Sepantasnya saya berterima kasih untuk seporsi masakan rica-rica sapi pada Minggu pagi kemarin. Saat kunyahan pertama, tak biasanya tangan saya masih berpaku pada mangkuk yang berisikan makanan itu. Biasanya saja, setelah kunyahan pertama berlangsung, tangan saya segera memungut ponsel pintar untuk dimainkan. Tanpa saya sadari, ternyata kunyahan saya hingga berada pada suapan terakhir. Ada secuil perasaan bangga rasanya menikmati sarapan dengan tenang dan nyaman, anggap saja bekal untuk menjalani aktivitas seharian.
Melalui aktivitas sarapan itu tadi, saya menjadi tersadarkan oleh satu hal yang bisa dikaitkan dengan perspektif yang nyata, kebahagiaan dan kedamaian pada saat kini. Sering kali kita mencemaskan nasib kebahagiaan kita pada masa depan, bagaimana nantinya, dan apakah usaha yang dilakoninya bisa membuahkan hasil? Rasanya, kebahagiaan menjadi sebuah ‘barang taruhan’ bagi kita. Sesuatu yang menjadi penentu nasib seorang manusia di dunia ini.
Sejenak memutar waktu ke belakang, di mana saya tidak menjadi naif akan sebuah tulisan ini. Saya pun pernah–dan bahkan hingga saat ini terkadang masih juga–mengalami keadaan selalu mendapati hati gelisah dan bimbang yang benar-benar akut. Kegelisahan dan kebimbangan tersebut melingkar pada permasalahan seputar: bagaimana jika saya tak lulus perguruan tinggi incaran? Kalau saya tak dapat promosi kerja, bagaimana nasib eksistensi saya? Apakah saya bisa membahagiakan orang-orang tersayang? Apakah saya mendapatkan pasangan sesuai dengan patokan awal kriteria? Dan masih banyak hal-hal lainnya.
Terjebak dalam kesengsaraan
Seketika saya teringat oleh perkataan salah satu filsuf Yunani kuno, Epicuraen, yang memberikan sebuah pemahaman betapa buruknya seorang manusia yang hanya ‘mengemis’ untuk mendapatkan sebuah kebahagiaan dan betapa hebatnya seorang manusia jika menerka-nerka untuk menjadi sengsara. Ya, saya paham dengan pemahaman Epicuraen yang memaknai sebuah kebahagiaan sebenarnya bisa dipetik kapan pun dan di mana pun, tanpa harus terluka atau sekalipun berpura-pura larut dalam kesedihan.
Kita selalu disibukkan dengan bayang pikiran “Jikalau kelak saya kaya, saya akan membeli barang-barang impian …”, “Andaikan saya dapat tawaran kerja itu, saya akan menjadi yang utama dibandingkan yang lainnya …”, “Kenapa saya harus memilih kondisi seperti ini waktu itu, ya?” dan hal-hal lain yang lama-kelamaan membuat jemu pikiran saja. Membuat pola bayangan pikiran seperti itu sama saja menunda-nunda kebahagiaan kita dalam hidup. Menunda-nunda pikiran dalam artian membiarkan interpretasi kita melanglang buana pada saat fokus yang semestinya.
Terkadang kitalah yang menjadi penyebab hidup susah
Selain berkutat dengan bayang-bayang pada masa depan, tidak dimungkiri juga kita masih belum begitu merelakan masa lalu. Membiarkan jejak masa lalu dan segenap luka yang ada mengendap di dalam isi kepala. Barangkali, kita masih mengalami rindu akan kekasih yang dahulu meninggalkan kita lebih cepat, trauma dengan sikap orang tua yang keras, atau merasa salah dalam menentukan sebuah keputusan yang mengancam kebahagiaan untuk masa depan.
Hal-hal semacam itu justru hanya akan memperkeruh suasana. Dampaknya, memberikan kesusahan dalam hidup kita ini menjadi semakin nyata. Alhasil, menjalani keseharian dengan beban kesedihan, luka mendera, dan pengkhianatan yang tiada habisnya. Pada faktanya, kita terlalu mengabaikan hal-hal yang semestinya menjadi pekerjaan kita di saat ini. Seakan-akan, kita tidak pernah benar-benar bisa fokus pada apa-apa saja yang ada di depan mata; terlalu hanyut dalam buaian masa lalu, hingga terjerumus luka batin yang menderu.
Seperti kegiatan sarapan saya pada awal cerita, hal-hal kecil yang jikalau kita bisa peka dan sadar, sebenarnya rutinitas yang kita lakukan juga mendatangkan kebahagiaan. Menikmati kuah rica-rica dengan dibalut bumbu yang khas, empuknya daging sapi, dan rasa kenyang sebagai puncak kepuasan dari sebuah kegiatan sarapan. Sayangnya, ketika kita menjalani suatu pekerjaan di saat kini, pikiran dan batin kita tak sepenuhnya ada. Justru memilih terbang ke sana-ke mari memikirkan pikiran simpangan yang tak jelas dan menjadi sebuah pendistraksian.
Saya rasa, kebahagiaan dan seni menikmati sesuatu itu juga atas dasar tanggung jawab kita. Jika saat ini kita memiliki sesuatu yang harus dilakukan, maka lakukan yang terbaik, tanpa membuat segala kecemasan yang akan terjadi pada saat mendatang. Masa depan biarlah menjadi masa depan, masa kini harap dijalani dengan seharusnya. Toh, bukankah masa depan yang indah itu berasal dari kebiasaan-kebiasaan kita di saat ini?
Jika menginginkan masa depan yang baik, sudah menjadi keharusan kita menatanya sejak kini, yaitu dengan cara menikmati segala hal yang sedang kita kerjakan. Jangan pernah berusaha merusak dan mengacaukan masa depan hanya karena kecemasan atau emosi yang tak terkendalikan. Sejatinya, tak ada untungnya kita terus menggerutu soal kehidupan. Bukankah juga hidup tersusun dari segala ketidakpastian? Bahagia dan sedih tergantung cara kita menyikapinya.
Jadi, terkait masa lalu, masa kini, dan masa depan wajibnya memang harus diselaraskan. Saya percaya, ketiga fase masa tersebut sangat erat kaitannya dengan segala kondisi kita pada saat ini dan tingkat kepuasan kita terhadap kehidupan yang kita jalani. Saya akui pula, berdamai dengan masa lalu dan hal-hal yang terkadang menjadi tekanan batin di luar diri kita seperti halnya masa depan memang butuh perjuangan yang hebat. Namun, dengan adanya kita menikmati masa kini, sejatinya kita telah menghargai arti hidup dan bersyukur dalam setiap detik napas yang berembus.
Mari kita saling memberi perhatian dan belas kasih untuk diri kita sendiri agar kebahagiaan dan kedamaian hidup turut menyertai.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”