Terhitung sudah enam tahun lamanya sejak saya meninggalkan pulau Dewata itu. Suasana bandara yang ramai, aroma pantai, dan kerajinan laut yang tersebar di berbagai sudut kota. Jika tiket penerbangan dari Solo menuju Bali tidak semahal saat ini, mungkin saya sudah menghafal jalanan di sana. Mari simak perjalanan sederhana saya di Bali!
Saya sampai di Bali ketika siang hari. Tour guide saya saat itu mengantarkan saya dan keluarga menuju rumah makan pinggir sawah di Ubud. Beruntung, saat itu resto terlihat sepi. Hanya ada keluarga saya dan sepasang bule yang sedang singgah makan. Hidangan sudah disiapkan di meja ketika saya datang, mungkin karena sudah paketan dari tour. Ketika saya makan di sana, angin sejuk terus menyapu wajah saya dengan tenang. Pelayan yang berpakaian adat Bali berjalan mondar-mandir seraya bercanda dengan bahasa daerah yang sama sekali tidak saya mengerti. Suasana yang menarik.
Kemudian saya dan keluaraga melanjutkan untuk berkunjung di wisata pinggir pantai, yaitu Tanah Lot. Perjalanan yang jauh itu membuat rasa lelah saya mulai muncul. Bahkan, saat sampai di sana langit sedang dalam keadaan tidak bersahabat. Awan berat beserta angin kencang menerpa tepi pantai. Saya ingat sekali, ketika itu tour guide kami meminjamkan udeng merah miliknya pada adik saya. Kemudian kami mengambil foto sekeluarga dan berkeliling Tanah Lot. Kami menghabiskan waktu yang tidak lama di sana karena cuaca terlihat semakin mengkhawatirkan. Oleh karena itu, kami pun segera berpindah ke tempat wisata berikutnya, yaitu Garuda Wisnu Kencana.
Patung besar berbentuk burung dengan seseorang yang menaikinya itu terlihat diberbagai daerah di Denpasar. Berkali-kali saya mengira besar ukuran patung itu ketika dalam perjalanan ke sana. Sesampainya di sana, wilayah GWK ternyata begitu besar. Kami harus mengendarai buggy car untuk dapat sampai di dekat patung utama tersebut. Hamparan luas tanah gesang dengan batu yang membentuk dinding menjulang tinggi menemani perjalananku menuju patung Dewa Wisnu tersebut. Ternyata di bawah patung tersebut, terdapat bangunan museum bertingkat yang berisi manekin karakter-karakter pewayangan Bali yang menarik perhatian saya.
Karena hari semakin sore, saya dan keluarga berpindah ke aula terbuka untuk menyaksikan pertunjukan tari kecak. Ditemani langit sore, angin sejuk, dan gamelan bali, saya duduk di tangga berundak menyaksikan tari tradisional yang sangat terkenal itu. Durasinya cukup lama, dan mengejutkannya, saya mengerti jalan cerita dari pertunjukkan tersebut. Padahal biasanya saya tidak mengerti jalan cerita dan alasan setiap karakter bergerak ke sana dan kemari.
Pertunjukan selesai tepat saat matahari tenggelam, meski langit masih cukup terang. Saya dan keluarga kemudian berpindah menuju resto makan malam yang terletak di Jimbaran. Resto tersebut memberikan suasana yang tidak akan ditemukan di tempat lain. Aroma laut tipis, pasir putih yang tebal, lampu-lampu kuning yang terpasang membingkai area, dan pemusik akustik yang bernyanyi bersama dengan pengunjung resto. Sangking larut dengan suasana tersebut, saya jadi tidak ingat rasa masakan di sana. Jika di tanya, mana yang paling membekas dari Bali, mungkin inilah jawabannya.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”