Selain Mekah dan Madinah (untuk keperluan ibadah haji), keinginan saya dalam hidup ini adalah mengunjungi New York City, Amerika Serikat. Saya tidak pernah sekalipun menginjakan kaki di New York City, tapi saya selalu merasa pernah hidup dan punya kenanganan disana. Saya merasakan sebuah nostalgia akan sesuatu yang tidak pernah saya alami sama sekali ketika melihat New York City sejak saya kecil. Saya merasakan sebuah perasaan yang kerap kali didefinisikan seperti homesick atau kangen kampung halaman pada New Yor City. Aneh sekali bukan?
Sejak saya kecil, tidak terhitung lagi berapa banyak serial televisi, film hingga game yang berseting di New York City. Mulai dari sitkom Friends dan How I Met Your Mother, film seperti Home Alone 2 dan Spiderman, video game seperti Grand Theft Auto IV dan Mafia, dan sejumlah musik seperti lagu berjudul New York yang dinyanyikan musisi legendaris Frank Sinatra hingga lagu berjudul Empire State of Mind yang dibawakan oleh Alicia Keys.
Sebenarnya, apa yang membuat saya begitu menyukai New York City sih? Tentu saja, jika saya bisa mendeskripsikannya, saya begitu takjub dengan banyaknya gedung pencakar langit di Manhattan. Bahkan beberapa gedung seperti Empire State Building yang memiliki 102 tingkat dengan tinggi lebih dari 400 meter, sudah dibangun tahun 1930 dan kokoh berdiri hingga saat ini.
“I want to wake up in a city that doesn't sleep”, ujar Frank Sinatra dalam lagu berjudul New York.
“Grew up in a town that is famous as the place of movie scenes”, ujar Alicia Keys dalam lagunya yang berjudul Empire State of Mind.
Mungkin saya memang terlalu naif karena termakan propaganda Amerika Serikat yang berbunyi The American Dream, ketika gelombang imigrasi terjadi ketika penduduk Eropa bermigrasi besar-besaran ke Amerika Serikat, terutama di Kota New York dengan harapan mereka akan mendapatkan kehidupan yang jauh lebih layak.
Kenyataannya, New York City adalah kota paling semerawut di dunia. Kemacetan lalu lintas yang lebih parah dari Jakarta, angka kriminalitas yang begitu tinggi, hingga orang-orang yang tidak ramah sama sekali karena semua berusaha begitu egois karena berusaha meraih mimpinya. Belum lagi permasalahan kesenjangan sosial dan rasialisme yang masih menjadi PR besar pemerintah Amerika Serikat.
Saking semerawutnya New York City, dikisahkan dalam kisah fiksi seperti Batman sebagai bahwa kota ini adalah sebuah kota penuh dengan gangster Irlandia, mafia Italia, Triad dari China, Yakuza dari Jepang, maupun kartel dari Amerika Latin. Kota yang tidak ramah baik untuk bocah billionaire seperti Bruce Wayne, maupun orang dengan keterbelakangan mental seperti Artur Flex dalam film Joker.
Dalam kisah nyata pun, terlalu banyak orang yang ditipu di jalanan New York City, terutama para pelancong. Tidak mudah juga menjadi minoritas di kota ini. Kaum minoritas seperti orang keturunan Asia, orang berkulit hitam, hingga orang beragama Islam kerap kali mendapat perlakuan tidak adil meskipun dia adalah warga negara Amerika Serikat yang sah.
Di balik itu semua, entah mengapa, saya begitu menyukai hiruk pikuk New York City di jam-jam sibuk ketika ribuan orang berjalan kaki di Times Square untuk pergi bekerja, mengantri bus kota maupun memasuki stasiun bawah tanah diantara gedung-gedung pencakar langit yang ada di sana. Rasanya saya ingin menjadi salah satu dari kerumunan ribuan orang tersebut, merasakan capeknya mencari uang di New York City, hanya untuk sekadar makan dan biaya sewa apartemen yang harganya selangit.
Mengunjugi Times Square yang sibuk, mengangumi Empire State Building yang legendaris, ataupun menonton teater di Broadway. Berfoto di Patung Liberty, jogging di Brooklyn Bridge, ataupun sekadar duduk-duduk di Central Park.
Saya begitu iri dengan para selebriti maupun warga negara Indonesia lainnya yang dapat tinggal di New York City baik yang berkuliah, maupun bekerja disana. Sayangnya, saya belum memiliki skill maupun biaya yang memadai untuk sekadar berkuliah apalagi bekerja disana. Mudah-mudahan suatu saat nanti saya bisa mengunjungi New York City, setidaknya satu kali dalam hidup saya.
Sekali lagi, entah mengapa, saya selalu merasa bahwa New York City adalah kota kelahiran saya, dan seolah saya tumbuh besar disana. Ini memang dipengaruhi sejumlah serial televisi, film, game, maupun lagu yang berseting di New York City yang sejak kecil saya konsumsi.
Dan saya yakin, yang meraskan hal ini bukan hanya saya. Begitu banyak manusia yang memiliki perasaan yang sama dengan saya, setidaknya dari komentar para netizen di berbagai platform media sosial yang saya baca, maupun dari berbagai forum dan situs yang saya kunjungi di dunia maya. New York City adalah sebuah keajaiban tersendiri dimana orang yang belum pernah menginjakan kaki disana justru merasakan sebuah nostalgia seolah pernah hidup dan tumbuh besar disana.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”