Memberi Dari Kelebihan Adalah Hal Biasa, Kalau dari Kekurangan Itu Baru Anti-Mainstream!

Sebuah Mentalitas Lebih Baik Tangan Diatas Daripada Dibawah.

Pada zaman dahulu di Israel, datanglah seorang janda miskin ke sebuah rumah ibadah. Di depan rumah ibadah tersebut ada sebuah peti persembahan, banyak orang kaya datang dan memasukkan sejumlah uang yang besar. Tapi janda miskin ini memasukkan dua peser**, yaitu satu duit. Meski begitu, persembahan janda miskin ini lah yang lebih banyak dibandingkan persembahan orang-orang kaya. Sebab, mereka semua memberi dari kelimpahannya. Tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya dia berikan, ya, benar, seluruh nafkahnya.

Advertisement

˜˜˜

Kebanyakan kita, apalagi anak-anak muda, akan memilih untuk memberi ketika keadaan uang kita sendiri sudah cukup banyak. Atau istilahnya, "Karena keuangan gue lagi stabil nih, jadi okelah gue bagi sama loe," Kita berfikir bahwa tidak pernah ada ceritanya orang yang masih serba kekurangan bisa memberi kepada orang lain, ya, bisa berbagi.

Tapi kisah diatas secara tersurat sudah membuktikannya. Janda miskin itu bisa memberikan seluruh penghasilannya untuk diberikan kepada rumah ibadah. Dia hanya mendengarkan kata hatinya saja untuk memberi, dan dia melakukan itu. Dia tidak menghitung untung dan rugi waktu memberi, dia tidak berpikir bahwa, "Kan aku orang miskin, pasti aku tidak dituntut untuk memberi pada rumah ibadah ini," Tapi dia tidak memikirkan itu, dia tetap memilih untuk memberi dari semua kekurangannya. Wow, keren banget!

Advertisement

Mungkin para readers yang semakin hari semakin kritis dan pintar ini mulai bertanya, "Kisah apakah itu? Benarkah itu terjadi? Kisah nyata? Itu kan zaman dahulu, sekarang sudah jarang bahkan tidak ada orang yang melakukan itu, dsb" Tapi beberapa waktu yang lalu ketika seorang tukang parkir dengan kaos abu-abu lusuh dan rambut basah terkena rintikan hujan berkata kepada saya, "Bawa saja motornya mbak." Hah? Apa maksudnya? Tidak kah bapak ini berpikir bahwa ucapan saya tentang tidak ada uang kecil tadi adalah sebuah kata yang klise.

Mengapa dia tidak mendebat saya dan tetap meminta saya membayar uang parkir? Padahal, bapak parkir ini bukan orang yang punya uang banyak, karena kalau dia punya uang banyak tentu saja dia tidak menjadi tukang parkir. Hehe. Tapi dia hanya memilih untuk tetap memberi dari kekurangannya. Memang sih dia tidak menggratiskan semua motor yang datang ke toko alat tulis kantor (ATK) itu, tapi bukankah Rp1.000-2.000 itu berharga bagi seorang tukang parkir? Beberapa ribu uang parkir itu kan penghasilannya? Dan toko ATK yang saya datangi ini bukan toko yang besar dan ramai, bisa bayangkan jika hanya 10 motor dalam sehari yang datang? Maka, dalam sehari dia hanya mengantongi sejumlah Rp10.000-20.000 saja.

Advertisement

Lalu bagaimana jika isteri dan anaknya belum makan seharian menunggunya pulang dan membawa makanan dari hasil parkir? Agak berlebihan sih. Hehe. Tapi pasti keluarganya menunggu bapak ini pulang dengan uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Ya, terlepas dari semua kekurangan yang dia alami dalam hidupnya, tapi bapak ini lebih memilih untuk memberi. 

Dalam hidup ini kita sering diperhadapkan pada sebuah situasi yang mengharuskan kita untuk  menghitung untung dan rugi. Kita akan begitu pelit ketika keadaan keuangan kita sedang tidak aman, ya, kita seringkali akan mengabaikan untuk mendengarkan suara di hati kita untuk memberi ketika kita juga sedang mengalami kekurangan.

Kedua orang diatas ini  bukan orang kaya dan berlimpah harta, mungkin mereka harus berjuang di setiap jam hidup mereka untuk bisa makan. Namun, mereka tidak memilih untuk merengek-rengek meminta orang lain memperhatikan kondisi mereka sehingga akhirnya akan mewajarkan jika mereka tidak memberi. Tidak, mereka tidak memilih pilihan itu, mereka berketetapan untuk tidak pernah mengkhianti suara di hati untuk memberi. Mereka memilih punya mental tangan diatas (baca: memberi) daripada tangan dibawah (baca:meminta-minta).

Sangat mudah jika dalam segala kelimpahan kita, kita diperhadapkan pada kondisi untuk memberi. Tapi bagaimana jika kita sendiri masih sangat kekurangan, maukah kita tetap memberi? Karena kalau memberi dalam kelimpahan itu sudah hal yang biasa alias mainstream. Tapi jika di dalam kekurangan kita tetap bisa memberi, itu adalah hal yang diatas batas biasa, ya, itu benar-benar antimainstream. Dan Sang Pencipta Alam Semesta ini akan dibuat terharu dengan pilihan antimainstream kita ini, bahkan Dia tak akan berlama-lama untuk menolong kehidupan kita kedepannya. Stay fabulous, peeps!

**Mata uang tembaga Yahudi yang paling kecil, sama dengan setengah duit. pe·ser /pésér/ ark n uang tembaga yg bernilai setengah sen zaman Belanda; rimis;se·pe·ser num serimis (½ sen).

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Shangrila.(n) ; any place of complete bliss and delight and peace→The Lost Horizon, James Hilton(England,1933)™ Passion Never Weak