Curhatan Seorang Sarjana yang Terjun ke Sawah tapi Malah Sering Dikira Salah Tujuan

Apa tanggapanmu, jika sudah sarjana masih juga membantu keluargamu di sawah? Malukah? Banggakah?

Paradigma masyarakat tentang sarjana dan kehidupan pedesaan agaknya mulai menyempit. Dari dua orang sahabatku, aku mengetahui sebuah fakta yang sedikit menyedihkan tentang kasus sarjana dan sawahnya. Dua orang sahabatku – si kembar – adalah dua orang perempuan hebat yang kukagumi sifat pekerja keras dan apa adanya, suatu hari seusai menyandang gelar sarjananya mereka berladang seperti biasa.

Advertisement


Agaknya ada salah seorang tetangganya yang bertanya, “Kok sarjana masih aja berkeliaran di sawah? Sia- sia sarjanamu, dek~"


Menemui fakta ini, aku jadi sedikit prihatin juga. Aku pribadi memandang dua sahabatku ini sebagai role model bagi para pemuda khususnya para civitas akademika. Tidak perduli apa pangkat, jabatan dan tingginya pendidikanmu, tugasmu sebagai anak tetap harus dijalankan dengan baik dan bijak.

Tujuan dua sahabatku ini ke sawah juga bukan sekedar main air atau menjemur badan kok. Mereka memang selalu menyempatkan diri membantu bapak dan ibunya di sawah. Aku jadi saksinya. Setiap kali kita ada rapat organisasi, ada beberapa anak yang izin tidak hadir dengan alasan membantu orang tua di sawah salah duanya ya si kembar ini.

Advertisement

Dari dulu hingga sekarang, aku mengagumi orang–orang yang dengan ikhlas dan konsisten membantu orang tua mereka. Beberapa sosok di sekitarku adalah role model-nya. Aku benar – benar salut dan menghormati kebiasaan baik mereka.


Justru di sini fungsi mahasiswa yang sesungguhnya, berguna bagi daerahnya.


Advertisement

Membantu orang tua di sawah kan juga jadi keteladanan anak – anak di sekitar mereka. Dengan adanya sosok orang seperti sahabat – sahabatku ini, harapannya akan banyak anak – anak yang tergerak dan sadar bahwa konsep pendidikan dan bakti kepada orang tua itu harus beriringan.

Kita boleh aja sekolah setinggi–tingginya dan sejauh–jauhnya, tapi jangan lupa kita bisa mengeyam pendidikan itu pun berkat jerih payah orang tua kita. Karena aku besar dan tumbuh di daerah pedesaan yang agraris, maka banyak orang tua yang bermatapencaharian sebagai petani. Hidup damai beriringan dengan alam dan melestarikannya.

Lagi–lagi aku ingin mengangkat sebuah kasus zaman now. Suatu kali aku dan salah seorang sahabatku yang berprofesi sebagai bapak muda sekaligus petani kreatif berceloteh di depanku “Besok, kehadiran sosok petani akan sangat di rindukan”. Aku mengiyakan. Pasalnya, semua orang tua mulai beranggapan bahwa anak – anak mereka sekolah adalah untuk keluar dari lingkaran kemiskinan–yaitu jadi petani– di pedesaan.

Aku tak menganggap konsep ini salah. Memang benar kok, kesejahteraan petani di Indonesia memang payah. Tapi, bukan berarti sekolah tinggi kemudian meninggalkan ladang. Mari kita berpikir sederhana, jika ada keluarga petani dengan anak 3. Kemudian, si bapak menyekolahkan anak pertama hingga jadi dokter, anak kedua jadi guru dan ketiga jadi POLRI.

Lalu akan dipakai apa sawahnya? Ya mungkin, akan dianggurin atau habis dijual untuk biaya pendidikan? Pernah nggak berpikir “Macam mana itu nasib sawah pak tani?”. Mari kita prediksikan, saat ini kita memasuki era revolusi industri 4.0 dimana – mana pembangunan dan lain – lain. Ya kalau sawah jatuh ke petani juga sih, alhamdulillah sawah nggak berkurang. Kalau pindah ke tangan bisnis man?

Kemungkinan sawah akan dibangun bangunan baru dan berkuranglah satu sawah di Indonesia. Jika hal semacam ini terjadi di banyak keluarga petani di hampir seluruh pulau dan kota di Indonesia, maka sedikit demi sedikit… habislah sawah kita. Mungkin, kelak ketika anak cucu kita nanya, “Eyang, ini berasnya darimana kah?’ kita akan jawab “Impor tuh dari negara xxx.” Dan kita hanya akan bernostalgia tentang masa kejayaan pangan di negara kita.

Ngeri ih! Aku hanya mendramatisir sih, tujuannnya? Ya agar kamu ikut seresahku. Kita wajib resah tentang sawah di negara kita. Minimal, pantau tuh sawah–sawah di dekat rumahmu.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Sahabatnya kucing yang gemar makan mie dan buku

Editor

Not that millennial in digital era.