Sebuah Cerita dari Daratan Berasap

Hanya sebuah curahan hati dari penduduk daratan berasap.

Kering. Kemarau. Musim itu telah datang. Satu dari dua musim yang jadi langganan di bumi pertiwi ini. Semula biasa. Tak ada yang berbeda dari musim kering sebelumnya.

Advertisement

Si jago merah yang mulai sedikit berulah. Mulanya rumah, yang mungkin memang musibah. Lalu lahan dan hutan, yang entah terbakar karena apa. Entah karena proses alamiah atau ulah. Ulah dari jiwa jiwa serakah.

Tangan-tangan yang ingin menjarah lebih kekayaan negeri ini. Tanpa memikirkan berapa banyak jiwa yang harus dibayar demi kepuasan duniawi itu sendiri. 

Berapa banyak satwa yang harusnya dilindungi itu mati? Berapa banyak pohon yang menjadi rumah itu hilang? Berapa luas tempat yang harusnya jadi paru paru dunia itu musnah?

Advertisement

Mengapa tidak mempertimbangkan semua itu? Apakah yang dituju itu lebih berharga? Apakah yang terpikir kejayaan itu selalu bermanfaat bagi semua orang?

Tidak. Tidak ada satu pun pencapaian luar biasa jika harus mengorbankan begitu banyak jiwa yang tak tau apa apa.

Advertisement

Yah, benar. Memang benar.

Manusia takkan menyadari betapa tidak berharganya uang ketika pohon terakhir telah tiada. Siapa pun yang berulah dibalik semua ini. Kuharap kalian bisa mengerti apa yang kami rasakan.

Sebagai manusia lain yang menderita karena ulah kalian. Sebagai satwa yang menangis karena kehilangan keluarga dan rumahnya. Sebagai para pejuang untuk kaum manusia lain yang masih menderita.

Jika belum mengerti, mari sini duduk. Kuceritakan. Jika perlu, mari berdiam sini.

Untuk waktu yang lama. Nikmati sesaknya udara yang kami hirup. Nikmati pandang yang tak lagi jernih dan perih. Nikmati segala bentuk racun tambahan yang biasa terhirup setahun sekali ini.

Ini sebuah bencana. Memang tak ada bangunan yang porak poranda. Memang tak semua rutinitas terhenti. Meski tak sampai berdarah darah pula.

Tapi sudah begitu banyak yang merugi karena semua ini. Satwa terpanggang. Makhluk hidup lain juga memiliki hak untuk bertahan hidup. Sudah begitu banyak pula manusia yang tak mampu lagi menghirup oksigen tanpa partikel jahat. Menghirup oksigen bersih dengan gratis.

Sudah begitu banyak pejuang yang merelakan waktunya untuk mengembalikan keadaan, tapi rasanya masih tak sebanding dengan apa yang dilakukan. Apa harus menunggu ada manusia yang meregang nyawa dulu baru berhenti berulah? Baru bertindak tegas? Baru dirasa ini adalah sebuah bencana. Entah siapa yang harus disalahkan.

Ah, sudahlah. Tak perlulah berharap lebih. Cukup kuatkan diri dan berdoa semoga ini semua lekas berakhir. Aku sudah rindu melihat langit jernih berwarna biru. Juga rindu bernapas tanpa asap.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

INFJ's girl