Sebelum Hujan Itu Reda

“Maaf, sempat kehujanan tadi” Seorang laki-laki muda menyapa sambil mengibaskan-ngibaskan tangan ke kemejanya yang sedikit basah, seolah dengan cara seperti itu kemejanya akan segera kering.

Advertisement

“Iya, gapapa” Perempuan itu tersenyum sambil menutup buku di depannya yang sedari tadi ia baca. Laki-laki itupun menggeret kursi, dan duduk berhadapan dengan sang perempuan. Ada meja diantara mereka.

“Kulihat tadi kamu tersenyum sendiri. Kali ini drama atau skenario konyol apalagi yang terlintas dalam kepalamu?."

“Aku hanya sedang membayangkan sensasi jatuh cinta.”“Ah kamu” Lelaki itupun meraih buku di depannya, membolak balik sebentar dan meletakkan buku itu lagi.

Advertisement

“Bisa jatuh cinta berkali-kali pada orang yang sama itu sepertinya menyenangkan” Ujar perempuan itu melanjutkan bicaranya.

“Kebanyakan nonton film romance ya begini, bikin error otakmu. Ngomong-ngomong mana kopiku? Belum kamu pesenin?”

Advertisement

“Belum”

“Kebiasaan”

Laki-laki itupun berdiri, mengangkat tangan sambil memanggil seorang pramusaji yang sedang berdiri di dekat kasir. Hujan tak begitu deras, jalanan di depan kedai kopi sore itu cukup lengang.

“Aku masih ingat tentang keinginanmu untuk jatuh cinta pada pandangan pertama dengan seseorang yang kamu temui di sebuah kedai kopi”

“Hahaha… dan keinginanku makin menjadi setelah menemukan video klip Falling in Love at a Coffee Shop-nya Landon Pigg” Perempuan itu tertawa lepas.

“Dan karena ide konyolmu lah akhirnya kamu bela-belain sering nongkrong di kedai kopi, meski awalnya kamu gak suka kopi. Aku juga masih inget, gimana ide konyolmu untuk travelling lalu bertemu dengan seseorang, ngobrol macem-macem lalu jatuh cinta. Itu setelah kamu nonton Before Sunrise.”

“Iyaa… sampe sekarang kadang aku masih memikirkan itu.”

“Sampe sekarang? Bener-bener aneh “ Ucap si lelaki sambil seolah-seolah ingin melemparkan buku yang ada di meja ke arah si perempuan.

Perempuan itu lalu menyeruput kopinya.

“Lalu apa yang kita lakukan di sini, sekarang?” Tanyanya sambil menatap datar ke arah jalan yang basah.

“Bukankah kita sedang hidup dalam kekinian? Bukankah kita sedang mencoba hidup seperti orang-orang yang lainnya. Bukankah begini gaya hidup zaman sekarang? Nongkrong, minum kopi, ngobrol hal-hal yang absurd, dan hal yang gak jelas lainnya, sesekali kita update di media sosial”.

“Seberapa penting?”

“Buat kamu mungkin ga penting, tapi buat yang lain mungkin penting. Merayakan kekosongan dan kepenatan jiwa setelah suntuk kerja atau ngerjain tugas kuliah dengan segelas kopi, syukur-syukur bisa berkumpul dan bercanda dengan teman.”

“Merayakan kekosongan jiwa?”

“Manusia perlu bersosialisasi dengan lingkungan, mereka mungkin butuh untuk ada dengan cara mereka. Atau kalau kata Maslow, mereka butuh untuk beraktualisasi diri. Seperti kita sekarang. Kau dan aku, di sini.”

“Nongkrong, melakukan hal-hal gak jelas, foto atau status gak penting, lalu mengunggahnya ke media sosial?”

“Kenapa kau jadi sinis dan nyinyir begini?”

“Justru aku sedang sinis pada diri sendiri, karena aku ternyata menjadi bagian dari hal yang aku sinisi, aku ada di dalamnya. Ephemeral Being

“Bukankah hidup kita ini juga sebentar?”

“Justru itu, beberapa hari terakhir aku kepikiran tentang kebermaknaan hidupku, kebermanfaatan diriku bagi sesama”

“Hasilnya?”

“Aku menemukan bahwa aku belum berbuat apa-apa, selama ini aku terlalu sibuk dengan diri sendiri, mengejar dan membuat kesenangan-kesenangan pribadi. Belum ada pencapaian yang yang bermanfaat dan berarti.” Ucap perempuan itu. “Sementara, hidup itu sendiri sangat singkat” Tambahnya dengan suara yang lirih.

“Apakah kamu pernah memikirkan atau merenungkan itu?”

“Apa?” Tanya si lelaki.

“Bahwa keberadaanmu bisa memberi manfaat bagi orang di sekitarmu, at least keluargamu”

Hujan di luar makin deras, mendung sore itu cukup gelap. Tak ada pengunjung yang datang lagi di kedai kopi itu.

“Aku mau pesen hot chocholate, barangkali kamu mau nambah apa gitu? Hujannya sepertinya masih akan lama” Ucap si perempuan.

“ Kentang. French fries

“Baiklah”

Kali ini perempuan itu yang berdiri, berjalan mendekati pramusaji. Berbincang sebentar lalu kembali duduk di tempatnya semula.

“Kembali ke hal awal yang kamu bilang tadi” Laki-laki itu kembali membuka pembicaraan.

“Apa?”

“Sensasi jatuh cinta, bahkan jatuh cinta berkali-kali pada orang yang sama. Kenapa?”

“Entahlah, merasakan debaran dan reaksi kimia serta melakukan hal yang konyol dan gila itu sepertinya seru. Ada pacuan adrenalin di sana.”

“Dasar aneh.. “

“Bukan anehlah. Inget kata Nietzche tentang cinta dan kegilaannya?”

“Jangan bawa-bawa Nietzche untuk ide-ide anehmu”

“Ah kamu ini, setidaknya biar obrolan kita itu terdengar sedikit keren dan berbobot. Oh ya.. Kamu inget ga? Sehabis nonton When Harry Met Sally, kamu dengan PD-nya melarangku jatuh cinta ke kamu. Padahal seru juga sih bisa jatuh cinta dan akhirnya menikah dengan sahabat sendiri.”

“Hahaha… iya aku inget banget”

“Tapi ada yang kamu lupa, kita tak pernah tau kapan, di mana dan dengan siapa kita jatuh cinta kan?” Ucap perempuan itu retoris.

“Jadi, bisa saja kan kalau aku jatuh cinta ke kamu. Who knows?” Sambil mengerlingkan matanya perempuan itu berdiri. Mengambil tas dan hendak beranjak pergi. Laki-laki itu terdiam dengan tatapan penuh tanya. Iapun beranjak, menyelesaikan pembayaran di kasir. Si perempuan menunggu di pintu. Hujan baru saja reda.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Too much unimportant things in this unimportant world.