Andaikan Dulu Aku Sedikit Lebih Berani dan Tak Menggantungkanmu Seperti Ini

Sesal

Dulu…ketika kamu datang pertama kali, semuanya terasa tak terduga. Kamu datang dengan semua masa lalumu, masalahmu, traumamu, dan aku pun sama sekali tak keberatan soal semua itu.

Advertisement

Setiap malam kamu bercerita, bagaimana peliknya dunia, bagaimana sedihnya masa mudamu yang baru beranjak sudah dirundung duka.

Aku cuma bisa mendengar, sambil sedikit memberi motivasi supaya hidupmu tak berhenti.

Dan kesedihan yang kamu bagi, tak membuat aku menjadi benci. Justru aku bangga, wanita dengan usia yang masih belia sudah berusaha kuat menanggung beban yang mungkin aku sendiri pun belum mampu menghadapinya.

Advertisement

Tak sadar setiap malam obrolan kita, tumbuh sedikit rasa yang aku juga tak tau apa sebabnya. Dalam benak pun aku berkata, apakah ini rasanya jatuh cinta? Ah.. mungkin ini cuma terbawa suasana.

Seiring berjalannya waktu, kamu sudah bisa bangkit, kamu mampu tertawa meskipun aku tau hatimu tetap dirundung duka. Aku pun ikut bahagia melihat kamu mampu hadapi ini semua.

Advertisement

Hari demi hari, kamu dan aku semakin dekat. Obrolan kita pun mulai menjurus ke hasrat saling suka dan pada akhirnya aku memberanikan diri untuk berkata,  "aku merasa aku mulai menaruh rasa." 

Kamu pun menjawab jika kamu juga merasakan hal yang sama.

Akhirnya kita membuat janji, bahwa apapun yang terjadi kamu dan aku akan sama-sama lalui, menghadapi kerasnya hidup di Bekasi sebagai perantauan yang masa depannya belum pasti.

Kamu selalu meyakinkanku bahwa rejeki kita hanya Tuhan yang tau, kita hanya perlu usaha, urusan hasil biar Yang Kuasa yang berbicara. Dukungan selalu kamu berikan, berharap Tuhan memberikan kemudahan. 

Hari demi hari, suka duka kita lalui. Sampai pada akhirnya kamu pun berkata, "Kapan aku akan kamu lamar?"

Aku bingung apa yang harus aku jawab, dengan kondisi yang tak jelas aku harus mengambil sikap. Faktor ekonomi yang belum pasti membuatku berpikir ratusan kali.

Hanya kata "Sabar" yang bisa aku ucap. Sebagai seorang pria aku malu karena aku tidak bisa mengambil keputusan untukmu. 

Bulan demi bulan kamu terus tanyakan pertanyaan itu, dan semakin lama pula aku memikirkan jawabanku. Semakin muncul rasa ragu apakah aku mampu.

Hingga pada akhirnya kamu tegas membuat keputusan, "aku ingin menikah tahun ini, entah denganmu atau dengan yang lain. Semua tergantung dirimu, keputusan ada ditangan mu".

Aku memilih menghindar, sambil berusaha memikirkan kapan aku bisa memberi jawaban.

Faktor ekonomi jadi masalah utama. Aku takut kalau aku tak mampu mencukupi kebutuhan yang kamu minta. 

6 bulan setelah itu, aku berusaha menemuimu. Aku ingin menegaskan sikapku tapi ternyata semua sudah terlambat.

Dengan tegas kamu katakan bahwa ada sosok pria yang sudah memberanikan diri melamarmu. Kamu juga berkata bahwa aku tak punya usaha apa-apa, kamu lelah menunggu jawaban  yang kamu tunggu selama berbulan-bulan.

Aku hanya bisa diam, menyesali waktu yang sudah terlalu banyak aku buang.

Dengan berat hati, aku menerima semua keputusan yang kamu beri.

Aku bingung, gundah, menyayangkan kenapa aku tidak berani mengambil sikap. Momen yang kita habiskan selama bertahun-tahun musnah karena ketakutan yang berlebih dalam diriku.

Kini kamu sudah bahagia, mendapatkan apa yang sudah kamu minta. Aku berusaha menerima, walau dengan berat hati, ku ikhlaskan kamu pergi.

Semoga selalu bahagia!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Editor

Not that millennial in digital era.