Pada suatu sore Seno tertegun di depan cermin. Setidaknya ada dua helai rambut putih mucul di kepala Seno, di antara hitam dan tebal rambutnya.
Sedetik kemudian, muncul pula ingatan tentang hal-hal yang sudah Seno lalui selama ini. Ingatan-ingatan yang segera memburu Seno dengan jutaan tuntutan.
Seno menatap cermin itu dalam-dalam lalu membela diri mati-matian. Berusaha keras menjawab semua tuntutan itu dengan logis dan menawarkan hikmah sebagai imbalannya.
Namun, bukan itu yang diburu oleh tuntutan tersebut. Pledoi Seno ditolak, mereka ingin pengakuan dan rasa bersalah Seno. Rasa bersalah yang Seno sadar bisa menghancurkan hidupnya dengan seketika.
Semakin tersudut, Seno mencoba bernegosiasi. Seno menawarkan sederet janji; untuk bekerja dengan disiplin sehingga masalah finansialnya bisa teratasi, memperbaiki diri agar bisa dimudahkan untuk mendapat pendamping hidup, memperbaiki ibadah agar terhindar dari prilaku-prilaku buruk.
Tuntutan itu meludah. Dia sudah tak sudi lagi saya bohongi. Tidak untuk kali ini.
Seno menyerah, sisa-sisa tenaganya digunakan untuk menopang kepala agar tidak jatuh dan tetap menatap cermin itu, meski nanar. Tuntutan itu sedikit goyah, tatapan tajamnya perlahan sirna berganti rasa iba.
“Aku beri tenggat,” ujarnya.
Ucapan itu membuat mata Seno berbinar. Bak anak kecil yang akhirnya dituruti kemauannya setelah merengek sepanjang hari.
Seno mengangguk sebagai tanda setuju. Lalu mengutarakan sederet janji (lagi) kepadanya, lengkap dengan mimpi-mimpi Seno yang akan segera dia wujudkan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Namun, ketika Seno hendak mencari tahu responsnya, tuntutan itu telah pergi. Tuntutan itu meninggalkan Seno di depan cermin seorang diri.
“Persetan!” ujarnya dalam hati. Seno mencampakkan cermin itu dengan segera. Kembali ke kehidupan nyata dan menikmati pencapaian-pencapain semu yang selama ini menjadi senjata ketika berdebat dengan teman sejawat.
Namun tidak semudah yang dia kira.
Hari-hari lewat begitu saja. Ada yang berubah dalam hidup Seno sejak peristiwa sore itu. Seno merasa terus diawasi, entah oleh siapa.
Ketika malam tiba, peristiwa di depan cermin itu terekonstruksi dalam ingatan Seno. Namun Seno sama sekali tidak bisa mengingat bagaimana rupanya tuntutan-tuntutan itu dan apa yang dia katakan kepada Seno. Yang terus terngiang hanya janji-janji Seno, kepada dirinya sendiri.
Bagi Seno, lebih mudah mendebat kedua orang tuanya ketika mereka menanyakan masa depan Seno, baik itu masalah finansial atau kapan Seno akan menikah.
“Rejeki, jodoh dan maut sudah ada yang atur,” jawabnya singkat.
Sementara untuk teman-teman sejawat, Seno bukan lawan debat yang imbang bagi mereka. Seno punya segudang istilah, kata-kata gagah dan filosofi untuk menutupi celah yang dia punya. Mulai dari zona nyaman, idealisme, passion, hingga out of the box.
Ungkapan-ungkapan itu meluncur lewat mulut Seno, diiringi dengan kutipan-kutipan cadas dari para tokoh yang tidak jarang dia karang sendiri. “Ah! Ini terlalu mudah,” kata Seno dalam hati.
Namun bagaimana semua akal-akalan itu diterapkan saat dia harus berhadapan dengan dirinya sendiri. Diri yang sama taunya dengan Seno tentang kebobrokan di balik citra gagah yang dia bangun. Diri yang sama muaknya dengan kebohongan yang selama ini dia lontarkan.
Seno tertunduk, menghindari kontak langsung dengan cermin itu.
“Hanya orang bodoh yang tega membohongi dirinya sendiri,” ujar Seno lagi dalam hati.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”