“Sekarang ini kebanyakan dari kita bangun setiap pagi sebagai sekedar rutinitas belaka. Semua tugas dan kewajiban menjadi terasa berat dan melelahkan. Belajar terasa bak beban yang dipikul berat, bukan kesempatan emas untuk menimba ilmu.
Keinginan untuk berprestasi membakar ambisi dan memaksa kita untuk selalu dalam mode “gas pol” setiap harinya. Diri ini bak gasing yang terus menerus berputar, tak peduli sekitar dan menabrak sana sini untuk menunjukkan eksistensinya.
Ada juga istilah “ambis” yang kadang diartikan negatif untuk orang yang padahal berjuang memenuhi tujuan baiknya. Ada juga istilah “mbadak” yang maknanya mirip dengan gasing tadi, hingga tak sadar merugikan pihak lain, duh.” – Brigitta Petra Kartika
#4TahunMenemanimu
Hal itu benar adanya. hidup ini adalah sebuah persimpangan dimana kita semua harus terus berjalan tanpa tahu kapan berujungnya. Melakukan rutinitas, menggerakan seluruh tenaga untuk segalanya. Namun pada dasarnya sebagian dari kita nggak paham arti “segalanya” yang ingin kita raih itu.
Bahagiakah aku sekarang?
Terjawabkah pertanyaanku sekarang?
Sudahkah aku merasa terpenuhi?
Kekosongan yang ada, sudahkah terisi?
Inikah kehidupan yang ingin aku jalani?
Hidup di kota besar memang nggak mudah bray! Apalagi ibu kota. Bahkan ada sebuah kalimat yang mengatakan ibu kota jauh lebih kejam daripada ibu tiri. Kita nggak bisa memungkiri hal itu. manusia di era digital saat ini lebih banyak melalukan rutinitas secara berulang.
Bangun-mandi-makan-kerja tanpa menimati aktifitas tersebut. Tanpa dipungkiri, diri kita terjerat dalam kondisi yang mengharuskan kita untuk bekerja tanpa memperdulikan kondisi jalanan yang super macet, target-target pribadi kita membuat kita justru kelelahan.
Kemarahan kita atas gagalnya untuk menunjukan keeksistensian diri dan tujuan-tujuan yang nggak tercapai, lalu, alhasil jiwa dan pikiran pun akhirnya dihantui oleh berbagai tekanan, target serta kekecewaan .
Saya setuju dengan ungkapan Brigitta dalm artikelnya, Pentingnya Refleksi Diri: Mencari Subyek dan Buat Hidup Lebih Asyik! Di mana disadari atau nggak dunia ini memiliki memiliki kapasitas loh. Bahkan material baja sekalipun yang menahan beban sekial lama, akhirnya memiliki fase titik yang namanya relaksasi.
Manusia demikian serupa, memiliki kapasitas. dripada memikirkan target yang kita buat, lebih baik luangkan waktu untuk mengistorahtkan pikiran. Hidup sudah semrawut, sebaiknyan kita juga jangan terlalu mensemrawutkan pikiran kita terhadap target. Nggak apa-apa kalau nggak sesuai target.
Tahukan relaksasi yang benar-benar relaks? Jawabannya adalah hening. Yap, dengan hening kita dapat mengajak pikiran untuk beristirahat sejenak. Suatu hal yang nggak mudah kalau mengingat aktifitas yang mengharuskan kita “ngoyoh” dalam hal apapun.
Namun bila kita melatihnya, menyadarinya, begitu kita menilai sesuatu, maka kita akan mengingat untuk kembali pada pikiran netral. Kita harus mengambil posisi hening untuk kembali pulang ke diri kita. Peluklah diri kita, sanyangi diri kita. Berikan waktu diri kita ketenangan batin. Bebas dari kekacauan sekitar. Buat hidup kita asyik tanpa beban duniawi.
“Semua yang kita alami adalah sebatas predikat. Kata-kata kerja yang seakan membuat kita terasa hidup. Berlomba, belajar, berlibur, berenang, mengalahkan, menaklukkan, meraih, dan mendapatkan” begitulah bunyi sebagian ungkapan Brigitta dalam artikelnya.
Menurut saya, kehidupan yang penuh dengan rutinitas, kepadatan serta merta membuat diri kita lupa membagi waktu. Hampir nggak ada lagi waktu kita untuk menyatu bersama alam.
Dalam artian, sekedar duduk, dan benar-benar menikmati sensasi duduk tanpa memikirkan pekerjaan. Sayangnya, kita justru lebih fokus mikirin apa yang akan kita kerjakan setelahnya, atau sehari sebelumnya.
“Ada saat-saat di mana pada akhirnya kita tersadar, hidup ini mungkin tak butuh kalimat yang panjang-panjang, cukup subyek yang mengerti siapa sejati dirinya. Bisakah kita mengenal diri ini sebagai subyek tanpa embel-embel? Lalu bisa dengan tegas dan bangga mengatakan “anggrek tetaplah anggrek diantara ribuan pohon jati.” – Brigitta Petra Kartika.
Ayolah, bray! Nggak usah terlalu ribet sama pekerjaan dan rutinitas duniawi. Ingin pekrjaan A, karena nggak mau dikalahkan oleh si B. ikut berbagai macam les untuk membuktikan kepada si C. Sebenarnya secara intelektual kita benar memahami.
Banyak yang telah kita pelajari dalam hidup. Namun hati bicara lain, semua yang kita mengerti seolah pergi. Yakinkah kita bahwa kita telah benar-benar memahami? Ketenangan yang tampak dipermukaan, nggak selaras dengan gejolak perasaan yang dirasakan.
Kehidupan benar berjalan, meski dengan semua kesulitan serta tantangan. Manusia sibuk berlomba-lomba mengejar predikat dan esensi diri. Predikat apa yang kita ingin dapatkan?
Saya pun setuju dengan Brigitta, untuk dapat memberi makna pada hal-hal lain, hal utama yang diperlukan adalah untuk menyadari siapa sejatinya diri kita. Apa yang sebenarnya menjadi tujuan hidup kita. Kembali ke kaca manusia. Manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak buta.
Artinya, dalam diri manusia, terdapat keinginan yang sangat banyak yang nggak memandang aturan. Setiap individu berhak melakukan apa pun, menentukan apa pun untuk dirinya. Nggak ada yang salah dengan hal itu, asalkan kita dapat balance.
Kita jarang sekali benar-benar hidup. Saya paham, ada begitu banyak hal yang berusah meminta perhatian kita, dan kita akhirnyaa cenderung sedikit memberikan perhatian pada momen saat ini. Bekerja, mikirin deadline, mikirin standar yang diberikan oleh perusahaan itu sah-sah saja.
Namun semua itu juga menyebabkan ketidakseimbangan emosi, karena kita seringkali nggak dapat menghentikan pikiran kita sendiri bukan? Hanya dipaksa mikir, mikir, dan mikir menjalani hidup ketimbang mengalami hidup ini sepenuhnya apa adanya.
Hidup! Nggak usah banyak mikirin apa-apa. Cukup jalani, nikmati. Merasa capek dan keberatan? Luangkan waktu untuk sesi heningmu. Kembalilah pulang ke dirimu. Ajaklah berbicara dan temukan sejatinya siapa diri kita yang sebenarnya. Bukan tentang ambisi dan target semata.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”