Aunty: tuh liat sepupu kamu, hidupnya bergelimpangan harta benda. Kok kamu nggak bisa?
Me: Yaiyalah! Dia sudah lulus dan bekerja 7 tahun, apa dayaku yang masih sekolah ini?
Berapa sering sih kita dibanding-bandingin sama orang lain? Entah dibandingin sama saudara sendiri, sepupu, teman, bahkan orang lain yang ketemu aja gak pernah? Gimana sih perasaan kalian? Bete? Kesel? Marah? Tapi pastinya nggak enak banget kan.
Sayangnya, sekesal-kesalnya kita akan tindakan (atau budaya?) membanding-bandingkan ini, “budaya” ini melekat banget dengan interaksi manusia. Dimulai dari orang tua yang membanding-bandingkan anak-anaknya sampai guru, teman, bahkan tetangga atau orang lain yang kenal aja nggak.
Tapi, pernahkah kalian yang hobi membandingkan orang lain ini memahami bagaimana berbedanya kerja keras atau faktor-faktor lain dibelakang hasil yang membedakan kami? Misal, sepupu A selalu dapat nilai 100 di ujian matematikanya, tapi aku cuman 60. Sepupu A ini memang suka matematika, dan memiliki bakat menghitung dan berlogika.
Sementara aku ini, tidak suka matematika. Bagiku lebih baik waktunya kuhabiskan untuk belajar hal lain, misalnya bahasa. Matematika? Yang penting bisa lulus yasudahlah. Disini terlihat berbeda kemampuan kami. Tapi kenapa kami harus dibandingkan hanya dengan ulangan matematika? Padahal kalau ujian bahasa, aku selalu mendapat 100, sedangkan sepupu A 60 saja jarang-jarang.
Mereka bilang, ini untuk memotivasi kita (para korban pembandingan) agar bisa lebih baik lagi. Tapi lebih baik menurut standar siapa? Karena BAIK untuk aku, kamu, dia, mereka berbeda-beda, tidak ada yang sama. Mungkin buat kamu menjadi yang lebih baik adalah saat kamu bisa lancar 7 bahasa yang berbeda. Tapi buatku, lebih baik jika bisa mempopulerkan istilah baru.
Mungkin benar kata Albert Einstein:
“Setiap orang adalah jenius. Tapi kalau kamu menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, maka selama hidupnya dia akan mempercayai bahwa dia bodoh.”
Kamu tidak tahu efek ucapanmu pada kami, terlihat sepele tapi sangat berpengaruh pada hidup kami. Ada yang menjadi terobsesi menjadi lebih baik versimu, menentang diri sendiri dan berakhir kurang bahagia.
Ada juga yang memilih untuk tetap dijalannya, dan menjadi lebih baik versinya, tapi hidup dibawah tekanan karena mereka yang membandingkan tidak bisa menerima kami dan keukeuh “menyuruh” kami agar seperti perbandingannya.
Dear kita, mari memutuskan lingkar banding-membandingkan ini. Berani menceritakan kembali kemampuan dan prestasi kita yang lebih dari apa yang mereka tahu. Berani mengatakan betapa tidak masuk akalnya cara mereka membandingkan kita dan betapa menyakitkannya bagi kita.
Dan, jangan meneruskan “budaya” ini. Kalau kita saja tidak suka dibandingkan, mereka juga tidak suka. Cheers!
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”