Ada yang harus dilepas.  Rasa.
Ada yang harus ditahan. Rindu.
Ada yang harus dibenci. Cemburu.
Ada yang harus ditinggalkan. Luka.
Ada yang harus diikhlaskan. Kamu.
Terimakasih padamu, aku bisa merasakan bagaimana menjadi wanita seutuhnya.  Aku bisa merasakan sedihnya patah hati, pahitnya dikecewakan, dan perihnya rasa cemburu.  Tapi pada saat yang bersamaan, kamu juga membuatku bisa merasakan manisnya jatuh cinta, indahnya dicintai, dan senangnya dicemburui.Â
Sekarang, sudah saatnya kita berpisah kekasih.  Sudah cukup rasa yang kamu tawarkan padaku.  Sudah cukup pelajaran tentang cinta yang kamu berikan padaku.  Aku sudah mengerti semuanya.  Pelajaran terakhir yang kamu berikan padaku akan menjadi pelajaran paling penting dalam hidupku.  Bahwasanya, saling mencintai bukan berarti harus saling memiliki.Â
Kita berdua saling mencintai, namun yang terjadi, setiap detik kebersamaan kita, bukan bahagia yang kita cipta, namun duka yang sedang kita timbun sedikit demi sedikit.  Duka yang  akan semakin mendekatkan kita dengan perpisahan.  Karena pada dasarnya, pertemuan kita dua tahun yang lalu hanyalah perpisahan yang tertunda di antara kita.
Ah… aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku setelah hari ini.  Bagaimana aku bisa menjalani kehidupan tanpamu?  Tidak.  Aku tidak akan berkata aku tidak bisa hidup tanpamu.  Karena pastinya, aku akan tetap hidup.  Hanya saja bukan hidup yang sebenarnya aku mau.Â
Kau mau tahu hidup seperti apa yang aku mau?  Aku sebenarnya sudah lama lupa bagaimana kehidupan yang aku mau sebelum mengenal kamu.  Jadi, aku akan mengatakan bagaimana hidup yang aku mau setelah mengenal kamu saja ya?
Hidup yang aku mau sejak aku mengenalmu begitu sederhana.  Aku hanya mau terbangun setiap pagi di sampingmu.  Kamu masih terlelap karena kelelahan dengan aktivitas kita semalam.  Aku yang tidak mau membangunkanmu memutuskan untuk berjingkat-jingkat menuju dapur, menyeduh secangkir kopi hitam kesukaanmu—dua sendok teh kopi dan satu sendok makan gula—di cangkir bening kesayanganmu. Â
Setelah itu, aku menyiapkan sarapan untuk kita berdua.  Sarapannya yang sederhana saja, karena aku masih belajar memasak.  Beberapa saat kemudian kamu terbangun dan langsung mencariku di dapur.  Kamu memberikan kecupan lembut di bibirku sebelum kamu menyesap kopimu.  Lalu, aku menciummu.  Kali ini dengan lebih bernafsu.  Kamu tahu kenapa kan?  Aku selalu menyukai rasa bibirmu setelah kamu minum kopi.  Padahal kamu tahu sendiri kan aku bukan pecinta  kopi?
Pagi itu kita lanjutkan dengan sarapan—setelah kita mandi tentunya.  Di meja makan kecil kita, kita berbincang apa saja.  Tentang pekerjaan kita, tentang rencana akhir pekan kita, tentang film yang ingin kita tonton, tentang buku yang sedang aku baca, tentang mobil yang ingin kita beli, ah…pokoknya tentang banyak hal.  Sampai-sampai kita lupa kalau kita harus segera berangkat kerja.
Siang mungkin adalah waktu tersulit dari hidup yang aku mau.  Karena dalam hidup yang aku mau, saat siang kita harus berpisah karena pekerjaan kita masing-masing.  Aku menghabiskan siangku dengan perasaan rindu dan ingin segera pulang ke rumah kita.  Berulang kali aku ingin meneleponmu, tapi aku takut mengganggumu bekerja. Â
Jadi, aku hanya mengirimu pesan singkat, "Selamat bekerja, Sayang" yang tidak kamu balas dengan pesan juga, namun sebuah telepon.  Kamu tanya, "Kenapa nggak telepon aja?  Pasti alasannya takut ganggu aku kan?".  Aku hanya menjawabmu dengan tawa kemudian mendesah pasrah, "Aku ini memang seperti buku yang terbuka ya bagimu?".
Percakapan kita kemudian ditutup dengan kalimat favoritku, "I miss you, sampai ketemu di rumah".  Iya.  Rumah kita.  Rumah dalam hidup yang aku mau berukuran kecil, hanya terdiri dari dua kamar.  Satu untuk kita dan satu untuk anak kita kelak. Ruangan lain hanya ada ruang TV, dapur, ruang tamu dan satu kamar mandi.  Tapi meskipun kecil, halaman kita cukup luas. Â
Kamu bahkan berjanji jika punya rezeki akan membangun lantai dua khusus untuk aku jadikan perpustakaan.   Seperti yang dulu kamu ucapkan ketika melamarku, "Setelah kita menikah, mimpimu adalah tanggung jawabku untukku mewujudkannya.  Jadi siap-siap saja keluar dari pekerjaanmu untuk jadi penjaga perpustakaan".Â
Hmm indah bukan hidup yang aku mau?  Apalagi ketika malam tiba.  Malam adalah waktu yang paling aku sukai dalam hidup yang aku mau.  Setelah makan malam sambil menonton TV—kebiasaan yang membuat ruang makan kita jadi pengangguran—kita menggosok gigi bersama kemudian merebahkan diri di tempat tidur kita berdua.  Ah, hanya kamu saja.  Karena aku merebahkan separuh tubuhku di badanmu.  Menyembunyikan kepalaku di ceruk lehermu, karena itu adalah tempat ternyaman dalam hidup yang aku mau.  Baunya enak.  Bau sabun mandi yang sudah menyatu dengan kulitmu.Â
Kita berbincang tentang hari kita.  Apa saja yang kita lalui hari ini dan apa yang akan kita lakukan besok.  Kita berbincang sampai kita mengantuk kemudian salah satu dari kita tertidur duluan.  Biasanya sih aku dulu dan aku tidak akan terbangun kalau saja kamu tidak tiba-tiba ingin ‘melakukannya’ denganku.  Aku tidak keberatan. Karena setiap sentuhanmu adalah candu bagi tubuhku.Â
Begitulah.  Dalam hidup yang aku mau, hariku selalu aku tutup dengan melihatmu.
Sayangnya, itu hanya hidup yang aku mau. Kehidupan yang sebenarnya jauh dari itu. Di kehidupan sebenarnya, aku terbangun tanpa kamu dan tidur tanpa melihatmu. Satu-satunya yang sama hanyalah merindukanmu. Tapi bukan hanya siang, melainkan setiap detik dalam hidupku.Â
Hei, kalau kamu belum tahu, aku mau mengatakan ini padamu sekarang.  Aku mencintaimu.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”