Awal bulan Agustus diramaikan dengan kehadiran film Barbie yang menarik perhatian banyak penonton, termasuk saya. Setelah membaca beberapa review di Twitter dan YouTube, saya langsung memutuskan untuk menonton film ini. Tentunya dengan harapan film ini tidak hanya memiliki sinematografi dan visual yang menghebohkan jagat media sosial saja, tetapi juga memiliki pesan yang kuat.
Dari awal film, penonton sudah bisa menebak sedikit benang merah yang akan dihadirkan dalam cerita ini. Margot Robbie muncul sebagai Barbie raksasa di tengah anak-anak yang sedang asyik bermain boneka bayi berperan sebagai ibu yang merawat anaknya, bisa dibilang scene ini cukup menghibur.
Disamping itu, pesan yang disampaikan dari scene ini cukup kuat. Barbie merepresentasikan wanita yang kuat, mandiri, feminin, dan bisa bekerja di profesi apa pun, bukan hanya menjadi ibu rumah tangga. Bagian ini juga menunjukkan bahwa Barbie lebih dari sekedar boneka cantik yang menjadi obsesi standar kecantikan wanita modern. Kehadiran boneka Barbie bak angin segar di dunia anak-anak.
Film dibuka dengan cerita dunia Barbie yang memanjakan mata penonton dengan penggambaran dunia yang penuh dengan warna pink. Saking miripnya, di dunia Barbie tidak ada air dan hanya ada makanan mainan persis seperti saat kita memaikan boneka satu ini. Pihak produksi benar-benar totalitas untuk mewujudkan dunia Barbie Land yang sebenarnya. Visual yang disuguhkan sungguh menawan dan memanjakan mata penonton.
Pada awal film, penonton juga diperkenalkan dengan berbagai jenis Barbie yang pernah diproduksi oleh Mattel, baik yang masih diproduksi hingga saat ini atau yang sudah tidak lagi seperti Midge, karakter Barbie hamil yang diproduksi pada tahun 1963. Kehadiran Midge sempat mengundang pro kontra kala itu.
Konflik dimulai ketika Barbie mulai penasaran dengan dunia luar Barbie Land. Banyak yang mengatakan bahwa dari sini, perjalanan Barbie menemukan jati dirinya dimulai. Satu per satu masalah mulai bermunculan di dunia Barbie Land dan juga perusahaan Mattel. Barbie mengalami perubahan fisik dan merasakan berbagai emosi, termasuk perasaan kecewa yang belum pernah ia alami sebelumnya. Ken, yang awalnya selalu berada di samping Barbie, kini lebih memilih kembali ke dunia pink dengan paham maskulinitas yang ia lihat di dunia nyata.
Meskipun pesan yang dibawakan terkesan berat, Barbie tetap menampilkan humor dan komedi aneh di setiap scenenya bahkan kelewat aneh untuk ditertawakan. Bagian akhir film ditutup dengan kehadiran Ruth, pencipta tokoh Barbie, yang menjelaskan tujuannya menciptakan Barbie dan memberikan kebebasan kepada Barbie untuk memilih dunianya sendiri. Scene Ruth dengan Barbie ini hampir membuat saya meneteskan air mata.
Sepulang menonton film, saya dan teman saya banyak membicarakan isi ceritanya. Kami setuju bahwa Gerwig terlalu memaksakan banyak pesan feminisme di dalam film ini. Topik feminisme mungkin tidak terlalu familiar bagi masyarakat umum, namun, bagi penonton yang hanya ingin menikmati keseruan dan keindahan dunia Barbie, hal ini mungkin cukup membingungkan dan memakan waktu untuk diserap.
Namun, jangan ragu untuk menonton film Barbie Land! Film ini masih worth it untuk ditonton.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”