#PerempuandalamTulisan – Saya (Terpaksa) Menjadi Perempuan

Saya bisa dikatakan sebagai orang yang manja. Sifat ini didukung oleh lingkungan keluarga yang mana kedua orang tua saya adalah PNS. Walaupun bukan PNS pangkat tinggi, setidaknya setiap pagi makanan selalu ada. Entah itu hasil masakan mamak atau beli nasi bungkus dekat rumah. Jadi saya tinggal bangun, mandi, makan, kuliah, organisasi, pulang, makan lagi, tidur dan terus menerus seperti itu siklusnya.

Advertisement

Oiya, hal kedua yang mendukung sifat manja saya itu adalah kebetulan di rumah, selain saya, mamak, ayah, dan 3 adek, ada bibi yang ikut tinggal. Beliau sudah yatim piatu sejak kecil. Semenjak tinggal sama kita, semua pekerjaan rumah semisal menyapu, cuci piring, lipat baju dan sebagainya, beliau yang kerjakan. Alhasil, ya saya tidak perlu repot-repot lagi urus pekerjaan rumah. Saya tinggal ambil baju di lemari, tinggal taruh piring habis makan. Santuy dah pokoknya.

Tapi semua itu berubah di bulan Februari 2020

Saya lupa itu tanggal berapa. Yang pasti itu terjadi 1 hari setelah saya pulang dari Banten sehabis ikut kegiatan. Saya masih ingat betul kejadian itu. Pagi itu saya baru bangun dan langsung sarapan. Sekitar jam 9 kalau nggak salah, beliau datang ke rumah sambil gendong anaknya. Saya (dan ini menjadi penyesalan dalam hidup saya) waktu itu nggak sempat menoleh ke beliau yang waktu itu masuk ke ruang tengah. Saya sibuk sama HP karena waktu itu ada yang saya kerjakan.

Advertisement

Seakan itu pertanda (saya baru sadar memang itu pertanda setelah kejadian itu), beliau cuma masuk sebentar dan pergi lagi. Saya yang waktu itu nggak merasa aneh, santai aja menanggapi bibi saya yang langsung pergi. Saya baru mulai merasa aneh, pas ada tetangga yang datang kasih tahu bibi saya pingsan. Kebetulan mamak waktu itu udah pulang kerja dan langsung panik dengar kabar itu. Merasa ada yang aneh karena pingsan, beliau langsung dibawa ke rumah sakit.

Saya nggak ikut ke rumah sakit karena nunggu rumah. Mamak yang pergi. Jujur saja, waktu itu saya nggak terlalu panik karena ngerasa semua bakal baik-baik saja. Tapi perasaan saya langsung berubah 180 derajat pas HP saya berdering. Saya langsung mematung dengar suara di telepon itu yang sambil terisak-isak bilang Fin, bik Anik meninggal. Saya bingung harus seperti apa. Karena saya jarang sekali dapat kabar langsung kematian orang terdekat. Terakhir kabar kematian yang saya terima pas nenek meninggal. Tapi waktu itu saya masih SD kelas 5, belum terlalu paham tentang kematian.

Advertisement

Meninggalnya bibi saya itu menyisakan kesedihan yang begitu mendalam. Bagaimana tidak, beliau meninggal dengan umur pernikahan yang belum genap 2 tahun dan memiliki seorang anak perempuan yang masih berusia kurang 2 tahun. Rasa kehilangan begitu mendalam kami rasakan.

Satu hari berlalu.

Satu minggu berlalu.

Satu bulan berlalu.

Sebuah pertanyaan muncul di benak saya. Siapa yang akan mengurus pekerjaan rumah sekarang? Saya? Nggak tahu. Bahkan baru sekedar membayangkan saya bakal cuci piring, menyapu rumah, lipat baju dan sebagainya, sudah merasa aneh duluan, apalagi pas sudah melakukannya. 

Di awal-awal mamak masih bisa kerjakan pekerjaan rumah. Tapi perlahan kondisi mulai berubah karena mamak juga nggak bisa terlalu capek karena faktor umur. Kondisi rumah jadi berantakan karena piring habis makan menumpuk, jemuran menggunung dan nggak ada yang lipat, debu juga menempel di sana sini. Karena nggak ada yang bisa kerjakan itu, mamak akhirnya turun tangan juga walaupun capek. Efeknya, mamak ngomel sambil kerjakan pekerjaan rumah itu. Benar-benar multitasking. 

Mau nggak mau, satu-satunya cara buat stop omelan mamak dengan cara saya yang ambil alih pekerjaan itu. Saya masih ingat gimana pegelnya pinggang saya berdiri untuk cuci dan bilas piring yang menumpuk, lipat baju yang menggunung dan berdebu sampai saya harus bersin berkali-kali. Sebuah kegiatan yang begitu baru dan asing buat saya.

Saya terpaksa menjadi perempuan. Nggak ada perempuan di keluarga selain mamak yang bisa bantu dia. Karena saya anak paling besar, saya coba untuk ambil peran itu.

Awalnya saya ogah-ogahan dan merasa asing kerjakan pekerjaan rumah itu. Tapi pelan-pelan akhirnya terbiasa juga. Saya bagi tugas sama mamak. Habis mamak masak, saya yang cuci piring. Mamak menyapu, saya mengepel sama sikat kamar mandi. Itu semua kayak peraturan tidak tertulis. Bahkan sampai saya nggak boleh (Sebenernya boleh. Cuma ada tanggung jawab moral dan ada rasa bersalah kalau nggak dikerjakan) keluar rumah sebelum selesai pekerjaan rumah.

Dari terpaksa akhirnya saya belajar menjadi perempuan. Itu terjadi karena saya merasa nggak bisa selamanya menjadikan alasan malas dengar omelan mamak sebagai dasar melakukan semua pekerjaan rumah tadi. Harus ada alasan logis. Saya pun menemukan alasan yang logis, yaitu ini didasarkan atas niat berbakti kepada orang tua.

Saya terlalu sibuk di luar sampai-sampai melupakan kewajiban di rumah. Seakan rumah itu cuma sebagai tempat tidur dan makan. Karena merasa rumah hanya sebagai tempat tidur dan makan, akhirnya saya nggak terlalu peduli akan kondisi rumah itu. Saya lupa mamak udah nggak muda lagi, nggak bisa melakukan banyak hal.

Semua pekerjaan yang saya lakukan itu juga menyadarkan kalau nggak selamanya cuci piring, lipat baju, menyapu rumah dan segala pekerjaan domestik rumah, hanya harus dikerjakan perempuan. Laki-laki juga harus bisa melakukan semua itu. Melakukan pekerjaan rumah bukanlah kodrat perempuan, melainkan kodrat manusia pada umumnya.

Seringkali juga saya mendapat predikat sebagai cowok rajin hanya karena menyapu lantai yang berdebu ataupun piring yang menumpuk di wastafel. Saya sebenarnya sama sekali nggak bangga sama predikat itu karena itu pekerjaan yang bisa dilakukan siapapun. Nggak harus menunggu perempuan yang mengerjakan hal itu.

Setelah melakukan semua hal tadi, saya tersadar kalau perempuan, terutama ibu, adalah orang yang tangguh. Siapa bilang perempuan itu lemah. Kalau memang mereka lemah, nggak mungkin mereka bisa melakukan pekerjaan yang laki-laki saja kadang tidak bisa melakukannya.

Pada akhirnya, laki-laki dan perempuan itu memiliki kedudukan yang sederajat. Jadi, yang seharusnya kita lakukan adalah bukan mensejajarkan laki-laki dan perempuan, tapi bagaimana laki-laki dan perempuan saling mengisi peran untuk saling melengkapi.

Oiya, ngomong-ngomong saya jadi kepikiran. Kalau kaum feminis ingin menyetarakan perempuan dengan laki-laki, saya ingin menyetarakan laki-laki dengan perempuan. Kira-kira apa ya nama gerakannya?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Biasa dipanggil Dhafin. Seorang mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Mataram. Mencintai dunia kepenulisan sejak SMA dan menulis berbagai macam tulisan bertema islam, sejarah dan isu terkini.