Setiap menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) pasti dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang menyangkut jalannya kegiatan tersebut, dan salah satu contohnya adalah permasalahan “Golongan Putih” atau yang biasa disingkat Golput. Golput merupakan orang-orang yang tidak memberikan suaranya pada pemilu, baik di tingkat pemilihan presiden, maupun legislatif, baik di daerah maupun nasional. Namun, disebutkan bahwa istilah golput sendiri sudah hadir sejak pemilu 1971. Dilansir dari tirto.id, golput merupakan kegiatan datang ke tempat pemungutan suara, dan mencoblos bagian putih diantara gambar-gambar calon, mengakibatkan suara tidak sah dan tak bisa dihitung. Golput waktu pertama kali muncul, mereka adalah gerakan yang tidak pasif. Dikumandangkan para pemuda dan mahasiswa yang memprotes penyelenggaraan Pemilu 1971.
Tren golput ini diprediksi akan terus meningkat. Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago. Pertarungan ulangan Jokowi vs Prabowo, visi misi yang terkesan retrorikal, ataupun tidak ada kelompok yang direpresentasikan dengan baik oleh kedua kubu. "Ketika tidak tersalurkan representasi kepentingan politik mereka, kedua sosok ini juga dipandang tidak bisa menjawab persoalan, tidak bisa membawa harapan baru untuk mereka, ya automatically mereka akan golput. Golput ini mestinya tidak akan terlalu tinggi kalau tiga calon misalnya," kata Pangi yang dilansir dari www.bbc.com.
Bila dikaitkan dengan hak berpolitik, sebenarnya menjadi golput itu sah-sah saja. Toh tidak melanggar undang-undang juga. Arif Maulana selaku pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) menyebutkan bahwa menjadi golput adalah hak sebagai warga negara. Bahkan, hak tersebut dilindung oleh Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), UUD 1945, dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM). Tindakan mengajak golput katanya juga bisa dipidana, benarkah? Golput merupakan hak sebagai warga negara, kok bisa dipidana? Serius? Komisi Pemilihan Umum (KPU), baik di tingkat pusat maupun daerah sering mengimbau warga untuk tidak golput. Mereka juga mengatakan orang yang berkampanye mengajak orang lain untuk golput dapat dipidana. Nyatanya, golput tidak termasuk dalam bentuk pidana pemilu, meski sering dikaitkan dengan Pasal 515 Undang-Undang No 7/2017 tentang Pemilihan Umum, menurut peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Sustira Dirga.
Hal lainnya yang perlu disoroti selain dengan meningkatnya jumlah golput, adanya pergeseran sebab untuk menjadi golput juga perlu diperhatikan. Menurut Jurnal Penelitian Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yang ditulis oleh Sri Yuniarti pada tahun 2016 menyebutkan pada masa rezim Orde Baru alasan untuk menjadi golput dikarenakan permasalahan politik. Sementara setelah orde baru, baru terjadi pergeseran alasan. Pada pemilu 2004 disebabkan rasa kekecewa masyarakat terhadap lembaga-lembaga politik yang ada baik parlemen maupun partai politik, serta penilaian kinerja atas lembaga eksekutif dan yudikatif yang dianggap buruk juga menjadi faktor pendorong bagi masyarakat untuk tidak berpartisipasi. Pemilu selanjutnya, tahun 2009 juga memiliki alasan yang berbeda, dimana kinerja KPU dinilai tidak beres. Banyak pemilih yang pada saat itu tidak terdaftar.
KPU sadar akan meningkatnya jumlah golput. Banyak cara yang telah dilakukan oleh KPU untuk bisa mengurangi jumlah tersebut. Dikutip dari hasil penelitian Lidya Wati Evalina dan Mia Angeline yang berjudul “Upaya Mengatasi Golput pada Pemilu 2014” dijelaskan bahwa KPU mengadakan perekrutan relawan demokrasi hingga pelosok negeri, dengan melibatkan lima segmen pemilih yaitu pemilih pemula, kelompok agama, kelompok perempuan, penyandang disabilitas dan kelompok pinggiran. Lalu menambah jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS), dan yang terakhir yaitu dengan beriklan di Televisi ataupun Radio. Menurut KPU, mereka mengusung konsep electiontainment, yaitu pemilu menjadi ajang pesta rakyat yang menghibur, ringan, dan lebih dekat dengan masyarakat.
KPU sudah melakukan berbagai upaya untuk menekan jumlah golput, namun fakta dilapangan justru mengatakan peningkatan golput terus terjadi dari tahun ke tahun dengan berbagai alasan yang berbeda. Menjadi golput adalah hak warga Negara, menjadi pemilih pun juga hak warga Negara. Golput bukan berarti tindak pidana, namun penyeru dan mengajak golput dengan iming-iming uang itulah yang musti ditindak. Apapun keputusan yang akan diambil nantinya, masyarakat Indonesia berharap, kelak memiliki pemimpin yang benar-benar bekerja untuk rakyatnya, tanpa pamrih.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”