Terkadang suka terbesit didalam pikiran saya tentang masa lalu, hal-hal baik maupun hal-hal buruk yang terjadi sepanjang hidup saya. Apalagi disaat mood dan suasana hati sedang buruk-buruknya akan banyak flashback tentang kejadian-kejadian tak mengenakkan dikepala saya.
Salah satu kejadian yang masih bikin saya teringat adalah bullying semasa sekolah. Yup, saya pernah dibully. 5 tahun lamanya, sejak saya duduk di bangku SMP sampai disaat nyaris menyelesaikan pendidikan SMA. Saya tidak ingat bagaimana hal itu terjadi, yang saya ingat pertama kali hanyalah sekelompok geng cewek dan cowok dikelas saya yang kerap mengatai saya dengan kalimat-kalimat yang tidak mengenakkan.Â
Kebetulan waktu masih SMP kelas kita dibagi menjadi dua yaitu kelas A dan kelas B. Kelas A untuk murid-murid yang pintar dan termasuk didalam ranking besar, sedangkan kelas B isinya anak-anak yang bodoh tidak ranking, biasa saja secara akademis, namun sangat berbakat dalam bidang non akademis (harus saya akui memang betul).
Saya termasuk didalam kelas B ini. Dan mungkin karena mereka bukan anak-anak berprestasi dan ranking, otomatis mereka menjadi anak yang malas dan nakal. Akhirnya tanpa saya sadari saya sudah menjadi (salah satu) target bullying dikelas. Selain dihina dengan kata-kata kasar, setiap kali saya lewat didepan mereka atau baru datang ke kelas, mereka akan bersorak-sorak sembari memasang tampang jijik seakan-akan saya adalah setan atau semacamnya.
Saya juga dikucilkan dari pergaulan, kerja kelompok (mereka akan protes keras jika mendapatkan saya sebagai anggota kelompok), jam olahraga dan aktivitas-aktivitas lainnya. Saya juga pernah dilempari bola kertas dan benda-benda lainnya. Dikatain bego, jelek, tidak bisa apa-apa, autis merupakan suatu hal yang sudah biasa.
Pernah juga saya dibilang belagu dan cuma hoki doang ketika saya mendapatkan nilai ujian yang bagus wkwkwkwkwk (mereka tidak tau butuh usaha keras untuk mendapatkan nilai bagus karena saya bukan tipe yang mudah menyerap pelajaran).
Kalau dipikir-pikir lagi rasanya sekarang terasa lucu sekali kelakuan bocah-bocah ABG labil di masa itu. Dengan mudahnya mereka menjudge, merendahkan dan mengucilkan orang lain tanpa ada effort untuk mengenal lebih dekat dan memahami terlebih dahulu. Bagi kalian yang dulu pernah menjadi tukang pembully, diantara kalian pasti ada aja yang mengeluarkan berbagai macam excuses seperti dulu masih kekanak-kanakan lah, cuma bercanda lah, si korban yang salah/minta di bully lah blablabla.
Ya memang sih, dulu masih bocah ABG ingusan yang otaknya masih belum tumbuh dengan sempurna, emosi juga masih labil. Masih masa-masanya mencari jati diri dan pengakuan. Tapi apapun alasannya, tidak ada yang setuju jika bullying adalah tindakan yang mulia.
Bullying sangat dikecam dimanapun. Sayangnya bullying masih marak terjadi terutama di negara +62 ini, dari jaman dulu saya masih bersekolah hingga saat ini ketika usia saya nyaris mencapai kepala tiga. Saya kerap mendengar berita-berita di TV maupun online tentang bullying di sekolah, di tempat kerja maupun di lingkungan keluarga sendiri. Miris rasanya mendengarnya.
Rasa-rasanya bullying di jaman sekarang jadi berasa seperti trend yang wajib diikuti dan dilakukan supaya mendapatkan pengakuan. Itulah yang saya rasakan. Saya merasa ada kebanggaan dan kepuasan tersendiri dari para pelaku bullying saya dulu karena berhasil menjadikan saya target mereka.
Mungkin selain rasa bangga, tersimpan juga ketidakbahagiaan dibalik semua itu. Mungkin mereka stress, punya dendam pribadi, keluarga yang tidak harmonis (beberapa pembully saya broken home, memiliki orangtua yang terlalu mengekang dan tidak perhatian), kurangnya didikan orangtua, atau pernah mengalami bullying juga di masa lalu.
Selama dibully, saya tidak pernah satu kalipun mengatakan sesuatu, mengadu, memarahi atau membalas perbuatan mereka. Bahkan saya tetap memasang ekspresi wajah lempeng dan tidak pernah menunjukkan kemarahan walaupun didalam hati rasanya sakit luar biasa. Sampai sekarang pun, saya masih menyesalinya. Saya berharap bisa kembali ke masa lalu dan at least stand up for myself. Serang balik mereka, biarpun mungkin ujung-ujungnya saya akan dikeluarkan dari sekolah.
Sedihnya, terkadang ketika korban bullying mencoba membela diri dengan cara apapun atau mengadu kepada pihak lain, merekalah yang disalahkan. Si pelaku bullying akan playing victim seakan-akan mereka tak bersalah dan sang korban lah yang mengusik mereka duluan. Melaporkan tindakan bullying pada guru atau orangtua tidak membuat para pelaku jera, malah yang ada tambah menjadi-jadi.
Sebenarnya suka serba salah sih, terjebak diantara dua pilihan entah untuk mendiamkan perlakuan bullying atau melaporkannya. Keduanya sama-sama ada nilai plus dan minusnya. Melaporkan tindakan bullying kepada pihak lain pun terkadang diremehkan atau dianggap angin lalu. Padahal korban bullying akan sangat membutuhkan support dan perlindungan.
Tapi tidak ada salahnya kok stand up for yourself.  At least, tunjukkin kepada mereka jika kamu bukan pribadi yang tangguh dan tidak mudah dibully. Siapa tau dengan tindakanmu mereka akan menghentikan aksi mereka. Bisa juga membuat mereka berubah pikiran tentang dirimu. Dengan kamu berani membela dirimu sendiri, siapa tau kamu bisa menyelamatkan korban-korban bullying lainnya dan pada akhirnya aksi bullying bisa dihentikan.
Bagi orang-orang yang tidak pernah mengalami bullying dalam hidupnya, mungkin mendengar kisah saya atau kisah orang lain yang pernah dibully terkesan biasa aja atau lebay, namun seringkali mereka tidak mengerti apa efek secara mental dari bullying tersebut.
Banyak kasus dimana korban bullying menolak pergi ke sekolah, menjadi depresi, trauma, menyakiti diri sendiri atau ujung-ujungnya bunuh diri. Atau ada juga yang berubah menjadi pelaku bullying. Lingkaran setan yang akan terus berputar jika tidak ada aksi untuk menghentikan tindakan bullying.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”