekik.
Aku sendiri di Jogja, temanku sudah meninggalkan kontrakan. Mereka diminta untuk pulang oleh keluarganya, dan aku yang diminta untuk tetap tinggal. Aku berusaha memahami apa yang ibuku katakan. Ia memperhatikan kesehatan semuanya, keluarga, termasuk aku, dan aku harus tetap tegar menghadapi ini. Keputusan Ibu ku sangat tepat, anjuran untuk tidak pulang menurutku sangat logis untuk sekarang, aku anak laki-laki, aku harus lebih logis dari Ibuku, maka aku harus menerima keputusan itu.
Aku payah dalam membuat masakan, sudah tiga hari aku makan dengan telur. Hari pertama telur dadar, hari kedua telur mata sapi, hari ketiga telur kocok, hari-hari selanjutnya mungkin aku harus menggantinya dengan telur dinosaurus haha. Tapi dengan metode masak yang sama, ada bedanya. Aku perlu membeli buku masak, perlu membacanya, mungkin akan ku kumpulkan bukubuku masak demi corona ini, setelahnya akan kudonasikan untuk tukang gorengan, mungkin bisa jadi referensi untuk mereka, atau mungkin bisa mereka jadikan sebagai bungkus produk yang mereka pasarkan, akan lebih berguna.
Hari ini akan dikenang, akan kuceritakan bagaimana rasanya tidak berpuasa dan lebaran di rumah, karena tertahan situasi seperti ini. Ini akan menjadi sejarah, aku akan menyimpannya. Tidak ada keluarga, tidak ada juga teman-teman, bukber mungkin akan di tunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan, tapi aku harus menahan diri, harus mengerti dengan situasi, maka mengertilah situasi denganku, untuk tidak memberikan rasa sedih kepadaku. Aku mengandalkanmu, hati dan situasi.
Mungkin tidak akan juga ada koran-koran yang berdiam di tanah lapang, atau orang-orang yang memakai baju baru di surau komplek, lebaran akan sangat sepi, aku sudah bisa membayangkan itu. Hal yang lebih buruk, teman-temanku yang sama denganku, yang masih di perantauan sudah menunjukkan keanehannya, melalui status whatsapp, mereka sudah bicara sendiri haha, mungkin itu efek yang dirasakan karena situasi sekarang, apakah aku akan menjadi seperti mereka juga? Aku belum tahu, tapi sepertinya akan terjadi, doakan aku agar melakukan hal yang baik dan bermanfaat saja. Amin.
Ramadan kali ini, aku harus kuat, dan teman-teman yang juga berada di perantauan, kita harus kuat. Momen bersama keluarga akan sangat indah, tapi simpanlah dulu keinginan itu, bukankah kita sangat menyayangi keluarga kita? Bukankah kita ingin menikmati momen itu terus menerus? Maka tinggallah kawan! Tinggalah di perantauan, simpan keinginan sampai situasi membaik dan kita akan bertemu kembali dengan keluarga, bukankah itu pilihan yang lebih baik? Daripada memaksakan diri untuk pulang yang kita tidak tahu apa yang kita bawa dari perantauan.
Sabarlah.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”