Dalam film dokumenter Netflix berjudul The Social Dilemma, orang-orang yang dulunya bekerja di perusahaan media sosial besar mendapat kesempatan untuk bicara soal dampak media sosial pada manusia. Gara-gara film itu, saya membatasi diri 'bermain' media sosial. Seseorang di dalam dokumenter tersebut, di akhir film, menyarankan agar kita pergi menengok dunia luar. Itu indah, kurang lebih demikian katanya. Dia benar, kita perlu untuk melihat dunia luar–bahkan saat kita sedang scrolling linimasa Twitter.
Media sosial bisa membuat kita terkurung dalam sebuah gelembung. Ketika di Instagram kita mengikuti seorang pesepak bola, misalnya, maka sistem akan merekomendasikan pemain sepak bola lainnya di layar. Itu baru olahragawan, tapi bagaimana bila seseorang yang kita ikuti ternyata adalah orang yang memprovokasi masyarakat–tanpa kita sadari? Tentu sistem akan kembali menyuguhkan kita pada pesan-pesan provokatif atau orang-orang yang provokatif. Secara tak sadar, kita mungkin sudah mengikuti mereka, dan bahkan menganggap ucapan mereka sebagai sesuatu yang lumrah. Perlu diingat bahwa "yang lumrah" memiliki batas yang tipis dengan "yang benar".
Ada sebuah saran menarik dari dokumenter tersebut, yaitu "mengikuti orang-orang yang berbeda pendapat dengan saya". Tujuannya, supaya kita bisa tetap terbuka pada berbagai pandangan (lepas dari persoalan benar dan salahnya). Tak terkurung pada gelembung yang menyusun konten di layar. Nausicaa Renner, dalam esainya di New Yorker, menjelaskan bahwa di era ini manusia bisa membentuk sendiri narasi mengenai dirinya. Manusia bisa memilih video apa yang mau mereka kenang di kanal YouTube, bisa memilah perkataan apa saja yang mereka mau tinggalkan di linimasa Twitter.
Dunia tidak dikonstruksi oleh orang-orang dewasa lagi. Hari ini, pada usia berapa saja, bila seseorang sudah bisa mengakses internet dan media sosial, maka ia bisa membangun citranya sendiri. Itu pun, kita tak benar-benar sendiri dalam membangun identitas. Masih ada orang-orang lain yang juga turut andil dalam menentukan siapa kita di media sosial. Masih ada juga jejak digital—yang sering disalahartikan. Tak salah juga kalau menganggap media sosial adalah rimba yang tak bisa ditebak. Kita bisa tiba-tiba melihat video tiktok oleh orang yang tak kita kenal menjadi viral, atau tiba-tiba ada orang dirundung, dan lain-lainnya. Kalau beruntung (atau tak beruntung), kita bisa juga jadi salah satunya.
Di media sosial kita seperti menulis dengan pena. Sekalipun bisa dihapus dengan tip-ex, bekasnya tak hilang. Dan itu yang membuat banyak orang kemudian bisa melesat namanya, bekas tak hilang melainkan tersebar ke mana-mana. Maka, selalu mengambil jarak dari media sosial mungkin adalah solusi yang baik. Kita tak bisa benar-benar hidup tanpa menggunakan media sosial–paling tidak kita tentu memakai salah satunya. Syahdan, kita mungkin aktif menggunakannya, tapi kita tidak hidup dalam realita maya, bukan?
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”