Mendewasa tak lantas lebih mudah berbahagia.
Mari sedikit berkilas balik ketika kita masih sama-sama bertubuh tak lebih tinggi dari pinggang orang dewasa, kompak dengan ingus dan luka karena terlalu sering bermain dan jatuh. Bermain kesana kemari sepanjang hari tanpa peduli perut lapar belum diisi. Mementingkan kesenangan bermain bersama teman-teman. Begitu sederhana, cukup bermain bersama dan kau bahagia. Tapi, ingatkah dulu ketika masih kecil dirimu ingin segera mendewasa? Bercita-cita agar segera bisa tumbuh dan hidup bebas bahagia tanpa aturan untuk melanjutkan kebahagiaan.
Lalu, umur memaksamu untuk bertambah tua, lengkap dengan tuntutan pendidikan yang mulai merepotkan. Getir-getir jenuh mulai terasa ketika dirimu mulai remaja. Merasa bukan lagi anak kecil yang manja dan seolah menganggap diri cukup layak disebut dewasa. Dulu, hal tersebut bukanlah perihal yang keliru, tapi ketika kau mengingatnya kembali mungkin dirimu akan tersipu.
Tapi siapa sangka dirimu yang masih remaja justru dipenuhi dengan letupan kegoisan untuk berkarya. Memiliki mimpi yang begitu tinggi dan penuh ambisi. Tak genap 20 tahun namun sudah memiliki visi, misi, dan nilai-nilai kehidupan yang beragam. Bermimpi dalam 7 atau 10 tahun segera mendapati rumah megah, pasangan hidup, anak yang lucu, tabungan yang cukup banyak, mobil dan penghasilan yang cukup tinggi. Tapi sayang sekali, kehidupan nyata menawarkan hal berbeda.
Memang, mimpi itu kejam. Ia menawarkan kebahagiaan dan kemudahan, namun kamu hidup dalam kenyataan, bukan mimpi.
Begitulah kenyataan, ia tak selalu baik pada manusia. Begitulah mendewasa, perihal proses hidup yang tak layak untuk dijadikah permainan. Begitulah impian, sebuah pilihan yang hanya ingin kau baca dan dengar, atau kau realisasikan?
Bagaimana rasanya ketika dirimu melewati umur yang seperempat abad, lalu kau sadar banyak hal yang terlewat, apa yang dirimu rasakan?
Terkadang sebuah pilihan, perjalanan, kesungguhan, usaha, dan tekad tak akan bisa mengantarmu untuk tua dan mendewasa sesuai rencana. Berjuang mati-matian untuk lulus seleksi perguruan tinggi favorit dilalui dengan rumit. Namun, ketika akhirnya berhasil, justru masalah lain hadir.
Menjalani perkuliahan itu tak mudah, rasa malas adalah musuh terbesarmu ketika kuliah.
Berjuang dalam ketatnya materi perkuliahan, jadwal organisasi, praktikum, dan segala keterbatasan, dirimu tak menyerah berjuang untuk IP tinggi. Hingga akhirnya masa-masa berat ketika kuliah, UAS, KKN, hingga skripsi, diakhiri sidang dan wisuda, lega rasanya. Namun, tetap saja 4 tahun rencanamu telah tertunda. Siapa sangka waktu cepat berlalu dan tak sudi kembali menyapamu. Hingga akhirnya sadar, hidup selalu berlanjut lembar demi lembar.
Bolehkah kusebut jika "pendidikan" adalah dermaga dalam meraih cita-cita? Lalu "bekerja" adalah segala armadanya. Kau berlayar, menuju luasnya lautan kehidupan, berharap meraih cita-cita secepatnya. Namun, yang kau temui adalah kekejaman dunia yang sesungguhnya. Badai menerpamu, ombak yang mengombang-ambingkan hatimu, belum lagi ketika tersesat tanpa tahu arah mata angin untuk mencapai tujuan.
Seperempat abad, menyesal karena segala rencana dan cita-cita tak berjalan semestinya? Boleh jadi iya. Namun, bukan berarti ini menjadi alasan untuk berhenti meraih mimpi mudamu. Tetaplah lanjutkan segala kebaikan untuk meraihnya.
Hidup adalah rangkaian masalah yang seharusnya kau susun menjadi lebih indah.
Rentang waktu yang kau jadikan target acuan hanyalah sebatas penyemangat agar kau lebih giat mencapainya tepat waktu. Namun, tujuanmu tetaplah jangan berubah, teruslah berkarya hingga sukses dan cita-citamu sungguh-sungguh kau raih. Boleh jadi banyak keterlambatan yang kau alami, namun setiap proses dan perjalanan yang baik tentu akan selalu memberi manfaat kepada orang lain.
Â
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”