Kalender tahun 2020 hampir habis. Pergantian tahun bukan hanya soal mempersiapkan kalender baru untuk tahun selanjutnya, tapi juga menyiapkan harapan baru untuk rencana selanjutnya. Resolusi begitu banyak orang menyebut soal rentetan target yang harus dicapai untuk menyambut tahun yang akan datang. Semangat baru, startegi dan tenggat waktu ditetapkan dalam diri agar resolusi tidak hanya jadi isapan jari.
Bagi Penulis, resolusi tidak lebih dari sekadar harapan setiap orang, dan hal itu tidak salah karena salah satu daya hidup manusia terletak dari harapan yang diinginkan. Harapan memberi semangat bagi orang untuk terus menjalani hidup yang penuh dengan ketidakpastian.
Bayangkan manusia tanpa harapan ibarat zombie, hidup secara lahiriah tapi kosong secara rohani. Sederhananya seperti ini; pedagang pasti berharap untung, jika tidak dia akan berjualan pukul 7 dan pulang pukul 8; karyawan kantoran pasti berharap karirnya bagus/naik jabatan, jika tidak deadline dari atasan tidak akan diselesaikan tepat waktu; bahkan seorang pertapa yang tidak tertarik urusan duniawi juga punya harapan, dan harapanya berupa imbalan di kehidupan yang akan datang.
Lantas, bagaimana dengan harapan dan resolusi yang tidak tercapai? Apakah kekecewaan itu perlu tatkala kita sudah menyusun segala persiapan untuk mengejar resolusi tapi hasilnya tidak sesuai ekspektasi? Mau diapakan resolusi yang tidak tercapai ini?
Ada yang terlarut dengan rasa kesedihan, ada juga yang tetap optimis menatap masa depan. Penulis pernah membaca buku berjudul “Filosofi Teras”, karya Henry Manampiring. Buku ini membahas cara praktis menyikapi kehidupan dengan menggunakan Filsafat Teras atau Filsafat Stoa. Penulis yakin buku ini bisa dinikmati beragam kalangan karena Filsafat Stoa disampaikan dengan gaya bahasa populer, bahkan bagi Pembaca yang belum pernah membaca buku filsafat sekalipun.
Dalam buku ini Filsafat Stoa dijelasakan mampu memberikan alternatif cara pandang soal permasalahan kehidupan. Filsafat Stoa pertama kali diperkenalkan pada abad 3. Salah satu tokoh yang populer memperkenalkan filsafat adalah Marcus Aurelius, seorang kaisar romawi dan Epictetus, seorang budak.
Dari pembacaan Penulis, inti dari ajaran filsafat ini adalah setiap masalah dalam hidup bukan bersumber dari luar tapi bersumber dari cara kita menafsirkan. Dalam kasus resolusi yang gagal, misalnya.
Pembaca mungkin memiliki resolusi bahwa pada tahun 2020 skripsi atau tugas akhir akan selesai. Tapi reolusi itu gagal tercapai karena beberapa alasan. Mungkin ada beberapa Pembaca yang merasa cemas, sedih dan kecewa dengan tidak tercapainya resolusi tersebut.
Dalam ajaran Filsafat Stoa pikiran-pikiran negatif itu bisa diminimalisir dengan cara “melihat dari kejauhan”. Maksud dari cara “melihat dari kejauhan” adalah melihat sebuah masalah dari berbagai sudut pandang.
Setelah “melihat dari kejauhan” diterapkan lalu rumuskan pertanyaan dan jawab. Dalam kasus reosulusi skripsi yang tidak tercapai Pembaca bisa mulai mempertanyakan apakah benar skripsi yang tidak selesai ini gara-gara saya yang malas atau apa? Lalu bagaimana dengan dosen sikap Dosen Pembimbing? Apakah koperatif atau tidak?
Jika permasalahan skripsi memang timbul dari sikap malas dari diri sendiri introspeksi harus segera dilakukan daripada terus menerus menyalahkan diri sendiri. Lantas bagaimana jika masalah berasal dari pihak Dosen Pembimbing yang tidak koperatif atau masalah timbul dari pihak eksternal?
Ajaran stoa menekankan soal bagaimana cara manusia me-manage emosi negatif. Masalah skripsi yang terhambat karena dosen pembimbing yang tidak koperatif tidak perlu disikapi dengan pikiran negatif.
Seperti yang sudah disebut sebelumnya ada kemungkinan sikap tidak koperatif itu bukan berarti Dosen Pembimbing ingin menghambat kelulusanmu, tapi mungkin ada faktor lain; sikap atau attitude yang kurang sopan saat menghubungi dosen; Dosen Pembimbing masih memiliki kesibukan yang tidak bisa ditunda; atau, mungkin tema skripsi yang diajukan kurang menarik.
Jadi, jika Pembaca menggunakan sudut pandang Filsafat Stoa, jangan jadikan pikiran-pikiran negatif mematahkan kegigihan untuk terus berusaha menyelesaikan skripsi.
“Jika kamu bersusah hati karena hal-hal eksternal, kesusahan itu datangnya bukan dari hal tersebut, tetapi dari opinimu sendiri,” Marcus Aurelius.
Cara lain yang diajarkan Filsafat Stoa dalam menyikapi permasalahan hidup adalah mengetahui apa yang "berada dalam kendali" dan "di luar kendali". Menurut ajaran stoa kebahagiaan yang hanya bisa datang dari sesuatu yang "berada dalam kendali".
Apa saja yang termasuk "berada dalam kendali" dan apa yang "di luar kendali"?
Beberapa hal yang masuk dalam kendali adalah menyangkut tindakan dan usaha dalam mencapai sesuatu dan di luar kendali meliputi hasilnya seperti opini orang lain, status sosial, kekayaan, dan popularitas.
Pembaca mungkin ada yang membuat resolusi untuk membeli rumah, mobil atau benda impian lain pada tahun 2020. Tapi, resolusi tersebut gagal karena beberapa hal. Permasalahan semacam ini bisa disikapi secara bijak dari sudut pandang Filsafat Stoa. Pencapaian yang gagal seperti membeli mobil bukan hal yang perlu dipusingkan.
Dalam pemikiran Filsafat Stoa pencapaian seperti mempunyai mobil dan rumah masuk dalam kategori yang ada di luar kendali kita, dan yang masuk dalam kategori dalam kendali kita adalah usaha untuk mendapatkanya.
Gambaran sederhananya seperti ini: pada tahun 2019, Pembaca menyusun resolusi agar pada tahun depan bisa memliki mobil. Dari resolusi itu Pembaca mulai giat bekerja, menabung, sampai menjalankan usaha sampingan. Ketika uang terkumpul ada suatu musibah atau kejadian tertentu yang menuntut Pembaca untuk mengeluarkan banyak uang dan terpaksa menggunakan uang tabungan untuk membeli mobil.
Kejadian semacam ini pasti banyak ditemui di kehidupan nyata. Jadi alasan kenapa membeli mobil atau benda apapun berada di luar kendali adalah adanya potensi perubahan dan kegagalan. Tidak heran para Fillsuf Stoa menganggap bahwa bergantung pada hal di luar kendali itu tindakan tidak rasional.
Filsafat Stoa mengajarkan seni hidup bagaiamana cara bertindak secara maksimal tanpa terlalu berharap pada hasil. Bukan berarti hasil tidak penting, tapi Filsafat Stoa menganggap proses mencapai tujuan harus jadi prioritas dan hasilnya adalah bonus. Mempunyai rencana itu perlu, usaha nomor satu, tapi hasil bukan penentu.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”