Setiap anak pasti ingin memiliki keluarga yang lengkap, ada Ayah, Ibu, dan saudara. Setiap anak juga pasti membutuhkan kasih yang lengkap dari Ayah dan Ibu juga saudaranya. Tetapi bagaimana dengan anak tunggal yang dibesarkan oleh seorang Ibu single parent?
Anak itu adalah aku. Tuhan lebih dulu memanggil Ayah dan aku belum sempat mengenalnya. Aku juga belum sempat merasakan kasih sayangnya. Sejak saat itu, aku hidup berdua bersama Ibu di rumah kecil jauh dari kota.
Saat usia empat tahun, tepatnya ketika aku mulai bersekolah aku merasa berbeda dengan teman-temanku. Ya, saat berangkat sekolah teman-temanku ada yang diantar oleh Ayahnya. Sedangkan aku, setiap hari diantar Ibu dan Aku tidak pernah menyebut kata “Ayah”. Aku bingung, kenapa teman-temanku punya Ayah tapi kok aku nggak ada?
Suatu hari dengan polosnya aku bertanya ke Ibu, “Ibu, aku punya Ayah nggak?”
“Punya sayang”, jawab Ibu.
Aku bertanya lagi, “Ayah dimana? Ayah kerja jauh?”
Saat itu Ibu hanya mengiyakan tanpa memberi penjelasan. Tetapi dengan usiaku saat itu yang masih empat tahun, aku bisa menerimanya.
Waktu terus berjalan begitu juga aku tumbuh menjadi anak-anak. Pelan-pelan Ibu memberi pengertian bahwa Ayah sudah pergi lebih dulu dengan bahasa yang sangat sederhana. Aku terima-terima aja, menangis pun juga enggak karena aku belum paham apa itu meninggal dan apa itu Ayah.
Seiring bertambahnya usia aku mulai paham artinya seseorang meninggal dunia dan siapakah Ayah itu. Dan apa yang terjadi, Duarrrr! Aku histeris sambil mengatakan, “Kenapa Tuhan ambil Ayah saat aku belum mengerti apa-apa?”, “Kenapa Ayah tinggalin aku?”. Kalimat-kalimat itu selalu aku ucapkan setiap kali aku ingat Ayah sambil menangis sejadi-jadinya. Sampai SMA pun aku masih sering seperti itu.
Tetapi aku beruntung memiliki Ibu yang penuh kesabaran dan pengertian. Ibu selalu memberi Aku pengertian bahwa, “semua ini sudah menjadi ketetapan Tuhan, kita harus menerimanya meskipun tidak mudah. Ini adalah salah satu cara Tuhan untuk menjadikan kita orang yang kuat”. Di situ aku menyadari suatu hal, yang dibilang Ibu itu benar dan jika aku terus-terusan terpuruk seperti ini tentu akan semakin membuat Ibu sedih.
Perlahan aku mulai bangkit dan belajar menjalani hidup dengan lebih tegar karena aku masih ada Ibu yang selalu ada, tekadku aku tidak ingin membuat Ibu sedih dan terbebani karena beliau satu-satunya yang aku miliki sekarang. Bebannya sudah berat, karena menjadi orang tua tunggal itu tidak mudah.
Dari kepahitan ini aku belajar banyak hal yang sangat berguna untuk hidupku. Memang bagi seorang anak yang kehilangan Ayahnya itu di dalam hati dan jiwanya ada bagian yang kosong. Tetapi itu tidak boleh dijadikan alasan untuk terus larut dalam kehilangan.
Harus tegar, harus kuat, harus semangat menjalani hari dan meraih impian karena ada Ibu yang harus kita sayangi, kita jaga, dan tentunya kita bahagiakan. Jika kita tegar dan kuat maka itu akan menular ke Ibu sehingga kita bisa bersama-sama beriringan menghadapi dunia. Seorang anak tunggal yang dibesarkan oleh Ibu single parent bersyukurnya harus double karena kita diberi kelebihan sama Tuhan.
Kita dipercaya Tuhan bahwa kita mampu menjalani kehidupan berdua bersama Ibu. Hidup berdua saling mengasihi, saling menyayangi, dan saling menguatkan.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”