[CERPEN] Mengapa Harus Menunggu yang Tak Pasti? Lagipula Dia Juga Tak Akan Kembali

Menunggu yang tak pasti

“Sepertinya aku tak akan kembali ke jogja lagi,” ujar Mas Arman dengan nada penuh keraguan. Aku pun menoleh kearahnya, menatap parasnya yang masih fokus menatap bintang.

Advertisement

“Kenapa begitu?” tanya ku penasaran. Mas Arman hanya menoleh sembari tersenyum tapi ia kembali mengalihkan pandangannya tuk menatap gemerlapnya langit.

“Orang tua mas akan mas boyong ke Jakarta, lagipula mereka juga tak punya pekerjaan di sini,” ujarnya sembari mengehembuskan napas lemah. Aku cukup terkejut mendengarnya, ku pikir selama ini dia tidak akan berpikiran untuk meninggalkan salah satu kota budaya ini.

“Lalu aku?” tanya ku semakin penasaran dengan keputusan akhir lelaki yang duduk di sebelahku itu. Tapi bukannya menjawab ia justru memejamkan mata sembari bersender pada sandaran kursi kayu. Aku yang melihat itu hanya menghela napas kasar. Aku tahu, saat ini ia sedang tidak ingin diganggu.

Advertisement

Kurasakan semilir angin mulai menggoda bulu kudukku, hawa dingin juga telah menyelinap masuk sedikit demi sedikit dalam tubuhku. Tapi aku tetap diam tak bergeming, membiarkan hawa dingin menguasai tubuhku.

Di bawah gemerlapnya bintang, suasana terasa sangat sepi bahkan lebih sepi dibandingkan ketika aku duduk sendirian di sini untuk sekadar mengisi waktu senggang. Tapi itu tak masalah bagiku, karena kehangatan itu masih tetap ada walau tak tertuang dalam hangatnya obrolan. Cukup saling memandang bintang bersebelahan seperti ini saja, telah cukup bagiku.

Advertisement

*********

“Nduk, dicari nak Arman di depan!” seru ibuku dari luar kamar. Membuat ku terpaksa harus meninggalkan pekerjaanku di depan laptop dan beranjak dari zona nyaman. Oke Alya, kenyataan sedang menantimu begitulah batinku.

“Inggih bu, sebentar!” seruku dari dalam kamar.

“Mas Arman kenapa jadi sering kesini, bukannya tadi malam sudah mampir?” tanyaku sembari duduk di sebelahnya. Wajahku tak lupa menampilkan senyum terbaikku.

“Tumben kamu gak ke rumah mas? Biasanya kamu selalu rajin ke rumah mas, kata ibu.” Bukannya menjawab pertanyaanku dia justru berbalik bertanya sembari mengerutkan dahinya. Aku hanya tersenyum, benar – benar senyum yang kupaksakan.

“Ini sedang sibuk saja,” kilahku tanpa mau repot hanya untuk sekedar meliriknya. Aku justru asik menatap taman di depan rumahku.

“Kamu marah karena kemarin?” tanya mas Arman semakin membuatku semakin kesal.

“Kenapa musti marah?” Aku justru kembali bertanya kepadanya. Aku mencoba melirik Mas Arman yang sedari tadi selalu menatapku. Dia kali ini menatapku sembari tersenyum, senyum yang terlalu tidak jelas maknanya bagiku.

“Ya mungkin karena kamu takut kehilangan mas?” Aku benar – benar kesal saat ini. Walaupun itu memang faktanya tapi kurasa dia tidak seharusnya mengungkit hal itu. kan?

“Aduh mas ini, percaya diri sekali ya,” ujarku ditambahi ekspresi bercanda untuk menutupi kekesalanku. Bukannya menjawab dia justru tertawa sembari mencubit kedua pipiku.

“Kamu itu lucu, ya. Sepertinya mas harus memikirkan kembali untuk ke Jogja. Mas yakin, mas akan merindukan saat-saat seperti ini. Terutama rindu pipi cilokmu itu,” ujar Mas Arman masih dengan tawa yang menggelora. Dan kini kurasakan wajahku memanas mendengar ucapannya itu. Mungkin semburat merah juga telah memenuhi pipiku.

“Oh ya, mas kesini mau ngapain?” tanyaku untuk mengentikan candaanya itu. Tawa Mas Arman pun juga berangsur-angsur reda.

“Besok kamu datang ya ke taman Ambar, mas ada sesuatu. Jangan lupa pakai baju putih,” ujar Mas Arman sembari menatapku tersenyum.

“Memangnya ada acara apa?” tanyaku semakin penasaran.

“Sudah datang saja, besok.” Setelah itu Mas Arman pamit untuk kembali pulang meninggalkanku dengan degub jantung yang tidak karuan. Menerka – nerka apa yang akan terjadi esok hari.

******

“Jadi maukah kamu menjadi istriku?” tanya Mas Arman sembari berlutut di tengah – tengah taman, membawa sebuket mawar putih indah di genggamananya.

Sepertinya Mas Arman benar-benar mempersiapkan acara hari ini dengan sangat matang, terbukti dari dekorasi taman yang sangat indah. Dipenuh mawar putih kesukaanku.  Selain itu, Aku juga melihat kedua orang tua Mas Arman juga berdiri di antara kerumunan manusia yang memenuhi taman Ambar.

“Ya aku mau.” Jawaban itu seakan menggema di seluruh penjuru taman. Sungguh lamaran yang begitu romantis dan sakral, hingga tak terasa aku pun turut meneteskan air mata. Tanpa isakan dan raungan hanya bulir – bulir bening yang terus meluncur dari kedua mataku.

“Sabar ya, mbak. Alma yakin pasti mbak akan dapat pendamping yang lebih baik dari Mas Arman,” ujar Alma sembari mengelus bahuku. Ya akhirnya setelah sekian lama Mas Arman pun melamar dengan konsep lamaran mawar putih kesukaanku sayangnya itu semua bukan untukku melainkan untuk sahabatku, Nina.

 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

seorang pelajar sma yang terobsesi dengan hukum dan suatu keadilan