[CERPEN] Rumah untukku Pulang

Aku menyukai bagaimana kamu bisa dengan begitu cerdas mengimbangi percakapan kita.

“Mas, aku kangen sama dia.”

Advertisement

Lagi, kata itu yang aku dengar lagi dari mulutmu. Lalu memangnya, aku bisa apa, selain mendengarkanmu dengan tabah, menunggumu meluapkan segalanya dengan tangis yang sedu atau kedua mata yang begitu layu? Karena memang, bukannya aku memang tidak mungkin merupa sebagai seorang yang kamu rindukan? Nielle, ketika ia adalah satu-satunya yang membuat wajahmu berubah sendu atau menumpahkan tangis di depan mataku, demi Tuhan hatiku sudah sangat geram. Tidakkah kamu memahaminya dari bola mataku ini?

“Kenapa?”

“Lagunya, Mas,” matamu sudah berkaca-kaca, dan aku tahu sebentar lagi air-air itu akan tumpah dari sana. “Dia baru saja buat IG story pakai lagu kesukaanku.”

Advertisement

Oh, jangan lagi, Nielle. Menangis di hadapanku, sama saja dengan membuat hatiku ngilu.

“Nggak apa-apa, nangis aja. Yang penting, pulang nanti udah nggak boleh nangis lagi, ya?” lagi juga, Nielle, aku harus bersikap seolah ksatria yang memastikan kamu akan baik-baik saja, meski aku sendiri yang hancur.

Advertisement

Benar, kamu menangis di hadapanku; menumpahkan semuanya, yang barangkali di dalamnya ada rindu yang begitu hebat, atau luka yang kembali mencuat, entah. Namun bagiku tetap sama saja, melihatmu menumpahkan air mata dengan wajah sedih seperti itu sangat menyakitkan. Kamu memang masih terlihat cantik meski sedang menangis, Nielle, tetapi aku benci matamu yang semakin sayu itu menumpahkan air-air luka, atau rindu, atau keduanya.

“Aku pulang ya, Mas? Udah malam juga. Makasih udah nemenin aku nangis, ya.” matamu sembab, Nielle, dan hatiku kalut melihatnya. Aku hanya bisa menganggukkan kepala, sambil mengusap-usap ujung kepalamu dengan sayang.

“Udah ya, nangisnya? Janji dulu sama aku kalau kamu nggak akan nangis di jalan kayak kemarin-kemarin lagi, oke?”

Kamu tersenyum sambil mengangguk pelan. “Siap, bos!”

Malam menjadi semakin dingin ketika aku melihat punggungmu menjauh bersama sepeda motor yang kian berlalu dari lampu-lampu kota yang temaram. Dan, Nielle, ada yang kamu tinggalkan denganku saat ini.

Luka.

Aku terluka, Nielle, ketika harus menjadi orang yang melihat tangismu dengan kedua mata telanjangku.  

***    

“Kamu suka sama Ranielle?” celetuk Dani, sahabat karibku yang juga mengenal Ranielle dengan baik. Kami bertiga memang dipertemukan dalam komunitas sosial yang sama. Dan barangkali, sejak pertama kali iris mataku menangkap wajah Ranielle, sepertinya hatiku sudah dibuat kacau.

“Kenapa mikir gitu?” aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, sambil fokus menyepak bola yang sudah menggelinding di lapangan.

“Kelihatannya kamu suka, aku belum pernah liat kamu memandang sebegitunya ke seorang cewek.” Dani merebahkan dirinya di tengah lapangan hijau, menungguku membalas perkataannya.

“Emang gimana tatapanku ke dia?” aku menghentikan laju bola dengan sebelah kakiku. Keringat mengucur deras lewat dahi, begitu aku menolehkan kepala menatap Dani yang dengan santainya berbaring di tengah lapangan yang memang sudah sepi sejak beberapa menit yang lalu.

“Sayang.”

Aku terhenyak, cukup lama sebelum akhirnya Dani kembali buka suara.

“Tatapan itu yang udah lama nggak pernah aku liat lagi semenjak kamu ditinggal nikah sama Fabiola, Ken.” Dani bangkit dari rebahnya, kemudian menepuk pundakku satu kali dengan yakin. “Kalau kamu udah yakin sayang sama dia, kejar dong. Masak wasit terbaik yang bisa menangkap bola dari musuh, nggak bisa menangkap hati seorang Ranielle, sih?”

 Dani terkekeh sambil berlalu pergi, meninggalkan aku yang terbengong sendiri.

Apa aku benar harus mengejarmu ya, Nielle?

Lalu, dengan traumamu yang sebegitu, apa aku benar bisa menangkap hatimu yang nantinya kembali jatuh?

Kemudian, Nielle, yang kulakukan setelah berhari-hari tertohok oleh kata-kata Dani adalah hanya menunggumu. Aku menunggumu yang selalu bersedia menjadi begitu ramah pada setiap rekan laki-laki sekomunitas kita. Aku menunggumu yang selalu berwajah ceria kepada setiap orang baru yang kamu temui meski aku sangat tahu bahwa dibalik keceriaanmu yang menyejukkan mataku itu, sempat ada tangis yang tumpah ruah hanya karena rindu dan ingat betapa sakitnya disakiti seorang lelaki.   

Aku menunggumu dengan khawatir, lalu aku menjadi begitu pengecut untuk mencoba memenangkan hatimu yang sudah ingin kujadikan rumah untukku pulang.

“Mas!”

“Kali ini apa? Mau nangis lagi?” aku mengusap-usap ujung kepalamu dengan gemas, sedang kamu hanya tertawa kecil dengan ekspresi malu-malu yang bagiku sangat manis.

“Kok selalu diingetin, sih?” aku tahu kamu sok kesal, karena setelahnya kamu tertawa. “Ngopi yuk, Mas? Aku pengen sharing.”

Kamu suka sharing tentang banyak hal, dan aku menyukainya. Aku menyukai bagaimana kamu bisa dengan begitu cerdas mengimbangi percakapan kita, lalu memberikan opini yang mungkin saja tidak pernah terpikirkan oleh otak magister hukum milikku.            

Sepertinya aku bisa membenarkan perkataan Dani. Aku telah jatuh padamu, seorang Nielle,  perempuan ceria yang banyak omong, tetapi juga sangat bisa menjadi gadis manis yang hanya mengetahui bagaimana caranya meratapi kehilangan. Aku ingin melindungimu sebagai perempuan yang hanya ingin merasa dibutuhkan oleh seseorang.

“Mas, sampai kapan kamu akan jadi temen curhatku?” kamu akhirnya menanyakan ini, pertanyaan yang sudah jauh-jauh hari kupikirkan jawabannya.  

Setelah selesai dengan satu sesapan espresso milikku, aku mengatakan, “Sampai kamu menemukan apa yang kamu cari, Nielle.”

“Jadi, kamu nggak akan pergi sampai aku ketemu sama seseorang yang aku cari?”

“Iya.”

“Kenapa, Mas?”

“Memangnya, kalau aku pergi, kamu akan cerita sama siapa?”

Kamu merengut. “Ck, memangnya aku terlihat seperti tidak punya satupun teman cerita, ya?”

Aku tertawa, mencubit pipimu gemas. “Memang iya, kan? Selama ini kalau ada apa-apa kamu selalu curhat sama aku.”

Kamu masih merengut, meski satu detik berikutnya terkekeh malu. “Iya, sih. Ya udah, jangan pergi, ya?” bola matamu yang bulat itu, Nielle, yang berbinar manis itu, telah membuatku yakin bahwa aku selalu ingin tinggal di dalamnya. Aku selalu ingin tinggal di dalam matamu, menyelami dalamnya, menyembuhkan luka-lukamu disana.

“Mas?”

“Hm?”

“Kalau ternyata, nggak ada satupun yang aku cari, bagaimana?”

“Berarti aku akan tetap tinggal, dan nggak akan pergi, Nielle.”

Ranielle, aku bisa melihat senyummu disana. Senyuman manis yang sekali lagi membuatku begitu jatuh, namun bisa menjadi begitu bahagia.

“Jadi, akan ada kesempatan buatku sayang sama kamu, Mas?”

“Aku yang udah lebih dulu sayang sama kamu, Nielle. Jauh sebelum kamu berniat sayang sama aku.”

Ranielle, kamu tersenyum, maka aku juga. Aku menunggu senyummu yang sekarang, lalu bisa mengatakan bahwa aku benar-benar menginginkanmu sebagai rumah untukku pulang.

“Kamu mau, kan, Nielle, jadi rumah untukku pulang?”

Maka kemudian, senyummu lah, Nielle, yang cukup menjadi jawaban bahwa kamu sedang belajar menerima kedatangan seseorang seperti aku untuk menggantikan kehilangan-kehilanganmu.

“Jadi, jangan pergi kemanapun ya, Mas?”

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Karena terkadang lebih baik bercerita lewat aksara daripada berkata-kata. Yuk kenal lebih dekat sama Igant di IG/Wattpad @igantmaudyna