[CERPEN] Suara yang Tak Terdengar di Balik Pintu

Sendirian ditengah lautan manusia tanpa bisa didengar. Di manakah aku?

Aku suka situasi di rumah sakit, terutama di emergency room. Bukan karena jerit kesakitan pasien menahan agoni dan pedihnya luka dan sakit, bukan karena banyaknya luka-luka yang menganga, tapi karena disinilah sisi kemanusiaan paling terlihat. Setiap kali ada pasien yang didorong masuk melalui pintu UGD, pertanyaan pertama yang diajukan bukan tentang siapa dia, atau agama-suku-ras apa dia, bukan juga tentang apakah ia sanggup membayar. Yang pertama kali ditanyakan adalah kondisi pasien. Apa yang terjadi padanya, sudah berapa lama, dan pertolongan pertama apa yang sudah diberikan?

Advertisement

Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Hal terakhir yang aku ingat adalah aku sedang dalam perjalanan menuju rumah nenek. Aku, ibu, dan ayah sama-sama menaiki bus pariwisata tujuan Bandung dari Jakarta.

Tapi kenapa sekarang aku ada di sini? Apakah terjadi kecelakaan? Siapa yang terluka? Ayah dan ibu di mana? Kenapa aku seorang diri di UGD ini padahal aku tidak terluka sedikit pun.

Pelan-pelan kuberanikan diri untuk berjalan mengitari UGD, mencoba mencari ayah dan ibu, atau penumpang lain.

Advertisement

Aneh, UGD hari ini ramai sekali, banyak pasien yang didorong masuk. Tim dokter, paramedis, dan suster terus menerus berlarian dari satu ranjang ke ranjang lain. Ada pasien yang datang dalam keadaan patah tulang, ada yang terluka parah. Selain itu, ada juga pasien yang ternyata meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Tapi tidak terlihat ayah dan ibu.

Pelan-pelan kumencoba memberanikan diri untuk bertanya pada tim medis di sini.

Advertisement

“Permisi dok, saya mencari orang tua saya.”

Tapi, bukannya menjawab, dokter tersebut malah berbalik badan dan langsung menjemput pasien baru yang didorong masuk. Hm, sepertinya aku harus mencari yang tidak sedang sibuk. Tapi siapa? Semua orang terlihat sangat sibuk, tidak ada seorang pun yang duduk beristirahat.

Tanpa sengaja aku melihat seorang suster yang berdiri di pinggir UGD sedang memeriksa data pasien. Kucoba mendekatinya bermaksud bertanya mengenai ayah dan ibu.

“Permisi, S. Saya sedang mencari kedua orang tua saya.”

Suster tersebut tetap tidak bergeming, ia tetap menatap kertasnya. Aku melirik badge nama yang tersemat di bajunya, Nadia namanya.

“Permisi, Suster Nadia.”

Namun tatapan suster Nadia tetap pada kertasnya, seolah-olah ia tidak mendengarku. Apakah suaraku terlalu kecil hingga tidak terdengar olehnya di tengah hiruk-pikuk ruangan ini?

“Permisi, Suster Nadia.” Sekali lagi kucoba, kali ini dengan lebih lantang. Tapi ia tetap tidak memperdulikanku. Ada apa ini? Kucoba juga dengan orang lain, semuanya sama aja.

Kenapa denganku? Kenapa tidak ada seorang pun yang bisa mendengarku? Syok dengan keadaanku membuatku jatuh terduduk di lantai dan menangis. Aku benar-benar bingung tidak tahu apa yang harus kulakukan? Kepada siapa aku bisa meminta pertolongan?

Di tengah kekalutan dan ketakutanku, tanpa sengaja aku melihat nenek memasuk ke UGD. Ah, nenek pasti bisa mendengarku. Berbekal harapan baru, aku bangkit dan lari menuju nenek.

“Permisi, saya mencari anak saya dan keluarganya. Namanya Ayu, bus pariwisata yang mereka tumpangi terjungkir balik di tol.”

Ayu? Itu kan nama ibu. Bus kami terbalik di tol? Bagaimana mungkin. Kalau memang seperti itu, aku seharusnya penuh luka, tapi aku baik-baik saja. Terkejut aku pun berhenti dan tidak jadi menghampiri nenek.

“Ah. Keluarga ibu Ayu, mereka baru saja dipindahkan ke ruang sebelah, tapi anak perempuan mereka, Nara dalam perawatan intensif di ICU, Nek,” ujar perawat yang dihampiri nenek.

Ayah dan ibu di ruang sebelah, tapi aku di ICU? Hah? Ada apa ini? Kenapa begini? Dengan takut-takut aku menginggalkan UGD menuju ruang sebelah. Di sana aku melihat tubuh ayah dan ibu bersama beberapa orang lainnya sudah ditutupi oleh kain putih.

Melihat mereka terbujur kaku, aku tak kuasa menahan tangisku. Bagaimana mungkin, baru pagi ini ibu membangunkanku untuk sarapan, dan ayah menyuruh kami bergegas mengejar bus. Semua ini pasti bohong. Tak terima akan kenyataan, aku masuk dan tertidur sambil memeluk ibu.

***

Tidak tahu berapa lamanya aku tertidur di sini, tapi yang kutakutkan benar. Itu semua bukanlah mimpi, tak peduli seberapa kerasnya aku menangis dan memanggil ayah ibu, tidak peduli seberapa erat pelukanku, tubuh mereka sudah dingin.

Di tengah isak tangisku, aku baru menyadari aku tidak sendirian. Ada nenek yang sedang meratapi ibu, ia terus menerus mengelus kepala ibu. Persis bagaimana nenek selalu meraba kepalaku saat aku sakit dulu.

“Nek… Nara takut,” isakku pada nenek. Tapi seperti orang lain, nenek juga tidak bisa mendengarku. Dengan putus asa, aku keluar meninggalkan ruangan tempat ayah dan ibu.

Aku benar-benar tidak tahu harus ke mana aku sekarang, ke mana saja asal bukan kamar tempat tubuhku beristirahat. Tapi ke mana? Aku terlalu takut untuk meninggalkan rumah sakit ini. Aku takut tersesat dan tidak bisa bertemu nenek, satu-satunya keluargaku sekarang.

***

Di tengah semua ketakutan dan sedih, satu hal yang kulupakan. Aku lupa menghitung waktu, entah sudah berapa lama aku berkelana sendirian di rumah sakit ini. Aku juga tidak tahu berapa kali nenek bolak-balik rumah sakit. Aku tidak tahu bagaimana kondisiku sekarang.

Akhirnya aku memberanikan diri melangkah menuju ICU, mungkin tidak ada salahnya aku mengetahui keadaanku. Tapi dalam perjalananku menuju ICU, tiba-tiba aku mendengar suara memanggil-manggil namaku. Suara yang lembut dan menentramkan hati, seperti suara ibu membangunkanku.

Penasaran, aku melangkah mencari sumber suara itu. Aku terus berjalan meninggalkan ICU, hingga menemukan sebuah pintu di ujung lorong ini. Sebelum aku menarik buka pintu, tiba-tiba aku ragu. Haruskah aku terus melangkah, atau kembali ke ICU seperti rencana awalku? Kalau aku melewati pintu ini, apakah aku bisa bertemu nenek? Ataukah aku akan bertemu ayah dan ibu? Atau ternyata aku akan kehilangan mereka semua?

Belum sempat aku berpikir, tiba-tiba aku merasa sakit di dada, seperti dihujani listrik dan ribuan jarum. Panik, aku pun berbalik dan lari menuju ICU. Dalam perjalananku, aku merasa mengantuk, entah apa yang terjadi, tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

***

“Nara, Nara. Kamu sudah bangun, Nak?” Terdengar suara serak nenek. Lalu dilanjutkan sahut-sahutan suster memanggil dokter. Pelan-pelan aku berpaling mencari sumber suara nenek.

“Aku kenapa, Nek?” ucapku dengan suara yang sangat pelan, dan tidak bertenaga.

“Kamu koma seminggu, Nak, kemarin malam bahkan kamu sempat kritis. Hampir nenek mengira kamu akan pergi meninggalkan nenek sendirian,” cerita nenek sambil menangis.

Mendengar cerita nenek, mengingatkanku akan ayah dan ibu, bagaimana aku menolak menginggalkan mereka dan terus duduk di lantai lorong rumah sakit yang dingin menunggu mereka. Air mata menetes dari mataku, “Maafkan Nara, nek. Nara janji nggak akan bikin nenek menunggu seperti ini lagi.”

***

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Spilling irregular ideas through words