Resolusi untuk menghadapi Tahun 2021 : Perlunya Critical Thinking Untuk Menghadap Era Modernisasi Digital

Critical Thinking sangat diperlukan dalam mempersiapkan Indonesia yang maju pada era revolusi industri 4.0

Membangun sumber daya Manusia yang optimal serta berkemajuan adalah salah satu tantangan yang sedang dihadapi oleh Indonesia untuk mencapai dan mewujudkan impian menjadi Negara maju dan adidaya. Pendidikan menjadi faktor yang terus menerus mengalami perbaikan dari masa ke masa karena dianggap sangat berperan penting dalam terwujdnya Indonesia Maju. Kebijakan yang diambil saat ini dalam bidang pendidikan diharapkan dapat mengurangi jumlah sumber daya manusia yang buta huruf atau tidak bisa membaca. Namun, jika ingin planning tersebut berjalan sesuai rencana tentunya pemerintah tidak hanya memperhatikan sisi kuantitas nya saja tetapi juga harus memperhatikan tekanan pada sisi kualitas, terutama jika ingin dapat bersaing dan bergerak untuk lebih maju dalam menghadapi tantangan di masa kini maupun di masa yang akan dating yakni revolusi industri 4.0.

Advertisement

Salah satu ciri dan bentuk adanya revolusi industri 4.0 adalah dengan suburnya teknologi dalam setiap jengkal kehidupan manusia. Dalam hal ini tentu sangat berimbas kepada lapangan kerja yang ada.  Banyak pekerjaan yang berupa ketrampilan yang biasa dilakukan oleh tenaga manusia, kini digantikan oleh mesin. Hal ini tentu tak lepas dari adanya teknologi yang semakin berkembang. Sebuah keniscayaan bahwa di Negara Indonesia, dalam waktu tak lama lagi satu-satunya jenis pekerjaan yang masih bisa dilakukan oleh manusia adalah yang menggunakan daya piker kreatif sekaligus kritis.

Sayangnya, dalam hal ini kita masih memiliki kendala lantaran sistem pendidikan kita masih menitikberatkan pada pembelajaran kognitif yakni menghafal. Situasi semacam ini justru bisa jadi membunuh daya kritis dan sisi kreativitas para pembelajar dalam hal ini yakni para generasi masa depan bangsa.

Kebiasaan bersikap kritis lewat bertanya

Advertisement

Jika kita menggunakan sistem pembelajaran berbasis kognitif yakni drilling atau menghafal, para peserta didik akan selalu berpegang teguh dengan kata-kata “Pokoknya”  sehingga membuat pembelajaran tersebut bersifat dogmatis. Dalam hal ini akan menutup kemungkinan muncul nya pertanyaan dari pembelajar atau siswa itu sendiri. Padahal awal mula dari sifat kritis adalah dengan mengajukan pertanyaan. Jika para siswa sudah tidak memiliki keinginan atau hasrat untuk bertanya, maka jangan harap ketika mereka tumbuh menjadi orang dewasa nantinya akan menghadirkan pemikiran yang kritis serta inovatif dan juga kreatif. Cukup memiliki Nilai A disemua pelajaran merupakan cerminan bagi mereka bahwa mereka telah sukses dan berhasil.

Salah satu indikasi kehidupan di era digital adalah berlimpah nya informasi. Lewat media social maupun Smartphone, semua informasi dengan mudah akan kita dapatkan. Yang menjadi masalah adalah tidak semua informasi yang kita dapat adalah benar banyak pula yang hoax. Dengan banyak nya informasi yang dapat kita terima secara cepat, maka bekal yang harus diberikan sedari kita duduk di bangku sekolah adalah memilih dan memilah informasi yang benar dan yang salah.

Advertisement

Apa yang bisa diharapkan dari peserta didik yang terbiasa menurut, menerima saja semua materi belajar, tidak pernah (dan tidak dibiasakan) mempertanyakannya, dan kemudian (hanya sekedar) menghafalnya untuk mendapatkan nilai bagus? Termakan hoaks!. Kita tidak perlu heran jika menemukan misal si A yang dulu terkenal cerdas dan pintat sewaktu di sekolah, ketika dewasa seakan kecerdasanya telah menghilang karena mudah termakan hoax.

Memiliki Jiwa Sosial Yang Tinggi

Manusia memilki suatu hal yang tidak bisa dimiliki oleh mesin yakni rasa sosial terhadap sesama. Sikap peduli terhadap lingkungan sekitar juga kehidupan adalah faktor yang sangat penting sebagai manusia terutama dalam era digital ini. Pemerintah sendiri telah melakukan kebijakan yang mengharuskan peserta didik memiliki aspek rasa serta jiwa social yang tinggi. Akan tetapi, pada pelaksanaan nya masih belum terlihat implementasi dari nilai-nilai tersebut.

Keberhasilan pembelajaran aspek rasa hanya dapat dilihat dari tindakan peserta didik. Meskipun di banyak sekolah tidak ada lagi sistem peringkat (ranking), tetapi sampai saat ini penghargaan hanya diberikan kepada siswa yang berprestasi dari sisi kognitif. Nilai UN tertinggi, nilai Matematika tertinggi, nilai IPA tertinggi, dan seterusnya. Pengakuan atas perilaku budi pekerti yang luhur sebenarnya perlu mendapatkan apresiasi yang sama.  Seperti contoh, jika kita menemukan seseorang yang masih peduli dengan lingkungan maka sudah selayaknya peserta didik atau pelajar lain yang melakukan hal serupa juga diberi apresiasi dan penghargaan yang setara.

Pengakuan terhadap budi pekerti yang baik juga akan memberikan gambaran pada siswa bahwa perilaku yang baik serta memiliki jiwa sosial yang tinggi sama baik nya dengan nilai akademik. Selain itu, memiliki jiwa sosial yang tinggi serta berbudi pekerti yang baik juga mencerminkan budaya nusantara di Indonesia.

Untuk bekal menghadapi era digital revolusi industri 4.0 dibutuhkan peran seluruh elemen masyarakat. Sebenarnya bukan hanya pemerintah yang mempunyai kewajiban untuk membuat sistem pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik kedepanya tetapi juga menjadi kewajiban bagi seluruh masyarakat agar turut serta membantu memajukan Negara kita tercinta ini, Harapanya kedepan, dengan menanamkan sikap berpikir kritis serta kreatif namun juga tak lupa memiliki jiwa sosial yang tinggi, Indonesia dapat menjadi Negara yang unggul dalam segala bidang terutama pada bidang sumber daya manusia nya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pengagum Kata-Kata Indah