Seberapa Kesepian Dirimu? Peluk Jauh Jika Kamu Mengalami Berbagai Hal Ini

Selang-selang waktu istirahat, saya kembali scroll down aplikasi media sosial berisi beragam konten, didominasi oleh tulisan-tulisan. Kadang topiknya berat, kadang receh, kadang ada yang curhat. Beruntung, tatap mata saya tertuju kepada tulisan curhat. Memangnya mau melawan seperti apa lagi di kala lelah tengah hari untuk tidak membuka hiburan sejenak. Apalagi isinya curhatan orang yang kali saja lebih menderita daripada diri sendiri.

Advertisement

Tulisan tersebut dimulai dengan pertanyaan "Seberapa kesepian dirimu?" Dijawab oleh banyak orang. Satu di antaranya adalah seorang perempuan yang panjang lebar menuliskan kesepiannya. Saya tertarik untuk mencoba membuka lebih banyak apa yang sedang orang ini keluhkan. Seberapa kesepian orang ini? Memangnya sebegitunya hingga dicurhatkan? Sebesar itukah sepinya hingga diwakilkan sampai 800 lebih kata?

Saya baca dari ujung atas hingga bawah. Ah, kembali lagi saya salah berekspektasi. Benar ternyata ia kesepian. Parahnya lagi, saya merasa mengiba dan merasa mengalaminya. Sangat related kalau kata netizen sekarang. Sialnya lagi, saya justru ikut-ikutan untuk mengomentari kesepiannya, berharap berbagi penderitaan yang sama dalam lembaran online tersebut. Alhasil, saya juga menuliskan seberapa kesepian diri ini.

Suatu waktu dan beberapa kali, saya menaiki kendaraan hanya untuk berjalan-jalan. Tanpa arah dan tujuan. Mengitari jalanan raya. Berhenti bersama motor dan mobil lainnya di lampu merah. Terus melaju melewati pertokoan. Memacu dan menyalip orang yang berboncengan apalagi sedang mesra-mesraan. Jauh kilometernya sudah tak saya hitung. Sambil menghirup udara yang kadang polutan dan sesekali menatap jauh ke depan jalan. Berharap ada sesuatu keajaiban di sela kesepian yang selalu dihadapi kala motor sudah tak berjalan.

Advertisement

Level kesepian yang saya rasakan tak cuma sampai di situ. Hei kalian yang selalu makan sendirian di warung makan. Walaupun kadang ingin mengajak seseorang, tapi ternyata sudah jadi kebiasaan. Bukannya tak mau, tetapi tak ada yang bisa menemani. Baik itu karena kesibukan mereka atau tentu saja ditolak semena-mena. Pernah saya merasa bersalah makan sendirian di warung. Satu meja dengan kursi empat, saya tempati satu. Orang yang baru datang dan ingin makan di tempat kadang merasa tak enakan. Padahal orang itu gerombolan tak cuma satu. Kalah dengan saya yang hanya seorang diri. Mereka tak jadi makan. Ingin langsung pulang saja, tapi makanan belum habis. Jadi maafkan. Lain kali, jika ada kesempatan akan saya bawa pulang saja untuk dimakan di rumah. Tentu saja sendirian juga.

Terinspirasi dari tulisan yang kita bahas sebelumnya, kalimat ini juga kadang menjadi inspirasi perbuatan aneh saya. Kalimat menyedihkannya seperti ini: "We sometimes think we want to disappear, but all we really want is to be found". Astaga, benar lagi. Sering kali di tengah kesepian yang melanda, ada pikiran untuk mencoba menghilang. Menjauh dari segala aktivitas media sosial dengan ragam status update-nya. Toh, tak ada yang peduli juga. Ironisnya, bukan ketidaktahuan orang lain akan hilangnya kita lah yang sedang dicari. Justru seberapa berusaha mereka mau mencari yang tadinya hilang. Ingin ditemukan. Ingin dicari dan diperhatikan. 

Advertisement

Saya sudah mencobanya. Tidak ada update status, tidak memulai chatting, cuma read di grup tanpa membalas dalam kurun waktu tertentu. Pahitnya kawan-kawan, saya benar-benar hilang. Tak ada yang mau mencari untuk menemukan. Ternyata, dunia masih baik-baik saja tanpa hadir dan guyonanmu. Baiklah. Saya menyerah dan kembali ke dunia seperti sedia kala. Berita baiknya, masih ada yang menghubungi saya. Meminta pertolongan dan bantuan yang biasa sering saya sediakan. Beginilah lembaga sosial yang menjelma langsung menjadi seorang manusia.

Kesepian bukan berasal dari jumlah temanmu yang sedikit. Kesepian berasal dari ketidakpedulian orang akan hadirmu. Banyak lagi pengalaman lainnya yang saya alami dan mungkin kamu alami juga. Rasanya bangkit sendiri, rasanya bernyanyi sendiri kala tengah malam, sembari meneteskan air mata, rasanya itu sangat menyiksa. Malam habis, pagi menjelang. Rutinitas kembali dilakukan. Orang-orang kembali peduli dengan yang mereka prioritaskan. Sayangnya, mungkin kita bukan di antaranya. Sore menjelang malam. Kesepian kembali dirasakan. Mau diapakan lagi, tinggal disenyumi saja lagi. 

Kukirimkam pelukan online dari sini. Sini peluk. Kamu nggak sendirian.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Seorang yang menatap langit yang sama denganmu