Saat Orang Tua Mengeluh Padamu, Janganlah Palingkan Wajah

Beruntung semesta menganugerahkan satu dari sekian kebaikan pada kami. Akhir tahun lalu aku diterima menjadi abdi negara. Tempat tugasnya tidak jauh dari gubuk reot kebanggaan kami sekeluarga. Setiap hari, aku berangkat dari rumah menuju ke tempat kerja. Benar-benar rahmat kehidupan yang kelampau berharga. Buntutnya, aku memiliki banyak waktu melihat Papa dan Mama memasuki usia tua. Barangkali segala yang terjadi itu bagian dari rencana Tuhan yang datang di tengah kami. Bila mengingat semuanya, tak jarang, aku mengatupkan tangan memadahkan syukur atas segala kenikmatan demi kenikmatan yang Tuhan berikan.

Advertisement

Buah dari rahmat yang dianugerahkan pada keluarga kami setidaknya dapat meringankan sedikit ekonomi keluarga. Apalagi sekarang masih ada anggota keluarga kami yang sedang mengenyam pendidikan di bangku perguruan tinggi. Adik kami yang tercinta sedang kuliah di Pulau Dewata. Biayanya tak murah. Mama sering menceritakan soal biaya kuliahnya yang mahal, ditambah dengan biaya hidup di kota pariwisata itu yang tidaklah sedikit. Makanya aku bersyukur sekali saat memiliki pekerjaan yang tetap, paling tidak bisa mengirimkan sedikit uang demi meringankan beban kuliah dari adik tercinta.  

Hari-hari yang aku lalui kini hanya di rumah. Setiap hari aku menjadi salah satu saksi mata dalam melihat tampilan dari Papa dan Mama yang perlahan berubah. Papa, orang yang kami hormati itu, dulunya memiliki rambut hitam mengkilap, sekarang sebagian besar rambutnya telah berubah warna. Rambutnya memutih, tanda usia tak dapat ditipu. Tiga tahun lagi ia kepala enam. Sementara Mama kulitnya mulai keriput. Tahun ini ia menginjak usia setengah abad.

Di dalam hari-hari yang kami lalui, percakapan demi percakapan menghiasi pertemuan saat duduk bersama. Saat sedang menikmati santapan kerap kali menjadi salah satu hal yang tak pernah terlewatkan untuk bercerita. Terkadang aku melemparkan candaan untuk mengundang gelak tawa. Tawa membahana menghias saat lelucuan mengena di dalam hati. Selebihnya percakapan di antara kami mengulas topik tentang rencana dari hari ke hari. Entah tentang pendidikan, usaha di bidang pertanian, hingga kesehatan mereka yang kini sedang tidak baik-baik saja. 

Advertisement

Namanya panggung kehidupan, tampilannya tidak baik-baik saja. Di tengah mengarungi ombak kehidupan bersama dengan orang tua tak selamanya berjalan muluk. Terkadang kita melihat mereka berwajah murung.  Berita buruknya saat kita mengajukan pertanyaan pada mereka, justru mereka menanggapinya dengan santai, seolah-olah sedang tidak terjadi apa-apa. Padahal kita tahu kalau hatinya sedang tidak baik-baik saja, ada sesuatu yang menjanggal perasaannya, lalu membuatnya risih. Namun mereka justru acuh tak acuh saat kita menginterogasi dengan pertanyaan, apatis dan tidak memberikan jawaban sama sekali. Mereka malah tak ingin mengkhawatirkan hati anak-anaknya.

Orang tua kita sebagian besar pandai menyimpan rahasia. Mereka kerap kali tidak berbicara jujur pada anak-anaknya. Mereka mendadak jadi manusia kuat. Rasa sayang ditambah dengan perasaan untuk tidak merepotkan anak-anaknya ialah dasar utama mereka tidak terbuka. Akibatnya mereka tak pernah terbuka jujur pada buah hati yang sudah mereka besarkan. Tugas anak harus ekstra peka. Ia harus jeli membaca situasi. Caranya dapat dilakukan dengan melihat tampilan wajah dari kedua orang tua di rumah. Dengan begitu, kita dapat terlibat dan merasakan setiap beban kehidupan yang sedang  terjadi.

Advertisement

Tentu kita pernah mendengar cerita orang tua yang terus memperlakukan anak-anaknya seperti bocah kecil penuh ingusan. Jangan heran mereka enggan merepotkan buah hatinya saat sedang dihantam oleh badai kehidupan. Mereka malah mengklaim kalau saja tidak ada perkara yang perlu dipikirkan. Keterlaluan memang. Di mata mereka kita masih seperti yang dulu, bocah kecil yang masih perlu dituntun dan dibimbing. Mereka enggan merepotkan buah hati yang amat dicintainya itu.

Sebagai buah hati, kita harus jeli. Sisihkan sedikit waktu untuk melakukan pembicaraan empat mata dengan Mama. Ia terbuka saat kita masuk jauh ke dalam relung hatinya, pengaruhi alam bawah sadarnya, agar ia mampu menceritakan setiap beban hidup dengan gamblang. Dengan begitu lidahnya terasa ringan dalam menceritakan setiap hal yang  dirisaukannya. Lakukanlah dengan hati, pakai rasa untuk membuka asa.

Saat orang tuamu membuka hati, misalnya mereka sedang mengeluh tentang kondisi ekonomi yang tengah kalang kabut, jangan apatis. Wajahmu tak boleh berpaling. Mereka sedang membutuhkan bantuanmu. Bangun dan berdiri satu kaki dengan mereka. Hatimu kiranya dipakai untuk meringankan beban hidup yang sedang mereka alami. Mungkin itu permintaan terakhir. Kamu merasa bersalah kalau saja tak berhasil memenuhi permintaannya. Di mata mereka kamu sudah dewasa kalau saja mampu meringankan beban hidup yang ada, bukan lagi anak kecil penuh ingusan dan sering cengeng.

Kamu yang telah beranjak jauh dari rumah, sesekali berbagi kabar meski hanya menanyakan apa kabar. Pertanyaan receh semacam itu akan menggobati rasa rindu. Syukurlah kalau ada rezeki lebih, kirimkan mereka setangkai bunga sebagai tanda terima kasih. Jangan melupakan mereka begitu saja, apalagi tidak berbagi kabar sampai sekian waktu.

Sekarang semua pilihan ada di tangan kita masing-masing. Memilih acuh tak acuh, tak berbagi kabar, atau malah menjadi orang yang paling  posesif dalam mencari tahu keadaan dari orang tua di rumah. Kita hanyalah manusia yang lemah, tak bisa berdiri utuh tanpa bantuan dari kedua orang tua. Jangan sia-siakan waktu yang ada.

Catatan ini semacam oase untuk menyegarkan aku yang sering salah arah dan salah kaprah. Misalnya  mengabaikan satu saja permintaan dari Papa dan Mama di rumah. Dasar aku. Anak yang kadang kala lupa daratan. Semoga kamu tidak.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pecinta Kopi Colol dan Sopi Kobok. Tinggal di Manggarai Timur, Flores. Amat mencintai tenunan Mama-mama di Bumi Flobamora.