Stop Bandingkan Diri Sendiri dengan Oran Lain di Media Sosial. Lebih Banyak Kerugian!

Stop bandingkan diri sendiri

Suatu malam saya sedang asyik mencari bahan untuk sebuah tulisan deadline. Layaknya, manusia pada umumnya, rasa bosan karena terlalu lama menatap layar laptop yang isinya full-text, membuat saya mengalihkan fokus sejenak. Setelah hampir sejam untuk waktu literasi, rasanya membuka media sosial sejenak tidaklah mengapa.

Advertisement

Media sosial yang ada di gawai saya tidaklah banyak. Hanya satu yang sering dipakai yaitu WhatsApp. Selain memang selalu sepi dan hanya rame di grup, kadang WA juga menjadi salah satu faktor ketergangguan saya. Beberapa dari kita sering kali terlalu intens untuk membuka WA kemudian menutupnya. Seolah ada seseorang yang sedang mencari keberadaan kita karena lama tak terlihat. Namun nyatanya tidak seromantis itu. 

Pada medsos tersebut, saya mendapat hal yang sama, kolom chat memang sepi tapi kolom status kian terisi. Terisi oleh para teman yang kontaknya tersimpan dan membagikan kisah hidup mereka. Dengan sengaja, jari saya tertuju pada satu status teman. Isinya sungguh menggungah perasaan, membuat hati terenyuh. Bagaimana tidak, dia sedang berperan sebagai malaikat yang turun ke bumi dengan membantu seorang kakek tua yang berjualan. 

Ditambah caption yang teramat bijak calon nominasi untuk kata pengantar buku motivasi baru dari Merry Riana. Alhasil, melihat hal tersebut saya merasa menjadi manusia yang kurang berguna. Kontribusi apa yang harus saya berikan kepada kemanusiaan?

Advertisement

Di lain waktu, dengan aplikasi medsos yang sama, saya mendapati sebuah status mengenai pencapaian akademis seseorang. Melihat hal tersebut, memicu otak saya untuk memutar ulang gambaran batapa tidak membanggakannya nilai akademis yang dimiliki. Memang tidak rendah tapi juga tidak tinggi. Sederhana layaknya rumah makan Padang. Tetapi hal tersebut kembali menghadirkan pikiran yang menghakimi diri sendiri. Betapa bodohnya saya.

Menanggapi dua masalah di atas yang serupa, kita memiliki berbagai respon yang berbeda.

Advertisement

Membandingkan hidup diri sendiri dengan kehidupan orang lain adalah sebuah hal yang tak bisa kita hindari. Sifat manusia memang sering mengeluh, mengeluh akan hidupnya. Salah satu yang memicunya adalah komparasi tentang hidupnya dan hidup mereka. Tentang rumput depan rumah dengan rumput tetangga.

Kasus pertama, dengan respon yang destruktif. Kita menjadi orang yang tertekan akan kehidupan yang telah dicapai orang lain. Bergentayangannya foto dan video dari kehidupan sanak dan kerabat hingga orang yang baru dikenal di lembaran media sosial kian membuat hidup kita seolah tidaklah sempurna. 

Ada yang sudah mendapatkan penghasilan segini di usia segini, ada yang baru saja dapat penghargaan ketika kamu sedang mengalami kegagalan, ada pula yang baru saja dapat pasangan ketika kamu baru saja habis makan sendirian, semua itu mengganggu. Semua itu membuat kamu merasa kurang segalanya. Hidupmu yang jatuh, hidup mereka yang bergemuruh riang. Tekanan itu membuat diri menjadi semakin terbebani, tak jarang menjadi sebuah depresi.

Kasus kedua, dengan respon konstruktif. Setidaknya ketika kita melihat segala pencapain orang lain yang dipamerkan secara gamblang di media sosial, hal itu justru dapat menaikan motivasi. Ada suatu penyadaran dalam diri, dalam waktu yang sudah dijalani, mengapa aku hanya berada di tahap ini. Saatnya untuk menjadi sesuatu yang baru dengan versi yang terbaik. Jika mereka mampu, begitupula aku. 

Ketika respon tersebut dikeluarkan oleh diri, ada sebuah dorongan yang membuat fokus hidup kita jauh lebih terarah. Ada sebuah cita yang mesti digapai demi memenuhi hasrat. Semua berhak dengan keberhasilan, begitu pula kita yang saat ini terlihat (dari kacamata diri sendiri) jauh dari kata “berhasil”. Perbandingan itu akhirnya menjadi sebuah obat bagi orang-orang untuk kembali ke treknya yang sebenarnya.


“It’s not what happens to you, but how you react to it that matters” – Epictetus


Ini bukan masalah apa yang sedang menimpamu, tetapi apa reaksimu terhadap hal itu. Begitulah kata seorang filsof. Memang, bagaimanapun juga bahan pembanding yang selalu didapat khususnya di media sosial, selalu menjadi hal yang sulit sekali untuk dibendung. Tak peduli bagaimanapun postingan itu, cara kita merespon adalah sesuatu yang jauh lebih penting. Entah dengan respon konstruktif ataupun destruktif. 

Saya sendiri tak bisa menjamin akan selalu merespon segala perbandingan terhadap diri sendiri dengan respon yang konstruktif. Perasaan tertekan itu pasti ada. Satu hal yang terpenting, ketika mulai membandingkan diri sendiri dengan orang lain adalah langkah selanjutnya yang diambil. 

Dan jika kamu memutuskan untuk bersaing, maka alangkah baiknya untuk tidak melihat hasil yang telah orang lain dapatkan. Itu tidak adil. Kamu memulai untuk menjadi sesuatu yang berhasil dan menjadikan keberhasilan yang sudah jadi sebagai motivasi tentu tidak akan membantumu. Kenyataannya kita lupa untuk melihat sebuah langkah maju dan berproses sebagai sebuah keberhasilan yang patut untuk dihargai.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Seorang yang menatap langit yang sama denganmu

Editor

Not that millennial in digital era.