[CERPEN] Sudut Ruang yang Kita Singgahi Bersama

Ternyata aku salah, 2 tahun berjalan selanjutnya bahkan sampai saat ini kami masih bertemu di kedai kopi yang sama.

Aku duduk di sudut ruang favoritku, sambil menunggu, lagi-lagi ingatanku melayang pada malam 2 bulan lalu, di tempat ini, dengan obrolan yang seharusnya tidak pernah ku anggap serius apalagi menjadikannya doa.

Advertisement

Hampir 20 menit aku menunggu, tapi batang hidungnya belum juga terlihat. Seharusnya, aku pulang ke rumah dulu walau hanya sekedar ganti baju, tapi, entah kenapa setiap kali ada janji bertemu dengannya, aku selalu semangat seperti ini, meski aku tau dia selalu datang tidak tepat waktu.

Laki-laki yang sudah 3 tahun terakhir ini, yang entah harus kusebut siapa. Pacar? Bukan, karena dia tidak pernah menyatakan aku mencintaimu, ya walaupun cinta memang tidak harus dengan pengakuan sih, tapi tetap saja bukan, aku seorang perempuan yang butuh penjelasan.

Aduh, bicara apa sih aku ini. Setelah bukan pacar, apakah ia bisa disebut teman? Padahal yang kami lakukan 3 tahun terakhir ini sudah seperti layaknya pasangan? Ah, tentu saja Jan, Arkan itu temanmu! Memang mau kamu sebut siapa lagi? batinku berteriak lantang.

Advertisement

“Hai! sorry ya lama” sapanya, setelah 30 menit berlalu aku menunggu.

“Huh, kebiasaan” dengusku, kembali meneguk capucinno favoritku.

Advertisement

“Hehehe, ya maaf deh. Tapi beneran lho, kali ini karena macet. Kamu kan tau, aku tadi berangkat dari kantor pusat yang notaben jalanannya sudah langganan macet” jelasnya, sembari celingukan, yang sudah ku pastikan mencari stop kontak.

“Nih, dibawah kaki ku” kataku, menyadari kebingungannya. Dengan cengiran tanpa dosa, ia menunduk untuk mengisi daya ponselnya yang nyaris habis.

“Kamu sudah pesan?” tanyanya retoris.

“Menurutmu ini apa?” imbuhku sedikit kesal atas pertanyaannya, lalu menunjukkan segelas es capucinno, dan lagi-lagi bulan sabit terbit di bibirnya.

“Yaudah aku pesan dulu ya. Kamu mau refill nggak? Atau mau makanan yang lain gitu? Kelihatannya kamu tidak dulu pulang ke rumah” tawarnya seraya memperhatikan penampilanku.

“Makanannya samakan saja dengan apa yang kamu pesan, untuk minumannya aku ingin air mineral saja, kalau aku refill capucinno ini, yang ada besok aku jadi zombie” Ia hanya tertawa, lalu menuju kasir untuk memesan pesanannya.

3 tahun lalu, untuk pertama kalinya, kami dipertemukan sebagai partner kerja satu perusahaan, ya meski beda divisi, tapi kami sering terlibat proyek bersama. Kok bisa? Ya bisa, karena minimnya sumber daya manusia di perusahaan kami, jadilah antara divisi satu dengan yang lainnya saling membantu program kerjanya masing-masing.

1 tahun setelah perkenalan kami, Arkan— temanku ini memilih resign dari perusahaan yang menaungi kami, karena katanya ada masalah pada divisinya yang sudah tidak bisa lagi di toleransi. Saat pertama kali mengetahui keputusannya ini, perasaanku biasa saja, dan mendukung sebagaimana layaknya teman yang baik. Ku pikir setelah ia resign, komunikasi diantara kami akan terputus begitu saja. Ternyata aku salah, 2 tahun berjalan selanjutnya bahkan sampai saat ini kami masih bertemu di kedai kopi yang sama.

“Nih, aku pesan nasi goreng. Lapar banget, hehe. Kamu nggak papa kan makan nasi jam segini? Nggak usah diet-diet lah” ucapnya menyodorkan nasi goreng ayam kesukaanku.

“Ya, berhubung aku juga lapar, apa boleh buat” imbuhku, membuatnya tertawa lagi lalu mengacak rambutku dengan asal, membuatku kesal karena tatanannya jadi berantakan.

“Ih, Arkan! Bisa ngg—“

“Apa? apa?!” tantangnya. “Pasti kamu mau bilang ‘bisa nggak sih, nggak usah ngacakin rambutku, kan jadi berantakan’ gitu kan?” tambahnya, menebak ucapan yang akan ku ucap dan memperagakannya. “Jawabannya akan tetap sama Jan, aku nggak bisa, wle!”  pungkasnya, lalu dengan tanpa dosa melahap kembali nasi gorengnya. Aku hanya mendengus, lalu menyuap nasi gorengku dengan rakus.

“Pelan-pelan Jan, nanti tersedak” tegurnya sembari memasang wajah jenaka. Aku bergeming, pura-pura sebal terhadapnya.

“Aku mau cerita nih Jan” ujarnya dengan suara mendadak serius. Aku yang awalnya pura-pura sebal dengan makan sambil menghadap jendela, refleks langsung menghadapnya.

“Aku mau nanya deh Jan, kal—” tambahnya.

“Jadi kesimpulannya kamu mau cerita atau mau nanya sih Ar?” timpalku memotong ucapannya.

“Dua-duanya”

“Ya, mana bisa! Harus sat—” selorohku.

“Yaudah deh iya, mau nanya”

“Ini kan Selasa—“

“Anak SD juga tau kali kalau hari ini itu hari selasa, Ark—“

“Bisa nggak sih jangan menyela bicaraku dulu?” katanya kembali memungkas ucapanku. Aku hanya nyengir tanpa dosa lalu meneguk air mineralku.

“Ini kan selasa, minggu besok kamu libur nggak?” kata Arkan mengulangi ucapan yang sebelumnya ku potong.

“Alhamdullilah libur, paling nyetrika aja di rumah. kenapa memangnya?”

“Hahaha, dasar bibik!” cibirnya, menertawaiku.

“Yee, terus saja terus, ledek saja sampai kamu puas”

“Hehehe, bercanda kali Jan. Temani aku ke Mampang yuk?.Ada acara pameran fotografi disana”

“Hmm boleh juga. Jam berapa?

“Jam 4an saja gimana? Acaranya dimulai jam 6”

“Oke!” kataku, membuatnya tersenyum lebar.

“Yang begini nih baru keren” pujinya kepadaku, tak lupa kembali mengacak tatanan rambutku, kembali membuatku sebal,  lalu dengan tanpa rasa bersalahnya ia kembali melahap nasi goreng.

“Untung sayang” batinku.Ehh—

Berhubung letak duduk posisi kami di sudut ruangan lantai 2, dan berdekatan dengan tangga, bukan tidak mungkin aku dapat melihat siapa saja yang memasuki area ini. Tak luput anak kecil laki-laki yang ku perkirakan berusia 5 tahun, tiba-tiba saja terjatuh tepat setelah anak tangga terakhir dan menangis.

“Aduh, sakit ya? yuk, bangun sama kakak” kataku membantunya berdiri, lalu mengusap-ngusap lututnya, namun anak itu masih saja menangis.

“Kan jagoan, masa nangis? Nih, udah kakak injak tangganya jahat ya” imbuhku lalu berpura-pura menginjak tangga, membuat tangisannya sedikit reda.

Tak lama, seorang perempuan tergopoh-gopoh menaiki tangga dan memeluk anak laki-laki ini, yang ku yakini adalah ibunya.

“Ya ampun Rendy, kamu nggak papa Nak? Mana yang sakit?” ucap perempuan itu, mengecek keadaan tubuh anaknya.

“Enggak jadi sakit Bun, aku kan jagoan” kata Rendy— anak laki-laki itu. “Makasi kakak, udah nolongin Lendy” imbuhnya yang ku rasa belum dapat mengucapkan huruf R dan langsung memelukku.

“Terimakasih Mbak ya, sudah nolongin anak saya. Dia ini memang tidak bisa diam. Tuh, kan sudah lari lagi” ujar sang Ibu, ketika melihat Rendy berlari lagi meninggalkan kami.

“Sama-sama Bu, namanya juga anak kecil. Saya permisi ya” pamitku,mengulas senyum.

“Udah cocok tuh” celetuk Arkan saat aku kembali ke kursi ku.

“Cocok apanya?” tanyaku tidak mengerti.

“Cocok jadi Ibu idaman, hahaha” ujarnya, membuatku sedikit merona.

 “Nggak mempan gombalanmu, huh” dengusku membuatnya tertawa, lalu aku meneguk air mineralku.

“Kapan nikah?” tanyanya tiba-tiba, membuatku langsung tersedak.

 “Astaga Jani! Sudah ku bilang kan, makannya pelan-pelan dong, eh salah minumnya maksudku pelan-pelan juga, Aku nggak akan minta kok, udah punya nih” tegur Arkan jenaka, membuatku langsung memukul lengannya.

 “Ya, lagian tiba-tiba nanya begitu. Ada apa sih?”

“Kebiasaan, pertanyaan dibalas pertanyaan” dengusnya, lalu meneguk jus jeruk.

“Kepo kamu!” jawabku jutek,lalu kembali menyuap nasi goreng.

“Yeh, ni anak. Aku tuh serius nanyanya tau” rajuknya, aku tetap bergeming seolah-olah sedang berpikir.

“Lalu, setelah nikah nanti, ada nggak sih kota atau tempat impian yang mau kamu jadikan rumah untuk menghabiskan sisa waktu di dunia ini?”

Beberapa detik hening, hingga aku akhirnya menjawab pertanyaan aneh itu.

“Keren kamu, ternyata selama ini selain jadi perawat, kamu paruh waktu jadi wartawan ya? Nanya kok sudah seperti tidak ada tanda titik saja” jawabku jenaka, tapi Arkan memilih diam, yang membuatlu merasa bahwa ia memang benar serius akan pertanyaannya.

“Target nikah sih tahun depan, tapi ya nggak tau juga. Kalau tempat, aku ingin sekali menetap di Kota Bogor” kataku, yang spontan membuat Arkan mengeryitkan dahi.

“Kenapa Bogor?”

“Adem aja, terus nggak bikin pusing kaya Jakarta” pungkasku.

“Alasan klasik, huh. Tapi sepertinya memang enak sih tinggal disana,sejuk aja gitu bawaannya” aku mengangguk saja.

“Kalau kamu sendiri gimana?” tanyaku pada Arkan.

“Target nikah masih 2 tahun lagi sih” aku gantian mengeryit, seakan mengerti kerutan yang timbul di dahiku, Arkan kembali melanjutkan ucapannya.

“Aku ingin, istriku nanti hidup dengan keadaanku yang tidak menyusahkannya, sudah memiliki rumah dan ku rasa tempat impian kita sama Jan” jawabnya membuatku bingung dan sempat terdiam beberapa detik, dan detik berikutnya aku hanya tersenyum mengangguk.

“Tapi ya Ar, tanpa kamu harus mempunyai rumah dan segala kemapanan yang kamu maksud itu, ku rasa calon istrimu mau kok diajak susah bareng” timpalku, ia mengangguk lalu kembali menjelaskan.

“Iya aku paham kok Jan, hanya saja aku sendiri yang memiliki tujuan untuk tidak ingin mengajak istriku nanti susah, hehehe” pungkasnya, lalu melahap suapan terakhir nasi gorengnya.

“Serem ya, nasi goreng bisa buat orang senyum-senyum sendiri kaya orang gila” ucap Syabil—sahabatku yang baru saja tiba dan memilih kursi yang sama saat Arkan tempati waktu itu.

“Lama banget sih?!” semburku padanya tanpa melanjutkan topik sebelumnya. Namun Syabil tetaplah Syabil, ia tau bahwa aku sedang mengalihkan topik.

“Mau sampai kapan itu nasi goreng kamu senyumin? Sampai butik tutup, dan kamu nggak jadi fitting?” omel Syabil yang langsung ku hadiahi cengiran kuda.

“Yaudah ayuk jalan. Kamu yang bawa ya Bil?” pintaku disertai puppy eyes. Syabil mendengus, namun tetap menuruti permintaanku.

“Duh, kenapa aku belok sini ya” ucap Syabil bermonolog ketika kami baru saja meninggalkan butik.

“Ehh, mau ngapain kamu?!” pekikku, saat melihat Syabil hendak menuju jalan untuk memutar.

“Ya, putar balik lah! Nanti yang ada kamu flashback lagi”

“Nggak usah Bil, kenangan itu mau sampai kapan juga tidak akan pernah hilang, hahaha” jawabku, Syabil hanya bergumam ya ya ya, lalu kembali melanjutkan perjalanan menuju butik tanpa memutar arah.

Namun perkataan yang ku ucap sepertinya akan ku ingkari juga, nyatanya Syabil benar, ingatanku kembali melayang bersamanya saat melewati gedung pameran itu.

“Sumpah Jan, ini keren banget! Aku pengen deh bisa fotografi kaya gini” ujar Arkan excited ketika melihat salah satu hasil karya fotografer terkenal yang mengikuti pameran ini.

“Kamu bisa kok!” timpalku menyemangati.

“Ah, tapi tetap saja masih bagusan hasil jepretanmu daripada aku” imbuhnya putus asa.

“Yakin ini Arkan? Tumben merendah gitu sebelum mencoba” ucapku, lalu berjalan mendahuluinya menyusuri ruangan yang lain.

“Ya habisnya, kamu tau kan, pekerjaanku yang lebih sering di rumah sakit, mana ada waktu belajar untuk fotografi sekeren ini?” timpalnya, menyejajari langkahku.

“Hei! Arkan yang ku kenal walau salah satu hobinya ngaret—“ Arkan melotot kepadaku “Tapi ia tidak akan pernah putus asa sebelum mencoba” tambahku, membuatnya tersenyum lebar lalu mengacak rambutku, membuatku sedikit sebal dengan mempoutkan bibirku beberapa senti.

“Apa? apa? mau ngomel lagi?” katanya, usai mengacak tatanan rambutku, yang kali ini ku biarkan saja, lalu meninggalkannya menuju ruang selanjutnya.

“Jan?” panggil Syabil yang belum sepenuhnya mengembalikan ingatanku.

“Jani!” teriaknya, lalu sengaja menginjak rem mendadak, membuat dahiku nyaris terbentur dashboard.

“Astaga Syabil kamu kenapa sih?!” omelku ketika mendengar klakson kendaraan yang lain, karena Syabil yang rem mendadak.

“Kamu tuh yang kenapa? Benar kan dugaanku, kamu melamun lagi”

“Eng-gak, aku hanya mengantuk” jawabku asal.

“Kebiasaan! Kamu tuh nggak jago bohong Jan” ujarnya, kembali melanjutkan perjalanan.

“Kamu tadi kenapa manggil aku?” tanyaku mengalihkan topik.

“Aku mau tanya soal MUA, sudah stand by kan?”

“Sudah dong! Kamu gimana sih, aku gitu lho!” jawabku berbangga diri, mengingat aku mempunyai kebiasaan lupa.

Sore ini, senja begitu damai hadir menghiasi langit. Dimana dalam hitungan menit kedepan, hari ini akan menjadi sejarah pertama bagiku untuk menyapa kehidupan baru yang akan ku jalani.

 “Saya terima nikah dan kawinnya, Anjani Malika Akbar binti Malik Akbar dengan mas kawin tersebut, tunai” ucapnya dengan lantang tanpa jeda, membuat seluruh saksi mengucapkan kata sah bersamaan.

Dan bersamaan itu pula, tak dapat dibendung lagi, air mataku jatuh dengan derasnya. Terlebih, ketika, melihat perempuan berbalut kebaya putih itu menghampiri Arkan lalu mengambil tangannya  dan mengecupnya penuh khidmat, pun juga Arkan yang terlihat sangat menawan dan tegas menyatakan perempuan yang ia kecup keningnya itu adalah orang yang akan mendampingi sisa hidupnya.

“Kamu hebat Rinjani!” gumam Syabil, seraya memelukku yang masih menunduk, belum mampu melihat adegan apalagi yang akan dilakukan Arkan dan Anjani di depan sana.

Aku senang dapat hadir di pernikahanmu, dan tak pernah menyesal juga mengenalmu. karenamu aku jadi paham, bahwa seharusnya dari awal aku tidak mempercayai ucapanmu apalagi berharap menjadi perempuan yang dilamarmu.

Tenang saja Ar, kamu jangan pernah merasa bersalah atas penantian sia-siaku ini, karena ini jelas kesalahanku sendiri. Tak perlu  khawatir juga soal kehidupan baruku selanjutnya. Yang pasti tanpa kamu. Terimakasih sudah berani memberiku harap juga menguatkanku hingga kuat. Kamu tetap jadi yang terhebat.

Semoga kamu bahagia, Arkan Harun Nugraha.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini