Pada rumah yang semestinya menjadi tempat keluh kesah
Nyatanya kita terlalu gengsi untuk mengucapkan setiap ucap.
Baik-baik saja seringkali jadi kawan daripada berbicara apa yang sebenar- benarnya dirasakan.
Lalu kecewapun seringkali jadi teman.
Ketika apa- apa tak segera diungkapkan
Menjadi bungkam dan malah jadi bumerang.
Rumah seharusnya diisi kata saling, bukan masing- masing.
Kadang kita lupa, punya indera yang sengaja hanya dibuat pajangan.
Telinga untuk dengar, dan mulut untuk bicara.
Nyaman ya,
Bukan saling diam, walaupun itu menjaga perasaan.
Jangan buat rumah menjadi hanya sekedar “bangunan”.
Isi dengan banyak “pelukan”.
Katanya, pulang jadi kata paling nyaman setelah perjalanan panjang.
Tulisan curhatan di notes handphone beberapa waktu lalu yang related setelah menonton film NKTCHI. Benar, ada yang sedang tidak baik- baik saja. Kali ini akan mengikis ruang personal, yang tadinya disimpan sendirian. Setelah menonton film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, mencoba akan mengulas Sekarang Akan Cerita Tentang Kemarin. Cerita yang masih terus menggerus ruang fikir, dan porak- porandanya tenang jiwa. Jika di NKCTHI tentang keluarga yang utuh, anak- anak yang dibesarkan dengan kondisi utuh dan normal, tidak dengan cerita yang ini. Lebih tepatnya curhatan.
Bisa dikatan mendengar kata “Pulang” jadi kata yang tak lagi riang, pun “ Rumah” juga jadi kata yang tak lagi meriah. “Pulang” dan “Rumah” dua kata yang sulit menjadi rangkaian.
Sudah sejak dini tau rasanya kehilangan, karena Ibu dipanggil Tuhan sejak di fase umur baru bisa berjalan dengan kaki, nyatanya menjadikan rasa ini semakin terlatih dan fasih di fase yang sekarang bahkan diharuskan memilih jalan untuk penghidupan.
Dibesarkan seorang Ayah dan nenek sampai SD, lalu paman dan budhe di SMP. Disini mulai merasakan bagaimana punya keluarga yang lumayan utuh. Ayah menikah lagi, dan jauh. Lalu menjadi Paman dan Budhe sebagai tempat berkeluh. Punya satu kakak perempuan yang umurnya 5 tahun lebih tua dan laki- laki yang umurnya 3 tahun dibawah namun tetap dipanggil mas. Lengkap. Saya seperti anak tengah, yang nyaris mirip kondisinya dengan NKTCHI. Menjadi Aurora, yang warnanya tak begitu terlihat.
Baru merasakan utuh di remaja, memasuki SMA harus lanjut bersekolah yang jauh dari “rumah”, bisa dikatakan “merantau” walaupun jaraknya hanya 1 jam. Kala itu, setiap weekend menjadikan kata “pulang” sebagai ungkapan istimewa dinantikan setiap hari sabtu.
“Pulang dan Rumah” menjadi satu kata utuh walaupun masih numpang, tadi setidaknya tempat berkeluh dan berbagi itu ada. Menikmati rasanya makan semeja, teriakan “dek tolong nyapu tiap pagi” , “ terimakasih, sudah mebelikan oleh- oleh”, dan atau “maaf, telat pulang” seringkali menjadi percakapan tiap hari. Menerapkan kata saling. Nyatanya, ini tak berlangsung lama. Mereka yang kusebut orangtua harus mengambil keputusan berat untuk pisah dan sendiri- sendiri. Melepaskan ikatan dan bangunan kokoh yang dibangun hampir 20 tahun lamanya. Yang dikatakan rumah itu kini hanya bangunan semata, bangunan kokoh yang kosong akan rasa.
Beranjak, berkuliah dan benar-benar merantau, yang ini benar-benar merantau, beda kota, beda provinsi, namun masih satu daratan. Lima jam dari kota asal, sebagai perantau yang ada di fase ini kini di titik “rumah”dan “pulang” bukan lagi satu rangkaian kata. Ketika kembali ke kota asal ada banyak rumah yang harus disinggahi, karena nyatanya kehilangan satu orang ibu membuat banyak tangan urun membantu merawat. Dua budhe dan pakdhe, ayah dan ibu baru, atau mereka yang seringkali memberi perhatian pun harus turut serta disambangi. Terbiasa wira- wiri. Menjadi nomaden ialah suatu normalitas.
Membuat jarak dari yang dikatakan “rumah”, rasa-rasanya malah mejadi nyaman. Sengaja jauh dan sengaja tak utuh. Dari untuk yang sedang lebih senang berjarak, selamat mengarungi, berusaha kuat dari berbagai sisi, sudah menjadi tak asing lagi. Semoga, segera mencipta sebenar- benarnya “rumah” sebagai tempat “pulang” untuk dunia yang cipta sendiri.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”