Stereotipe Menjadi Acuan Penilaian

Stereotipe tehadap latar belakang

Stereotipe merupakan penilain sesesorang terhadap suatu individu atau kelompok hanya berdasarkan sebuah persepsi saja. Biasanya stereotip ini jarang untuk mendapatkan nilai yang akurat, terkadang hanya dasarnya saja yang benar, atau bahkan tidak ada yang benar. Stereotip merupakan salah satu skema kognitif organisasi persepsi, ada empat skema kognitif komunikasi dalam organisasi, yaitu: Prototipe, Konstruk Personal, Stereotipe, dan Skrip. 

Advertisement

Kali ini kita akan fokus terhadap stereotipe. Munculnya pemikiran semacam ini merupakan proses penerimaan informasi terhadap hal yang ada di seklilingnya. Ditambah juga dengan adanya pengalaman hidup dimasa lalu, dan penuturan kalimat dari orang lain. Hal ini bisa menyebabkan persepsi yang salah dan membuat beberapa jenis stereotip muncul seperti, Rasisme, Nasionalisme Stereotip terhadap agama atau mungkin

Nasionalisme salah satunya, stereotipe jenis nasionalisme ini yang ingin saya bahas lebih lanjut. Stereotip nasionlisme merupakan ide maupun gerakan yang bertujuan untuk merasa lebih hebat dari pada individu atau kelompok lain, dengan membandingakan latar belakang budaya, etnis, dan agama. Hal ini bukan menjadi hal yang sangat tabu dibeberapa negara, khususnya Indoenesia. Banyak orang diluar sana masih menilai seseorang hanya dari budaya, etnis maupun agama, yang dapat menimbulnya perpecahan dan bisa menjadi rasisme. Tidak bisa disalahkan memang, jika suatu individu mengalami pengalaman hidup di masa lalu, yang dimana membuat suatu individu menjadi trauma atau tidak ingin mengalami fenomena yang sama terjadi kembali. 

Stereotipe ini bisa membatasi kita dalam memperluas relasi terhadap individu lain, yang memiliki latar belakangang agama, etnis, budaya maupun suku yang berbeda. Memang bisa dinilai wajar, jika kita menilai seeorang dari latar belakangnya, akan tetapi tidak selalu dibenarkan, jika hal itu terus menerus diperlakukan. Ini yang menyebabkan warga Indonesia tidak bisa menerima suatu perbedaan, karena kebanyakan dari penduduk warga Indonesia, pasti masih ada orang yang menggunakan stereotipe sebagai acuan penilaian setiap individu.

Advertisement

Tidak perlu berpura-pura, pastinya kita akan menilai seseorang dari latar belakang, etnis, budaya dan agama, wajar memang ketika hal itu terjadi, karena itu merupakan salah satu proses persepsi terhadap suatu individu atau kelompok, akan tetapi jika hanya melihat dari latar belakang budaya, agama, ataupun etnis, itu tidak akan mendeskripsikan sifat dari masing-masing kelompok maupun individu, melainkan hanya akan mendapatkan persepsi dasar saja. Sekian banyaknya orang di dunia, khususnya Indonesia, masih merasakan atau bahkan melakukan hal tersebut. Fenomena ini sangat dekat dengan saya, karena saya pernah menjadi orang yang menilai individu atau kelompok, berdasar latar belakang mereka. 

Pada kala itu, saya pernah menstrereotipe sekelompok orang yang sedang jalan bersama dengan latar belakang etnis chinese atau tiongkok. Sebagai persepsi awal, saya peranggapan bahwa kelompok tersebut, merupakan orang orang kaya, yang hidupnya tidak pernah susah atau dalam artian, tidak pernah merasakan kemiskinan. Saya beranggapan seperti itu karena itu adalah proses penyerapan informasi atau persepsi awal dalam pikiran saya, Padahal pemikiran itu belum tentu betul sepenuhnya, karena melihat dari cara mereka berpenampilan mewah, tidak berarti mereka tidak pernah merasakan di titik kemiskinan, bisa saja sebenarnya mereka pernah mengalami. Maka dari itu sebuah stereotip itu tidak bisa seratus persen akurat,

Advertisement

Ada juga hal lain terkait stereotip sesorang untuk menilai, Fenomena ini tidak hanya berkaitan dengan penampilan atau etnis saja. Suatu individu bisa menstereotipkan sesuatu hal juga bisa muncul dari bahasa daerah yang terlontar dari mulut mereka. Dengan beragam budaya dan bahasa daerah yang ada di lingkunagn sosial, khususnya di Indonesia, banyak pasrinya yang beranggapan, bahwa intonasi perkataan juga bisa membuat seseorang menilai dan mempresepsikan hal tersebut sebelum mengenal individu itu secara langsung. Sebagai gambaran ketika kita bertemu dengan seseorang yang berasal dari daerah Suku Batak, Suku Batak dikenal dengan intonasi berbicara yang tinggi ketika berbicara dengan orang lain. 

Bagi sebagian orang yang tidak mengetahui hal tersebut, pastinya akan beranggapan bahwa orang yang berasal dari Suku Batak berwatak keras ataupun kasar, akan tetapi kenyataannya, hal itu belum tentu terjadi. Berintonasi keras atau tinggi tidak berarti dia seseorang yang memiliki sifat yang kasar, bisa saja memang dia memiliki gaya bicara sendiri, yang terbawa oleh lingkungan daerah dirinya dilahirkan.

Stereotipe terhadap suatu agama, juga merupakan hal yang sudah biasa di Indonesia ini. Banyak dari mereka yang menilai suatu kelompok ataupun individu dari latar belakangan agama, terlepas dari diperbolehkan atau tidak dalam keyakinan masing-masing, akan tetapi sebagai manusia, kita juga harus menghargai apa latar belakang mereka terutama agama. Sebagai gambaran ilustrasi, banyak yang menganggap orang yang beragama Islam dan memiliki jenggot, adalah seorang penjahat, atau mungkin, orang yang beragama Nasrani memiliki sifat yang menyebar kebencian, atau mungkin orang yang memiliki agama Konghucu adalah orang yang pelit dan tidak mau berbagi. Sebenarnya tidak seperti itu, mungkin saja dari ketiga contoh yang saya sampaikan, tidak sesuai faktanya, akan tetapi, banyak orang menganggap perbedaan penampilan ataupun latar belakang seseorang pasti mempengaruhi sifat dan perilaku seseorang.  

Dapat disimpulkam bahwa stereotip berkaitan dengan totalisasi karena, ketika kita menstereotipkan seseorang, kita mungkin tidak melihat aspek lain dari orang tersebut, aspek tidak terwakili dalam stereotip. Dengan adanya pemikiran stereotip terhadapa suatu kelompok atau individu, biasanya kita akan memunculkan beberapa persepsi dalam otak kita terhadap orang ataupun kelompok tersebut. 

Munculnya stereotip ini membuat kita mudah membenci sesorang dengan melihat dan mengetahui latar belakang, budaya,etnis, atau agamanya. Faktanya tidak selalu begitu, Penampilan baju yang biasa saja tidak berarti dia miskin, memiliki intonasi berbicara yang tinggi dan keras tidak berarti dia adalah orang yang kasar, tidak semua umat Islam mengikuti aksi kejahatan, tidak semua umat Nasrani menyebar kebencian, dan tidak semua orang yang memiliki etnis tiongkok merupakan orang yang pelit dan tidak mau berbagi. 

Pemikiran seperti ini harus kita hilangkan, sekali lagi memang wajar bila kita menilai seesorang dari gaya penampilan, dari agamanya, sukunya, etnisnya, memang wajar, akan tetapi tidak berarti membenarkan stereotip stereotip negatif yang ada di dalam otak kita. Stereotip memang sebuah proses, pengolahan informasi terhadap suatu hal yang baru, dan menilai atau mengpresepsikannya secara cepat dan dasar, meski begitu, hal ini dapat memicu konflik terhadap lingkungan sekitar. Seperti kata pepatah “Dont Judge A Book By The Cover”, pepatah ini sangat berkaitan dengan pembahasan kali ini, jangan menilai seseorang dari aspek tertentunya saja, akan tetapi perhatikanlah juga, aspek dalam dirinya dan aspke lainnya. Seperti inilah kenyataan yang ada, memang stereotip sudah menjadi proses penilaian bagi setiap orang, untuk menilai.

 

Refrensi

Wood, Julia. T (2013). Komunikasi Interpersonal: Interaksi Keseharian (Edisi 6). Salemba Humanika: Jakarta.



Poppy, Puji L (2019) Teori Komunikasi (Edisi 1) Raja Grafindo Persada, Depok

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini