Setelah Berjuang Mati-matian Melupakan Cinta, Akhirnya Kuputuskan untuk Pura-pura Lupa

Setelah berjuang melupakan cinta

Suatu waktu di taman kebahagiaan, kita berjumpa untuk terakhir kalinya. Setelah melalui perjalanan cinta yang begitu alot dan runyam, kita berdua akhirnya memutuskan untuk menyerah melawan takdir. Rembulan tak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan hubungan yang telah terjalin selama sepuluh tahun lamanya. Tuhan memutuskan perkara cinta kita berjalan dengan cara yang berbeda. 

Advertisement

Setiap manusia memilki kisah dalam buku kehidupannya masing-masing. Ada lembaran gelap yang berisi hati yang pengap, serta ada kertas berwarna terang yang mengisahkan hidup yang penuh dengan bintang. Namun sayangnya kali ini malaikat mencatat kisah kita pada lembaran gelap. Saat engkau sendiri memilih pergi bersamanya. 

Saat itu kita telah berjuang bersama dalam membangun benteng asmara. Namun semua itu harus hancur seketika saat rasa cinta yang ada ternyata telah terbagi kepada orang lain yang kau cinta. Saat itu baru kusadari, aku hanya bisa membatu. Dada seolah membeku menahan pilu, dunia seolah berhenti berputar detik itu juga saat kita tak akan lagi bersatu. 


Percayalah bahwa orang yang tulus mencintai tak akan pernah teriak saat orang yang dicintainya mencintai hati yang lain. Hanya saja air matanya menetes. Darah dari jantungnya merembes. Denyut nandinya ingin meronta protes, namun pilar cinta sudah tak mampu ditegakkan kembali. Rasa cinta telah kempes. 


Advertisement

Kita tak mungkin melanjutkan asmara saat salah satu hati diantara kita tak sejalur dengan masa depan. Aku tak mungkin memperjuangkan cinta yang sama sekali tak ingin diperjuangkan. Secinta-cintanya lelaki, jika kata “Tak Cinta Lagi” sudah meluncur dari mulut wanita, maka ia tak akan berdaya lagi untuk memperjuangkan. Walau dirinya teramat cinta. 

Malam itu aku pernah meronta-ronta pilu menahan dirinya tak pergi dari dada. Namun saat lisannya telah memuntahkan kata tak ingin bersama, hati dan dada hanya mampu menjadi lemas seketika. Genggaman erat yang telah dipertahankan akhirnya harus dilepas dengan menahan rasa sakit yang sangat ganas. Kaki dan tangan sudah tak mampu berusaha, semua sudah tiada daya. Dirinya memilih untuk pergi bersama kekasih baru yang dianggapnya akan membuat dirinya lebih bahagia. 

Advertisement


Merelakannya pergi bukan berarti aku telah menyerah mempertahankan hati. Namun lebih ke arah pasrah karena dirinya yang kita cinta telah memilih untuk menghapus semua rasa yang telah diberikan selama rasa cinta sedang menggebu-gebu. Mungkin saja selama ini aku telah mencintai hati yang berada pada raga yang salah. 


Hati manusia memang berubah-ubah. Yang dulunya pernah bersumpah untuk tak pernah mengingkari dan meninggali justru seolah lupa jika dirinya telah berjanji. Itulah sebabnya mengapa kita dilarang kuat untuk terlalu berharap besar kepada manusia. Namun apa daya, cinta selalu lihai dalam membakar logika. Ketika asa dan harapan telah putus karena cinta, nyali sudah ciut bagai padi tak berisi. Aku berdiri kokoh seperti benteng, namun kosong tanpa isi. 

Bahkan saat ini pun kepala ku masih tersengal-sengal berusaha kuat untuk melupakan rasa cinta dan rupa paras dirinya. Namun para malaikat seolah-olah dengan sengaja mengabadikan semua memori tentang dirinya agar aku bisa belajar banyak dari sisi kegagalan yang pernah ku alami. Manusia yang pernah tersakiti setidaknya akan mengerti arti dari menyakiti di kemudian hari. 


Seseorang yang memilih pergi bukan karena tak cinta lagi atau pun benci, namun dirinya memilih pergi agar dirinya sendiri dapat terhindar dari luka yang lebih besar lagi. Setidaknya, dirinya telah lebih logis dalam mempersiapkan diri menuju altar kegagalan cinta. Jika ego terlalu berat untuk melupakan cinta, mungkin sudah saatnya untuk memaksa hati untuk pura-pura lupa dengan semua kenangan yang pernah ada. 


Lantas yang ingin pergi biarkan saja menjauhkan diri. Tuhan tak akan pernah menjauhkan yang terbaik sesuai doa diri sendiri. Aku akan ikhlas melepaskannya pergi. Doaku agar dia akan terus bahagia bersamanya. Namun tolong doakan juga hati ini agar bisa segera terobati dari luka yang telah benar-benar menyayat hati. Aku yang sejak dulu sayang hingga saat ini, tak akan pernah berhenti mendoakan kebahagiaan untuk dirinya. 


Tak pernah ada takdir yang sesakit saat kita telah berjuang setengah mati memperjuangkan, namun dirinya malah mengharapkan raga yang lain untuk mengisi hatinya. Hati ibarat terhantam beton saat diri sendiri telah sadar bahwa cinta yang diberikan malah terbalas menuju hati yang lain. Lantas aku memilih berhenti, saat aku baru menyadari bahwa dirinya telah tak bisa kugapai. 


Jika suatu saat nanti Tuhan tiba-tiba usil membuat skenario kehidupan untuk mempertemukan kita berdua, kumohon jangan pernah menyapa kembali. Aku sudah pura-pura lupa dengan semua kenangan manis yang pernah kita lalui. Kau telah bahagia bersamanya, lantas jangan hukum aku kembali dengan menyapa diri yang tengah sendiri menunggu takdir yang semakin tak pasti. 


Biarkan aku sembuh sendiri. Walau melupakannya tak akan semudah mengganti halaman kertas, tetapi aku tetap percaya bahwa waktu akan selalu berbaik hati untuk mengobati hati yang terluka. Walau perginya telah meninggalkan luka lebam yang parah, waktu adalah sahabat terbaik yang akan tetap menyembuhkannya. Mungkin benar kata orang, kita berdua berada pada pohon yang sama. Namun berada pada ranting yang berbeda. 


Tulang rusuk tak akan pernah tertukar. Mungkin saja dirinya adalah satu takdir yang mengajarkan arti kedewasaan dalam perjalanan hidupku. Walau luka telah banyak menohok dada, tak pernah sama sekali ada rasa sesal telah mengenalmu. Terima kasih untuk cinta tulus yang telah kau berikan, walau kita cinta itu telah pupus. Namun cintaku padanya tak akan pernah terhapus, karena hingga kapan pun aku akan tetap mencintainya. Saat ini, biarkan saja aku pura-pura lupa. 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Financial Analyst and Novelist

Editor

Not that millennial in digital era.