Sebuah Kisah Elegi tentang Salah Seorang Kawan

Sebuah Kisah Elegi tentang Salah Seorang Kawan

Advertisement

September 2008, awal perjumpaan saya dengannya. Namanya Andi Supriandi. Nama dan rupa yang begitu asing waktu itu bagi saya. Tubuhnya berpostur tinggi. Bermuka lonjong. Rambut cepak mirip potongan ABRI. Seraut cahaya sedikit bersinar di wajahnya.

Tuhan menggariskan saya satu kelas dengannya. Semangat kami waktu itu masih semangat mahasiswa baru yang masih menggelora. Meskipun kami tergolong masih agak culun waktu itu memasuki masa-masa transisi, kami seolah-olah sudah begitu lama hidup di dunia kampus.

Sebulan masa perkuliahan pun berlalu. Saya di amanahi oleh orang tua untuk selektif memilih teman. Tidak boleh sembarangan. Selama sebulan saya masih labil bergonta-ganti teman. Ada teman yang saya rasa tidak enak untuk diajak bercanda, saya tinggalkan. Ada pula teman yang pendiam, tapi malas beribadah, juga saya tinggalkan. Bukan berarti saya tidak mau berteman dengan mereka. Akan tetapi, kehidupan mereka tidak cocok dengan jalan hidup saya.

Advertisement

Pada waktu itu, usai jam kuliah pertama, Andi tiba-tiba mengajak saya ke perpustakaan—waktu itu saya sudah agak dekat dengannya perihal satu kelompok tugas kuliah. Dari situ saya mengetahuinya. Kami saling berbagi cerita satu sama lain. Berdiskusi perihal tugas-tugas kuliah. Hobi dan kesukaan kami apa. Dan lain sebagainya. Tapi, satu hal yang tidak mau diceritakannya ialah tentang keluarganya. Saya tidak memaksa. Saya sudah cukup merasa nyaman berdiskusi dengannya sejauh itu. Sikap dan gaya bertuturnya begitu bijak. Tidak sombong. Juga tidak lupa, murah senyum. Awal yang begitu menarik untuk dilanjutkan di kemudian hari.

Sepertinya Tuhan mengajak saya untuk lebih mendekatkan lagi jarak pertemanan saya dengannya. Akhirnya, hari demi hari di kampus, saya lalui bersama Andi. Persahabatan kami semakin lebih intim. Sudah tidak malu lagi tertawa terbahak-bahak. Kami saling berbagi bila ada kesusahan. Apalagi tugas-tugas kuliah, sudah menjadi pokok bahasan utama. Semenjak saya dekat dengannya, saya rajin pergi ke perpustakaan—bahkan setiap hari pada jam kuliah kosong—Andi selalu mengajak saya. Saya tidak enak menolaknya. Seraut wajahnya, memang begitu tampak manusia gemar membaca buku. Otak kami pun lepas kendali. Semua bahan bacaan dilahap tanpa henti. Saya sudah terbawa menjadi si kutu buku sepertinya. Sesuatu yang sangat menggairahkan bagi seorang mahasiswa—sebelumnya di SMP ataupun SMA saya memang kurang begitu akrab dengan buku.

Advertisement

Selain kutu buku, Andi adalah seseorang yang taat beribadah. Saya selalu diingatkan olehnya supaya jangan meninggalkan salat. Ia adalah orang yang takpernah berhenti memberikan motivasi kepada saya. Perihal apa pun. Saya semakin amat senang berteman dengannya. Saya merasa seperti sudah memiliki alter ego yang sangat tepat di kampus. Waktu berjalan begitu cepat. Pertemanan saya dengannya sudah memasuki bulan keempat. Sebentar lagi kami akan melaksanakan ujian akhir semester satu.

***

Semester satu berlalu. Semester dua menunggu. Benar-benar tidak terasa, waktu memang begitu cepat. Dulu kami masih botak—karena di ospek. Sekarang rambut kami—yang laki-laki—sudah kembali memanjang. Tak terasa pula persahabatan saya dengan Andi sudah menginjak setengah tahun. Sekaligus kini, kami mempersiapkan lembaran-lembaran baru di awal tahun 2009. Tidak terasa pula kami sudah melewati masa-masa penjajahan diawal masuk dunia kampus—yaitu tugas-tugas kuliah.

Awal-awal semester dua, Andi tampak terlihat kurang bergairah. Lesu. Entah kenapa. Ia pun tak bercerita apa-apa kepada saya. Ah, mungkin ia sedang tidak enak badan atau sedang tidak ingin diganggu. Saya mengetahuinya. Saya pun diam tak bertanya apa-apa padanya. Asep, yang juga teman saya di kelas, rupanya memerhatikan juga akan sikap dan keadaan Andi. Asep juga salah satu teman yang begitu akrab dengan Andi. Tapi, saya belum terlalu akrab dengan Asep waktu itu. Tampaknya Asep juga berpikiran sama dengan saya. Melihat Andi yang mungkin sedang tidak enak badan atau sedang tidak ingin diganggu. Asep sudah begitu banyak tahu juga perihal Andi. Setelah saya tanya, ternyata Asep juga sering berdiskusi perihal tugas-tugas kuliah dengan Andi lewat HP. Lewat sms, katanya. Pantas saja. Saya tidak pernah tahu akan hal itu.

Seminggu ini, Andi semakin terlihat lesu. Tidak ada celotehannya lagi saat diskusi di kelas berlangsung. Tidak ada lagi ajakannya untuk mengajak saya pergi ke perpustakaan. Wajahnya sudah agak samar-samar di kampus. Ia sering menghilang. Belakangan ini, nomornya juga sering tidak aktif.

Sepuluh hari sebelum ia menghilang, saya sempat memberanikan diri untuk bertanya kepadanya. Perihal apa yang membuatnya seperti ini. Tapi, ia tidak mau menjawab. Saya bilang masalah tugas-tugas kampus atau bukan, ia diam saja. Saya bilang apakah saya punya salah padanya, ia pun tetap diam. Tapi, taklama kemudian akhirnya ia pun menjawab, “Tidak apa-apa kok kawan, tenang saja. Takada masalah, kok, dengan tugas-tugas kampus atau pun dengan kau.”

Syukur kalau begitu. Akan tetapi, tetap saja ia tidak mau cerita akan hal dirinya yang belakangan ini kurang bergairah itu. Ah, ya sudahlah, saya tidak terlalu mau mengusik lebih dalam perihal tentangnya. Meskipun saya amat penasaran, percuma saja, biarpun saya panjang lebar terus bertanya kepadanya, ia tidak menjawab. Semenjak percakapan itu, saya kehilangan kontak dengannya. Saya bertanya ke sana-ke mari tentang keberadaannya. Hasilnya nihil. Asep pun membantu saya mencarinya.

Sudah sebulan ia menghilang dari kampus. Takada kabar sedikit pun. Saya merasa kehilangan. Begitu pula dengan teman-teman di kelas. Andi memang orangnya dekat dengan siapa saja. Tidak membeda-bedakan teman. Tidak seperti saya. Kini, kelas pun terasa sepi. Suaranya masih terasa samar-samar terdengar di ruang kelas. Namun, takada wujudnya yang tampak. Saya dan Asep begitu resah akan keberadaan Andi sekarang ini. Sedangkan, apa dia di sana. Saya merindukan ajakannya ke perpustakaan. Rindu akan nasihat-nasihatnya tentang ibadah.

Dua bulan berlalu. Saya masih tetap mencari keberadaannya. Di mana pun. Alhamdulillah, akhirnya ada yang sedikit tahu akan keberadaannya, yaitu Yana. Yana adalah teman satu kampung Andi. Tepatnya di daerah Ciomas, Pandeglang. Yana juga satu jurusan dengan kami, tapi ia kuliah malam, kelas karyawan, sedangkan kami kuliah pagi. Entah mengapa, Tuhan baru menunjukkan titik cahaya pada detik ini. Tapi tak apalah, mungkin Tuhan sedang menguji kesabaran saya. Yana bilang kalau sekarang ini Andi sedang kebingungan kuliah. Sedang kebingungan pula akan keadaan ekonomi keluarganya. Sekarang katanya, andi sedang luntang-lantung ke sana-ke mari mencari uang untuk menghidupi keluarganya. Saya hanya bisa melamun mendengar penjelasan dari Yana. Apa maksud dari semua itu. Saya benar-benar tidak paham. Benar tidaknya omongan Yana, entahlah, hanya Tuhan yang tahu.

***

Malam itu, ketika saya sedang mengerjakan tugas kuliah di kamar, HP saya berbunyi. Saya sontak kaget, ada sms dari Andi. Ya Allah, saya merasa amat senang membacanya. Andi menanyakan kabar saya dan kabar teman-teman di kampus. Saya bilang semuanya baik-baik saja. Kemudian, saya pun bertanya balik dengan menelepon, bagaimana kabarnya. Ia bilang, kalau ia sedang sakit. Entah sakit apa, ia tidak menjelaskan. Saya menceritakan kembali kepada Andi dari apa yang saya dengar dari Yana. Andi menjawab ”tidak”. Semua yang dikatakan Yana tidak benar, katanya. Saya terus memancing Andi untuk jujur. Namun, ia masih tetap kekeh dengan pernyataannya. Saya pun menanyakan alamatnya. Saya ingin menjenguknya bila ia memang benar-benar sakit. Tapi, Andi tidak mau memberikan alamat rumahnya. Saya memancingnya kembali. Saya bertanya, apakah rumahnya dekat dengan rumah Yana, jawabnya iya. Lalu, ia menjelaskan alamat Yana di mana. Ia keceplosan bahwa rumah Yana dekat dengan rumahnya—tepatnya tiga rumah dari samping kanan rumahnya. Akhirnya Andi menyetujui saya ke rumahnya. Ia merasa tidak enak. Alhamdulillah, Allah memberikan jalan kepada saya.

Saya mengajak Asep untuk segara meluncur ke rumah Andi. Jalan yang berliku-liku membuat kami agak sedikit shock. Apalagi rumah yang kami tuju belum jelas. Ditambah lagi ban motor yang kami kendarai bocor beberapa kali. Semoga saja Andi tidak bohong. Biar perjalanan kami menuju rumahnya tidak sia-sia belaka.

Sudah dua jam kami menempuh perjalanan. Kami menghubungi Andi kembali. Lalu, ia meminta kami menunggu di tukang tambal ban yang kami singgahi tadi. Kami kelewat jauh dari rumahnya.

Setengah jam kemudian, Andi pun muncul di depan kami. Ya Allah, saya tidak bisa menahan kerinduan ini pada sahabat saya itu, begitu juga Asep. Kami bertiga saling berpeluk melepas rindu. Taklama saya dan Asep pun diajak ke rumahnya.

Takkuasa saya dan Asep mengeluarkan air mata ketika ia menceritakan kejadian yang sesungguhnya perihal ia menghilang dari kampus. Benar apa yang dikatakan Yana. Andi terjepit kebutuhan ekonomi keluarga. Andi bilang bahwa ia kuliah pun itu modal nekat saja. Ia hanya ingin menikmati kuliah meskipun hanya sebentar. Uangnya satu semester pun hasil uang kiriman terakhir dari ibunya yang bekerja menjadi TKW di luar negeri. Sekarang ibunya entah ada di mana. Kabar terakhir yang Andi dengar, ibunya sudah meninggal, takjelas keberadaannya di mana hingga sekarang. Andi punya dua kakak dan satu adik perempuan. Kedua kakaknya sudah menikah. Kebutuhan kakak-kakaknya pun tidak mencukupi. Maka dari itu Andi disuruh berhenti kuliah dan segera mencari kerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Adik perempuannya yang masih SMP-pun di suruh berhenti sekolah oleh kakaknya, dan disuruh bekerja. Entahlah pekerjaan apa.

Andi begitu benci dengan ayahnya. Ayahnya meninggalkannya semenjak bercerai dengan ibunya, setelah itu ayahnya lepas tangan. Hingga akhirnya ibunya rela menjadi TKW hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Andi takkuasa menitikkan air mata. Begitu pula saya dan Asep.

***

Kini kisah itu berlalu. Tapi, ukiran kenangannya akan terus membekas di hati saya. Saya takbisa berbuat apa-apa. Selain sebaris doa yang terus kupanjatkan kepada Allah untuknya hingga detik ini. Percayalah Kawan, Allah selalu bersamamu.

Saya akan terus mengingat pesan darimu,

Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Insya Allah mudah-mudahan umur kita panjang, dan kita bisa bertemu lagi lain waktu. Semakin jauh jarak kita, semakin dekatlah persahabatan kita. Tetap semangat dan raih cita-citamu. Jadilah kebanggaan keluargamu, jangan sia-siakan perjuangan orang tuamu.

SUBHANALLAH…

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Encep Abdullah, penyuka cabe-cabean.