Ada berbagai cara untuk mengisi waktu luang, usai berkutat dengan kesibukan dan rutinitas di kantor atau kampus. Aku memilih mengisi waktuku dengan cara yang nggak biasa dengan berkunjung kembali ke sekolah dalam program alumni mengajar. Rasanya tentu senang bukan main ketika dihubungi oleh kepala sekolah untuk mengisi sesi dalam program tersebut, meskipun aku nggak punya persiapan yang super jitu.
Namun berbekal pengalaman di media dan dunia psikologi, aku memiliki ide untuk berbagi banyak hal seputar pekerjaanku dan ilmu peliputan berita yang dilihat dari sudut pandang psikologi. Segudang angan-angan dan rencana terbersit jelas dalam benak dan pikiranku. Namun siapa sangka ketika harinya tiba, ada sejumlah skenario yang harus diubah ketika aku memasuki sebuah kelas yang berisi remaja-remaja cerdas dengan beragam karakteristiknya yang tengah duduk di bangku kelas 7.
Kedua guruku yang bernama Yohanes Ari dan Yustina Periyanti turut mendampingiku dalam proses mengajar di kelas. Kemampuan mereka dalam mengajar tak perlu diragukan. Mereka mampu memprediksi respon siswa di kelas, peka, dan cerdas mengobservasi kondisi siswa-siswinya. Kerennya, meski guru-guruku sudah kaya akan segudang pengalaman, mereka tak banyak mengaturku, justru memberikan kesempatan bagiku untuk berpikir dan membuat alur mengajar yang cocok untuk siswa-siswi di kelas tersebut. Terlebih nggak semua siswa sudah benar-benar melek di kelas. Pastinya di sesi pagi masih ada yang ngantuk dan ingin terlelap dalam mimpi indah mereka semalam, ada yang pikirannya masih ke mana-mana menantikan jam istirahat, dll.
Remaja keren yang ada di bangku kelas 7 sebetulnya  secara kognitif memang sudah mampu berpikir logis. Hanya saja cara mengajar remaja awal tentang serunya dunia jurnalistik tak seperti mengajar remaja di bangku kuliah. Perlu role play yang seru dan memancing mereka dengan cerita-cerita unik, lucu yang pernah kurasakan ketika meliput berita dan berhadapan dengan narasumber yang hadir dengan beragam kepribadian mulai dari yang jenaka, membingungkan, hingga bikin ngangenin.
Sharing ala talk show pun akhirnya tercetus. Guru bahasa Indonesiaku yang bernama Yustina penuh inisiatif dalam mengambil alih untuk menjadi moderator dan mewawancaraiku layaknya aku seorang narasumber kece. Mulailah aku bercerita tentang keisenganku di sekolah, termasuk hal-hal yang menginspirasiku untuk mengambil jurusan psikologi namun berani untuk terjun ke dunia jurnalistik ketika bekerja. Cara guruku menggiring berbagai pertanyaan, mendorongku untuk nggak malu-malu berbagi  sudut pandang untuk  adik-adik kelas agar memiliki pandangan yang positif tentang sekolah, khususnya dalam hal bergaul, mengekspresikan diri, dan nggak takut mengeksporasi berbagai bidang di usia remaja mereka.
Pada sesi berikutnya, guru komputerku, Yohanes Ari mengajarkanku arti menjadi seorang pemimpin yang berwibawa. Aku tertegun saat melihatnya begitu piawai berdiri di depan kelas, lalu menyulap kelas menjadi fokus dan tertib. Anak-anak yang semula asik dengan teman di kanan-kirinya, sontak memusatkan perhatian pada sosok guru yang tengah berdiri gagah di tengah kelas. Hebatnya lagi, guru komputerku itu melakukannya tanpa harus marah-marah atau menakuti adik-adik kelasku.
Ketegasannya seperti sosok artis Korea profesional yang tengah berperan sebagai CEO alias pemimpin tegas nan berwibawa yang tetap bersahabat dengan siapa saja, namun tetap mendapatkan respect dari orang-orang sekitarnya. Hal yang membuatku sangat senang ialah guru-guruku yang rendah hati dan berbesar hati memberikanku waktu untuk berkembang, mencicipi untuk terjun di dunia pendidikan yang sangat dinamis, bertemu dengan anak-anak yang hadir dengan beragam kepribadian, serta keunikannya sendiri.
Ketika banyak orang seusiaku di tahap perkembangan usia dewasa muda memakai waktu cuti untuk berkelana ke tempat wisata, jalan-jalan di mall, nongkrong di kedai kopi, rebahan di kasur, namun aku merasa tidak rugi saat memilih untuk mampir ke sekolah.
Usai program alumni mengajar itu aku berkenalan dengan beberapa adik kelas dan berbincang-bincang tentang hobi mereka, bermain aplikasi tiktok bersama dan bersenang-senang bersama dengan cara anak sekolahan yang seru dan menyenangkan. Nostalgia yang tak terlupakan. Waktu luangku menjadi begitu berarti saat berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang-orang hebat seperti guru-guruku dan adik-adik kelasku yang memiliki pemikiran luar biasa. Saat itu juga, guru-guruku membuka pikiranku bahwa yang namanya belajar itu tak melulu dari yang senior. Buktinya dari adik-adik kelasku aku menjadi tahu tentang cara bersenang-senang yang sederhana dan lebih positif, seperti duduk dan makan bersama di koridor sekolah, bersenda gurau sambil menghapal gerakan tik-tok dll. Melihat keceriaan adik-adik kelasku membuatku menjadi lebih bersemangat dalam menghadapi sejuta tantangan penuh kejutan yang menantiku di hari-hari berikutnya.
Kembali ke sekolah itu berarti berbagi dan kembali belajar, karena belajar itu tak harus dari yang lebih senior, namun belajar dari adik-adik kelas membuka pikiran dan imajinasiku tentang arti bahagia dengan cara yang sederhana dan apa adanya.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”