[CERPEN] Si Bocah dan Si Gadis

Si Bocah hanya bisa resah sekaligus membanting tubuhnya ke atas kasur

Saat mereka bertemu untuk pertama kalinya di sekolah menengah itu, semuanya masih abu-abu. Mereka tak saling kenal, hanya saling mencuri-curi pandang. Bocah itu kadang sengaja meluangkan waktunya untuk mengintip dari jendela kelasnya, melihat gadis cantik itu diospek oleh anak-anak kelas sembilan. 

Advertisement

Betapa ia ingin menghajarnya. Namun apa daya, dirinya terjebak di kelas matematika yang membosankan. Bocah itu diberi informasi cuma-cuma oleh teman se-kampungnya tentang si gadis, bahwa ia memang adik pacarnya itu. Dengan jaringan antar kelas delapan yang dimiliki si bocah, tak susah untuk memastikan info itu benar adanya. Gadis itu baru menginjak usia ketiga belasnya. Perawakannya masih seperti anak yang baru lulus SD. Memang, memang ia baru lulus SD.

Setelah dua minggu, masa orientasi siswa pun selesai. Saatnya memasuki kelas sesungguhnya. Gadis itu terpilih masuk kelas VII D, sementara si bocah laki-laki itu di kelas VIII C. Jarak antar kelas mereka hanya dipisah oleh kelas VIII E yang hadir di tengah-tengah.

Posisi menentukan prestasi. Si bocah tiap hari kerjanya hanya memerhatikan si gadis. Ia selalu datang lebih awal di hari Kamis agar bisa memandangnya lebih lama, karena kebetulan Kamis adalah jadwal piket si gadis. Saat istirahat si bocah rela diejek temannya karena tak mau panas-panasan main bola di tengah lapang, itu juga demi si gadis. Si bocah meminjam duit temannya untuk sekadar bisa jajan ke kantin yang biasa dikunjungi si gadis, tentu supaya dapat kesempatan mengantre berdesakan bersamanya. Atau kalau beruntung si bocah bisa duduk sangat dekat dengan si gadis berkat pengaturan bangku kantin yang berdekatan.

Advertisement

Lama kelamaan ia tak tahan seperti ini terus. Si bocah ingin si gadis tahu kalau selama ini selalu ada orang yang memerhatikannya. Bahwa selama ini ada orang yang sudah jatuh hati padanya.

Di awal bulan si bocah menyusun strategi dengan matang. Ia ingin mengenal gadis itu lebih jauh dan dalam. Kebetulan di kelasnya ada teman yang se-kampung dengan si gadis, wawancara dimulai. Si bocah bertanya banyak mengenai si gadis, seperti apakah dirinya, sifatnya, kelakuannya, apa saja kegiatan sehari-harinya, dan A, B, C, D, sampai Z. Pertanyaan terakhir sebelum istirahat selesai: si bocah minta tolong pada temannya itu untuk memintakan padanya nomor hp-nya. Temannya cepat-cepat mengamininya sembari kesal, sebab waktu istirahat sudah habis dan ia belum beli bakso tahu kesukaannya untuk mengganjal perut.

Advertisement

Keesokan harinya sehabis istirahat, dan tentunya sehabis temannya itu membeli bakso tahu kesukaannya, mereka kembali mengobrol. Tak banyak basa-basi, temannya langsung bilang kalau misinya berhasil. Ia mengatakan itu sembari menyerahkan secarik kertas bertuliskan deretan angka. Si bocah kemudian menanyakan bagaimana ceritanya ia bisa dapat no hp si gadis, karena kemarin ia bilang meski se-kampung tapi jarang ada orang yang berani menggoda si gadis, apalagi sampai berani-beraninya meminta nomor hp-nya.

Temannya dengan bangga, dan sembari memakan bakso tahu kesukaannya itu mulai berkisah:

Kemarin malam seperti biasa aku mengaji di masjid kampung, dan tentu sebagai seorang muslimah ia juga mengaji meski kadang bolong-bolong karena takut gelap. Sebab materi mengajiku berbeda dengannya, aku berada di kelas yang berbeda. Aku berusaha untuk datang lebih awal ke masjid, supaya dapat antrean mengaji pertama dengan pak ustad. Aku sangat mengerti dan memahami waktu dengan baik. 

Yang aku pahami, ia punya kebiasaan saat dirinya selesai mengaji pasti langsung pulang ke rumah dan memilih untuk tak berjamaah shalat isya. Tak lama, ia selesai mengaji. Ia dengan satu temannya minta izin pada pak ustad untuk pulang terlebih dulu. Pak ustad pun sudah mengerti kebiasaan si gadis dan ia mengizinkannya. Dari kejauhan, aku memerhatikan dengan seksama adegan itu. 

Saat ia keluar dari masjid dan mulai memasuki jembatan gelap yang membelah sungai, aku menyelinap kabur dari ingar bingar tempat mengaji. Aku lari bagai dikejar anjing gila, tak peduli kalau malam itu lebih gelap dari biasanya. Di depan, kulihat dua orang gadis sedang berjalan perlahan meniti jembatan gelap itu. Aku memelankan lariku sembari mengatur napas sebelum membarengi kedua gadis itu dengan senter yang merangkap korek (saat itu sedang musim-musimnya). Si gadis kaget dengan kehadiranku, ia menanyakan kenapa aku ikut-ikutan pulang bukannya shalat isya berjamaah di masjid. Kubilang padanya kalau malam ini aku harus pulang lebih awal, sebab ibu di rumah sedang sakit dan kambingku belum makan malam. Ia percaya, dan kami meneruskan meniti jembatan gelap itu bersama.

Di tengah perjalanan meniti jembatan, dengan gemetar kuberanikan diri untuk bertanya padanya. Aku mau minta nomor hp-nya. Ia tak langsung menjawab, nampak hanya diam sembari berpikir, dan kemudian barulah bertanya untuk siapa. Lalu kujelaskan kalau ada seorang teman di kelasku yang ingin berkenalan dengannya. Tak kuduga, ia meminta secarik kertas dari temannya yang dari tadi hanya menguping. Dalam kegelapan ia menuliskan deretan angka itu. 

Aku kaget melihatnya seperti itu, kesan dingin dirinya yang selama ini banyak dipergunjingkan bocah-bocah kampungku ternyata tak benar. Lalu aku berterima kasih padanya dan ia menjawab “sama-sama” dengan singkat. Setelah berjalan sekitar seratusan meter sampailah kami di depan rumahnya, ia pamit padaku dan temannya si penguping itu. Kami berdua balas tersenyum dan kembali melanjutkan perjalanan ke rumah masing-masing.

Si bocah terdiam saat temannya selesai berkisah. Ia tak tahu harus membalas budi melalui cara apa padanya. Lama si bocah terdiam sebelum akhirnya ia mundur dan menatap mantap temannya itu. Dengan badan sigap, ia lalu memasukan tangan kanannya ke saku celananya sembari berkata “Ayo, kutraktir kau makan bakso tahu kesukaanmu itu!”

***

Masih di hari yang sama. Setelah si bocah sampai di rumah, ibunya seperti biasa menyuruhnya untuk makan siang. Tapi si bocah, setelah mencium tangan ibunya langsung pamit masuk kamar untuk mengganti baju. Ibunya heran, kenapa hari ini kelakuan anaknya berbeda dari hari-hari biasanya. Selesai mengganti baju si bocah lekas keluar rumah, ia harus segera membeli pulsa. Ia tak perlu pamit pada ibunya sembari merengek minta uang, jauh-jauh hari saat si bocah mulai menyusun strategi untuk mengenal si gadis lebih jauh dan dalam, menabung untuk membeli pulsa sudah masuk rencananya. 

Sampai di konter, ia bilang pada penjaganya ingin beli pulsa yang lima ribu. Urusan pulsa pun selesai, si bocah balik ke rumah dengan cepat untuk mengecek apakah pulsa lima ribunya itu sudah masuk atau belum. Ternyata sudah. Hp-nya sudah digenggamnya, tangannya nampak gemetar, dan wajahnya serius memerhatikan layar yang tak seberapa besarnya itu. Sebelum sms itu dikirim, si bocah kembali mengulang-ngulang kata-kata yang diketiknya. 

Si bocah gugup. Ia hapus kembali kata-kata yang sudah diketiknya, lalu menggantinya dengan yang baru. Tapi, tetap saja si bocah belum merasa tenang. Si bocah takut kata-kata yang diketiknya salah diinterpretasikan oleh si gadis, dan malah menjadi bencana buatnya. Betapa cinta bisa membuat kata-kata menjadi bingung. Setelah tangannya bolak-balik mengetik berbagai susunan kata-kata yang coba dirangkainya, akhirnya ia mantap dengan kata-kata ini. Si bocah kemudian  mengirim pesannya yang bertuliskan “hai!”

Pesan sudah dikirimnya, tapi pikiran dan hatinya belum juga tenang. Setelah pesan itu dikirim si bocah malah semakin cemas. Cemas oleh apa yang akan dipikirkan si gadis tentang sms-nya, tentang caranya meminta no hp-nya, tentang gaya bahasa yang dipakainya, tentang interpretasinya, terlebih si bocah cemas tentang apa yang akan dipikirkan si gadis tentangnya, tentang dirinya. Tapi, semua itu belum mencapai titik termengerikan pikiran-pikiran si bocah. 

Justru, titik paling mengerikan itu adalah si bocah cemas apakah si gadis akan meresponnya atau malah tak peduli dengan pesan yang dikirimnya. Di kamar, si bocah hanya gulang-guling tak jelas, memeluk guling, memeluk bantal, memeluk lutut. Tangannya tak bisa lepas dari hp, matanya juga ikut-ikutan cemas terus memandangi layar kecil itu. Ibunya mengintipnya dari pintu kamarnya yang sedikit terbuka, ia mulai yakin anaknya sudah mulai gila. Kemudian ibunya membuka pintu kamar dan menyuruh si bocah untuk makan. Itu sudah ketiga kalinya ibunya menyuruhnya makan. Si bocah tetap membandel tak mau makan. Ia masih cemas, cemas memikirkan kemungkinan-kemungkinan mengerikan tadi.

Detik bersalin menjadi menit, menit menjelma menjadi jam, dan jam di dinding kamarnya itu sudah menunjukan jam empat sore. Sudah selama itu ia menunggu balasan dari si gadis, tapi pesannya belum juga dibalas. Si bocah mulai pesimis, dan mulailah terpikir kemungkinan kalau si gadis memang tak akan membalas pesannya. Semakin sore, kemungkinan buruk itu semakin menjadi nyata. Sebab, sampai mang Oje mengumandangkan adzan maghrib si gadis masih belum juga membalas pesannya. Terpaksa, dengan muka kusut si bocah bangkit dari kasur untuk mandi dan pergi mengaji ke masjid. Karena kalau masih tidak menurut, kali ini bapaknya yang akan turun tangan.

Mang Oje mengambil microphone di atas mimbar, kemudian ia melantunkan adzan isya. Momen saat mang Oje mengambil mic itu menjadi kegembiraan tersendiri untuk anak-anak di masjid, sebab tandanya mereka bisa kabur untuk pulang. Sementara anak-anak yang lain kabur berlarian ke luar, si bocah tetap tinggal menunggu adzan selesai dan lalu shalat isya berjama’ah. Celaka baginya kalau dirinya ikut-ikutan kabur, karena bapaknya tak akan segan-segan untuk ‘mendidiknya’. Setelah shalat isya selesai si bocah langsung cabut terburu-buru meninggalkan masjid. 

Si bocah kembali memikirkan apakah si gadis sudah membalas pesannya atau belum. Si bocah membayangkan betapa akan sangat senang dirinya kalau saat ia pulang mengecek hp-nya dan si gadis sudah membalas sms-nya. Sepanjang jalan ia memikirkan itu. Si bocah sudah tak tahan berjalan, kemudian mengangkat sarungnya dan lekas berlari bagai dikejar anjing gila. Si bocah membuka pintu sembari mengucapkan salam, ibunya dan neneknya yang sedang menonton tv tentu menjawab salam si bocah. Sebelum masuk kamar si bocah mencium kedua tangan wanita itu.

Di kamar, di atas kasur hp-nya tergeletak, indikator lampu di hp-nya nampak menunjukan adanya pesan masuk. Si bocah senang bukan main. Namun, tetap saja si bocah masih tak yakin kalau itu sms dari si gadis. Si bocah kembali mencoba tenang, meyakinkan dirinya sendiri kalau itu memang pesan dari si gadis. Dengan penuh harap si bocah membuka hp-nya, dan… benar saja! Tak ada pesan masuk dari si gadis, yang ada hanya pesan dari operator. 

Si bocah lemas, lalu membanting hp dan badannya ke atas kasur. Kembali kemungkinan-kemungkinan buruk yang sepanjang siang ia pikirkan datang lagi. Si bocah sudah pasrah menghadapi kemungkinan-kemungkinan itu, ia sudah tak punya tenaga. Si bocah menyerah untuk melawan kemungkinan paling buruk kalau si gadis memang tak menyukainya.

Si bocah setengah sadar saat ibunya kembali masuk ke kamarnya untuk menyuruhnya makan. Ibunya tahu kalau dari siang anak kesayangannya itu belum menyentuh nasi sama sekali. Jangankan untuk menyentuhnya, untuk sekadar memikirkan sesaat saja si bocah benar-benar tak bernafsu. Kali ini, dengan ogah-ogahan si bocah menuruti apa kata ibunya. Si bocah bangkit dan lekas menuju dapur, mengambil piring, mengisinya dengan nasi, tempe, telur, lalu memakannya. Telur dan tempe yang biasanya menjadi makanan favoritnya seakan hambar di lidahnya. Begitu juga air putih yang ia minum, tak ada rasanya. 

Selesai makan, si bocah kembali masuk ke kamarnya, kembali membantingkan dirinya ke atas kasur. Si bocah hanya diam menatap layar kecil hp-nya itu, lalu kemudian menatap langit-langit kamarnya sembari membayangkan betapa tidak sukanya si gadis padanya. Sampai-sampai pesan darinya diacuhkannya begitu saja. Untuk kedua kalinya si bocah dibuat lemas, tak berdaya. Kali ini si bocah kemudian jatuh tertidur. Si bocah tidur dengan harapan kalau besok saat dirinya bangun si gadis sudah membalas pesan yang dikirimnya.

***

“Hayya ‘alal fallah! Hayya ‘alal fallah!” Mang Oje kembali tak bosan-bosannya mengajak warga kampung untuk datang dan shalat di masjid. Si bocah kaget saat mendengar suara “Bangun! Bangun!” Bapaknya membangunkan dan mengajaknya ke masjid untuk shalat subuh. Dengan terpaksa si bocah pergi ke kamar mandi, berwudhu, mengambil sarung, memakai peci, kemudian lekas ke masjid. Kata orang jika seseorang shalat subuh beserta rawatibnya maka ia seakan-akan mendapatkan seluruh dunia. Si bocah berdoa mudah-mudahan saja ia mendapatkan si gadis, dunia masa depannya. 

Pulang shalat subuh si bocah menyalakan tv di ruang tengah, bersiap menonton berita olah raga. Ini minggu pagi, dan semalam klub-klub Eropa saling menghantam bertarung memperebutkan poin di liganya masing-masing. Seperti anak kampung lainnya, si bocah adalah pecinta dan pecandu sepak bola. Si bocah juga hobi main bola. Meski ia tak merumput di liga-liga besar eropa, tapi si bocah bisa menembus ketatnya persaingan masuk tim inti di kampungnya. Tak berlebihan jika setiap habis shalat subuh si bocah menyempatkan diri untuk menggembleng kemampuannya tentang sepak bola.

Sedari pagi sampai siang si bocah praktis tak ke mana pun, ia hanya diam di rumah menontoni setiap acara yang jadwalnya sudah ia hafal seperti gerakan shalat. Menonton tv bisa sedikit mengurangi kekhawatiran-kekhawatiran mengerikan yang nampak mulai menjelma. Meski, tetap saja ia tak pernah menjauhkan hp-nya, yang setiap sesekali ia cek. Ternyata harapan itu belum pupus sepenuhnya. Hari minggu itu serasa sangat singkat. Masih tak ada pesan dari si gadis. Seperti kemarin, dengan perasaan cemas si bocah masih  menunggu si gadis membalas pesannya. Ia tak bernafsu untuk melakukan apa pun selain menjadi juru kunci hp-nya.

“Wa’alaikum sallam!” Ibunya dan neneknya yang setiap malam seperti biasa sedang menonton tv itu menjawab salamnya dengan kompak. Dan seperti biasa juga si bocah menciumi kedua tangan mereka. Ibunya juga seperti biasa menyuruhnya untuk makan. Selesai mengganti pakaiannya, si bocah pergi ke dapur mengambil piring, mengisinya dengan nasi, tempe, dan telur. Semua lauk kesukaannya itu masih terasa hambar. Air putih pun masih tak ada rasanya. 

Setelah makan si bocah kembali ke kamar, mengecek hp-nya, dan masih belum ada balasan dari si gadis. Si bocah hanya diam berbaring, menatap langit-langit, mengira-ngira kenapa si gadis tak membalas pesannya. Apa si gadis tak suka gaya bahasanya? Apa si gadis tak punya pulsa? Apa si gadis buta huruf? Itu tak mungkin. Apa si gadis gaptek? Bisa jadi. Apa si gadis tak menyukainya? Itu sangat mungkin. Dan terus seperti itu sampai si bocah ketiduran.

Kira-kira sekitar jam sepuluh si bocah terbangun. Dengan keadaan mengantuk si bocah terpaksa harus menuruti panggilan tubuhnya untuk kencing ke kamar mandi. Saat balik dari kamar mandi, si bocah melihat hp-nya yang dari tadi hanya diam, kini menunjukan adanya pesan masuk. Dengan semangat yang sudah meluntur, dan harapan yang mulai memudar, si bocah tak lagi berharap itu pesan dari si gadis. Meski begitu, si bocah nampak tak bisa menyembunyikan betapa tegangnya dirinya. 

Hatinya mengatakan hal lain, bisa jadi itu pesan dari si gadis. Tapi, ia kembali menjernihkan pikirannya, tak mungkin itu pesan dari si gadis. Anehnya, tubuhnya malah mengikuti apa kata hatinya, bukan apa kata otaknya. Si bocah berbaring, sebelum kembali bersiap untuk tidur ia mengambil hp-nya. Si bocah membuka pesan itu, dan dirinya kembali lemas, bahkan sangat lemas. Si bocah masih tak percaya dengan apa yang barusan dibacanya “Hai juga.” Si gadis membalas pesannya. 

Saking senangnya si bocah tak bisa melakukan apa pun, ia hanya berbaring menatap layar hp-nya. Pesan itu melumpuhkannya dengan sekali serang. Akhirnya, setelah beberapa detik diserang kelumpuhan, si bocah tersenyum. Saat malam sunyi, di dalam kamar, di atas kasur, dengan berbaring, berlapis selimut, si bocah merayakan keberhasilannya. Ia sedang merayakan masa depan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Editor

Penikmat kopi dan aktivis imajinasi