Seharusnya Aku Tak Malu Disebut Anak Papa

Dua puluh tahun aku selalu diantar jemput Papa. Dari SD sampai kuliah, Papa selalu setia menungguku keluar dari gerbang sekolah. Tak terkecuali saat malam telah larut, meski pun jarak rumah dan universitasku bisa di bilang cukup jauh sekitar 16 km. Suatu ketika aku pulang telat tidak seperti biasanya, tanpa memberi taunya. Hingga Papa menunggu 3 jam, namun beliau tidak pernah marah karena memang tipikal orangnya yang sabar dan pengertian. Di sela-sela menungguku, beliau mungkin sangat lelah hingga tertidur di depan klinik universitas. Teman-temanku yang mengetahui itu adalah Papaku langsung menjadikan hal itu bahan pergunjingan.

Advertisement

Esok paginya, saat aku jalan bersama teman-teman. Mereka menegurku,


"Heh, kamu itu udah gede, masih aja dianter jemput Papamu! Dasar anak Papa!"


Mendengar kata itu aku merasa malu dan marah pada Papa. Sesampainya di rumah, aku meminta agar Papa tidak mengantar jemputku lagi. Aku malu kalau Papa tidur di depan klinik. Aku malu di bilang anak Papa.

Advertisement

Aku marah pada Papa, tanpa mengerti seberapa besar pengorbanannya untukku. Papa rela menjemputku dari perbatasan kota, tempat kerjanya yang ditempuh dengan waktu 2 jam perjalanan hanya demi aku. Papa rela menunggu aku berjam-jam tak peduli siang atau malam, panas terik atau hujan badai, beliau tetap setia mendampingiku agar aku tak pulang sendirian.

Waktu berlalu begitu cepat, aku sudah bekerja di luar kota dan jarang pulang ke rumah. Suatu ketika Papa dilanda sakit keras dan mengharapkan kehadiranku, namun aku tidak memprioritaskannya. Aku pulang saat Papa sudah dalam keadaan koma, aku tak bisa lagi mendengarkan suaranya, yang aku lihat hanya tubuh lemahnya yang terkulai di kamar ICU, aku terus berdoa memohon agar Tuhan mengangkat penyakitnya. Selang 3 jam setelah ku panjatkan doaku, Suster keluar kamar dengan wajah tanpa ekspresi dan mengabarkan beliau telah berpulang ke sisi Yang Maha Kuasa.

Advertisement

Aku tertegun, tak bisa menangis. Ini semua seperti mimpi. Apa benar orang yang selama ini menjagaku telah pergi untuk selamanya? Aku mulai teringat banyak dosa yang aku lakukan padanya, betapa bodohnya aku yang tak pernah bersyukur dikaruniai seorang ayah seperti dia. Untuk apa aku malu dipanggil anak Papa? Seharusnya aku bangga memiliki Papa sebaik dia.

Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, rasa rinduku padanya semakin kuat, namun apa daya semua sudah terlambat. aku tak bisa menggenggam tangannya lagi, aku tak bisa mendengar suaranya lagi, dan tidak ada lagi orang yang akan setia menungguku berjam-jam di luar pagar sekolah seperti dulu lagi.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

I'm a badass INFP squad.