Tak pernah ada yang salah dengan rindu.
Rindu orang tua, rindu keluarga, rindu kekasih, ataupun rindu pasangan-orang.
Yang salah adalah, ketika rindu datang lalu merusak hubungan orang. Merampas bahagia sejoli yang harusnya selalu baik-baik saja sebelum hadirnya kita. Dan aku, memilih untuk setuju. Oleh teori tersebut. Rindu, tanpa merusak.
Sesak memang. Seringnya dada terasa penuh oleh rindu. Hasrat menggebu sekedar ingin bertemu dan bertatap muka. Bertukar canda seperti biasa ketika masih dalam satu kantor yang sama, setiap harinya.
Pria itu. Sederhana. Tak ada yang spesial darinya. Perawakan tinggi, berkulit coklat bersenyum manis, dengan tawa yang selalu merekah, tingkah polos yang kadang menyebalkan, membuat semua orang kantor gemas ingin menjahilinya!
Pria yang sudah berkeluarga. Istri yang anggun juga shalihah, dan anak laki-laki lucu, santun, dan menggemaskan. Lalu bagaimana bisa? Merindu yang bukan haknya? Tuhan tak pernah melarang umatNya merasa rindu.
Rasa yang indah. Salah satu Fitrah seorang manusia yang sempurna. Yang Dia haramkan adalah ketika rindu lalu menyakiti. Melukai hati orang lain. Maka bentuk rinduku adalah diam. Doa, adalah bahasa rindu yang paling cepat sampai ke hati.
Sering ku merasa tidak adil, entah apa maksud semesta. Menghendakiku merasakan buncah rasa yang tak seharusnya. Entah mengapa harus dia? Seperti tak ada laki-laki lain yang lebih layak untuk kutambatkan rindu?
"Aku rindu kamu. Kapan kita bisa bertemu lagi?" katanya pada sebuah pesan singkat.
Rasa yang sama. Debar tak biasa juga ia rasa ketika mata kita bertemu tatap. Ia bilang ia nyaman ketika hadirku ada disekitarnya. Menurutnya aku ini periang. Yang bisa mencairkan segala suasanya. Serta tanpa diduga, cinta hadir benar-benar karena terbiasa.
Dia mampu membuat rona merah muda di pipiku. Menggerakkan kupu-kupu kecil di perutku. Menggelitik sanubari dan memunculkan debar tak biasa di sudut hati sana. Perasaan yang sejatinya menyenangkan. Namun, sedetik kemudian buyar. Oleh kenyataan yang memang selalu menyadarkan, dengan menampar, hingga lebam.
"Tidak mungkin mas. istrimu, anakmu. Aku tidak mau jadi perusak rumah tangga orang".
Kretek.. Seperti suara ranting patah. Ternyata hatiku.
Kejadian yang selalu berulang. Setiap kali rindu kembali datang. Menyergap, menyerbu, melesat tanpa permisi. Mengukir imaji sungguh hati ingin sekali memeluk lelaki ini dengan segenap rasa yang dirasakan hati.
Tapi sekali lagi, kenyataan selalu lebih dulu hadir mengadili. Betapa ego hati memang tak layak diikuti. Sebetapapun besar rasa yang dirasakan hati, merindu yang bukan hak nya tak pernah baik untuk orang lain maupun diri sendiri.
Sungguh ironis memang. Sama sekali tak ada yang bisa dilakukan selain berdoa. Klise namun berat. Mudah namun tak pernah benar-benar mudah. Membunuh angan, menyingkirkan ingin. Menghapus paksa bayang-bayang yang selama ini mengisi mimpi. Demi kehidupan yang akan tetap baik-baik saja sebab tak menyakiti sesama.
Lalu rindu?
Biarlah tetap di tempatnya sana. Rindu tak melulu salah. Hanya mungkin keadaan dan waktunya. Atau belum takdirnya. Air mata adalah saksi setiap kali denyutnya kembali dirasa. Tetap berdoa. Supaya yang dirindukan selalu bahagia. Bersama keluarganya. Bersama cintanya, yang sah.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”