Kalimat ini akan selalu kutulis bila aku menceritakan tentang diriku sendiri. Aku tidak membicarakannya pada orang lain. Seringnya aku monolog dan mengatakan semuanya tanpa menunjukkan di mana titik utamanya. Namun, kini aku hanya sekadar bercerita. Aku tidak peduli dengan opini yang mereka simpulkan hanya karena beberapa kalimat yang kuucapkan.
Aku … tidak ingin jatuh cinta lagi, aku tak mau menghidupkan harapan lagi, dan aku berhenti untuk merindu. Aku berdoa agar aku mati rasa saja. Atau setidaknya aku dapat mengetahui mana yang benar-benar pantas kuusahakan. Tentang apa pun itu.
Hidup adalah tentang perjalanan. Kurasa kalimat itu sudah sangat familier di mata dan telinga. Memang benar. Dan tentang datang dan pergi itu merupakan hal wajar yang terjadi. Pada akhirnya semua orang hanya akan menjadi memori yang berbekas. Baik itu menyakitkan atau sangat berharga. Menetap atau tidak, mereka yang memutuskan. Bukan diri kita sendiri. Walau kita mengorbankan apa pun, tapi langkahnya begitu ringan untuk meninggalkanmu, maka tak ada lagi yang bisa kamu lakukan. Itu sudah menjadi ketetapannya.
Begitu juga denganku. Kadang aku berpikir, di mana rumahku yang sesungguhnya? Karena perjalanan yang kutempuh ini membawa beban begitu banyak. Mengakibatkanku sering berhenti di perhentian yang dengan bodohnya kuanggap akan selamanya menjadi tempat aku tinggal.
Nyatanya aku masih harus melangkah lagi. Entah karena penghuni sesungguhnya datang, perhentian itu memang tak ingin disinggahi, atau sekadar tak maumerasa terbebani karena banyaknya beban yang aku pikul.
Sampai akhirnya sekilas aku berpikir, sebetulnya dari mana aku memulai? Dari mana datangnya beban yang kini kukeluhkan? Aku sadar … aku memulainya dengan meninggalkan rumah yang sesungguhnya. Yaitu diriku sendiri. Aku meninggalkannya dengan dugaan kalau aku akan menemukan rumah lain yang lebih baik, memberiku lebih banyak tanpa menoleh lagi. Memikul beban yang kurasa aku mampu mengangkatnya sendirian.
Dan setelah aku kembali, ia hancur sudah. Hampir tak kukenali. Dengan tubuh yang terlalu lemah, aku tak bisa memperbaikinya lagi. Bahkan untuk dijadikan tempat perhentian pun, tidak ada yang singgah.
Rasanya waktu terhenti. Sejauh ini aku tidak mendapat apa pun selain kehilangan diriku sendiri. Aku berusaha menjadi sosok lain yang orang lain inginkan. Berharap mereka akan tetap bertahan tak pernah meninggalkan. Tetapi semakin kulakukan, semakin banyak tuntutan yang harus kujalani. Semakin jauh, dan akhirnya aku semakin kehilangan diri.
Lalu siapa yang akan kusalahkan? Diriku sendiri? Oh … tentu saja. Siapa lagi yang patut di salahkan atas kebodohanku itu?
Tetapi … baik aku menjadi apa adanya atau menjadi sosok lain itu, mengapa mereka tetap bertingkah sesukanya hanya karena tahu bahwa aku akan terus bertahan dan menunggunya untuk sadar? Bahwa aku tidak pernah pergi meski sesakit apa pun yang kuterima. Aku tetap tinggal untuk menunggunya pulang. Bahwa di sini, setiap malam, aku berdoa agar aku tak kehilangan lagi. Doa yang selalu kulakukan saat orang lain memasuki kehidupanku.
Apa memang caraku memberi begitu mengganggu? Membuat risih hingga inginnya mengusirku saja? Atau memang aku memberikannya pada orang yang salah?
Aku ingin kembali pada diriku yang dulu. Tetapi di mana? Di mana aku bisa menemukan tempat untuk menemukan diriku, dan menemukan tempat tinggal tanpa khawatir mereka akan pergi bila aku menjadi diriku sendiri.
Menyembuhkan orang lain adalah caraku untuk sembuh dari luka yang kumiliki. Kata-kata itu masih kupegang erat, tetapi sesungguhnya aku berbohong.
Benar. Dengan senang hati aku menyembuhkan dan menjadi damai karenanya. Namun, kenyataannya aku hanya melupa. Bukan berusaha untuk sembuh. Sampai-sampai, aku sudah tidak bisa lagi membedakan apakah aku ikhlas atan memang mati rasa saat aku merasa kehilangan lagi. Saat dugaanku salah bawa seseorang itu akan menetap selamanya.
Aku … ingin jatuh cinta lagi. Namun, tanpa tergesa, tanpa membangun harapan dan angan yang bisa saja hancur di tengah jalan. Aku akan jatuh cinta lagi ketika aku berhasil berdamai dan sembuh dari luka yang berulangkali kembali basah.
Untuk semua tokoh yang bila kutuliskan suatu cerita dan menyangka itu adalah kamu, selamat … selamanya kamu akan menjadi tokoh utama di ceritamu sendiri yang melibatkan aku di dalamnya. Mungkin kamu akan keheranan mengenai kebenaran tentangmu yang aku deskripsikan. Betanya-tanya dan meyakinkan dirimu kalau kamu benar begitu, atau mengelak karena merasa telah melakukan suatu hal yang benar. Maka biar itu menjadi bagian dari masing-masing sudut pandang kita.
Namun, suatu hari, bila tak sengaja kamu menemukan tulisanku lagi mengenai dirimu, atau kamu tengah merasakan apa yang kurasa saat dahulu bersamamu, ingatlah bahwa selamanya kamu akan menjadi mahakarya yang mungkin saja ribuan manusia lainnya membaca.
Entah itu kenangan baik atau buruk, aku berterima kasih karena banyak hal yang kupelajari dari bekas-bekas yang kamu tinggalkan. Tentu aku mengakui kesalahanku dan berterima kasih karena telah melakukan yang terbaik semampumu.
Kuanggap buku itu selesai dan takkan pernah lagi kutulis ulang, walau itu dengan cerita yang berbeda sekali pun.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”