Sepatutnya saya berterima kasih dengan adanya kejadian hari minggu lalu saat saya memakan gulai ayam. Begitu lahapnya saya memakan gulai ayam dari hasil berburu diskon siapa cepat dia dapat, hingga akhirnya membuat saya tersedak dan bergegas meminum segelas air putih hingga tetes terakhir. Bermula dari kejadian tersedaknya makanan pula, saya tersadarkan akan salah satu pengilhaman hidup untuk bisa menjalani kehidupan tak perlu terburu-buru dalam mencapai sesuatu.
Kejadian saya tersedak makanan tersebut ada sebuah paham korelasi yang saya alami akhir-akhir ini: quarter life crisis tumbuh dalam kehidupan modernitas kita semua. Dewasa kini, pikiran saya selalu disesaki dengan hal-hal yang rasanya dituntut serba cepat oleh konstruksi sosial. Alhasil, membuat kehidupan yang saya jalani setiap hari kurang berjalan dengan kendali diri yang tepat; hidup kelimpungan seperti buta tujuan dan rasanya melihat masa depan sebagai suatu yang buram.
Bagaimana tidak, setiap menggulirkan layar dalam media sosial, terlihat lini masa teman-teman dengan penampilan terbarunya; menjadi model yang dilirik banyak orang, YouTuber dengan subscribers puluhan hingga ratusan ribu penonton, membagikan tangkapan layar keuntungan harta saham dengan nilai portfolio tinggi, sukses dengan karier bisnis di usia muda, ataupun headline terbaru di Linkedin yang dirinya diterima di perusahaan ternama. Semua orang saya rasa seperti memiliki keinginan untuk menunjukkan eksistensi diri, lalu bagaimana dengan saya? Pada saat itu, saya merasakan belum bisa menjadi apa-apa dan siapa-siapa–hanyalah lelaki 20-an tahun dengan segenap rasa kebimbangan dan ketidakpantasan.
Tak terasa, saat menggulirkan layar gawai, saya––yang ‘katanya’ lelaki itu harus bersikap jantan dan tahan banting––tak kuat untuk membendung tangisnya. Ditambah pula, adanya stereotip yang mengakar di lingkungan masyarakat, saat sudah bisa bekerja di ibu kota, berarti sudah bisa hidup layak dengan berbagai keuntungan. Saya pikir, hal itu justru menambah beban ekspektasi orang-orang terdekat terhadap saya agar bisa secepat mungkin ‘merdeka’ dari kehidupan sebelumnya. Oleh karena itu, ketika saya telah bermukim di ibu kota untuk urusan pekerjaan, sedikit sekali orang-orang dekat yang mengetahuinya. Saya tak ingin mereka menerka-nerka lebih jauh saya di ibu kota akan menjadi seperti apa dan siapa.
Hingga akhirnya, saya makin dapat menghela napas lalu mengembuskan secara perlahan sembari membuka mata, saya hidup dengan kerja keras sendiri, saya pun sedang mengupayakan yang terbaik untuk masa kini dan masa mendatang, tentunya demi kehidupan yang lebih matang. Matang dalam artian kestabilan emosional, finansial, mental, dan terus menghargai setiap detik masa yang saya lalui. Maka dari itu, saya belajar untuk tak mengacuhkan pikiran-pikiran negatif dari budaya sosial yang menuntut segalanya harus berjalan dengan ritme yang cepat agar semuanya bisa didapat.
Saya bisa berasumsi, cepat bukan berarti selalu hebat. Bahkan, dalam hidup ini adakalanya kita harus belajar lambat. Lambat bukan berarti pula tidak memiliki ambisi untuk mencapai kesuksesan, melainkan perlahan namun pasti menjalani hidup dengan tenang dan mengerti arti kehidupan dengan memahami kapasitas diri sendiri sejauh mana.
Mungkin adanya asumsi ini, ada beberapa di antara kawan-kawan yang tidak sependapat dengan saya, bahkan sangat menentang, bahwa hidup itu layaknya sebuah kompetisi yang harus dijunjung tinggi dengan sebuah kemenangan. Bagi saya, benar adanya jika di dalam hidup akan ada pasang-surutnya, persaingan di mana-mana, tetapi dengan belajar melambat merupakan salah satu trik saya bertahan hidup demi menjaga ‘kewarasan’ diri di tengah-tengah era modernitas.
Mengutip ucapan Mas Adjie Santosoputro, selaku praktisi mindfulness, belajar memahami diri sendiri sangat penting untuk menjaga ketenangan hidup, mengetahui sisi kemanusiaan kita semua, dan menyadari bahwa hidup ini tak perlu tergesa-gesa agar menjadi manusia yang mudah bahagia.
Seketika teringat nasihat Bapak dan Ibu sewaktu saya masih kecil berlarian di halaman rumah, “Ojo kesusu, Le, beno gak tibo,” yang jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia yaitu ‘Jangan terburu-buru, Nak, supaya tidak jatuh’.
Dari nasihat Bapak dan Ibu saya itu, saya yakin bahwa dengan belajar melambat atau perlahan bisa mengukur skala prioritas kehidupan hal apa saja yang memang kita butuhkan untuk diperjuangkan. Saya terus berusaha merenungi dan membenahi diri untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Berkali-kali saya mencoba untuk menyemangati diri dengan mengelus dada dan menepuk pundak sendiri. Begitulah salah satu cara saya bisa tahu bahwa diri saya masih mampu untuk menyadari diri ini masih akan tetap berharga dan mampu berbuat lebih dengan ritme hidup yang sewajarnya. Pada dasarnya, hanya kitalah yang tahu kondisi diri yang sebenarnya, pun proses perjalanan hidup setiap orang tidaklah sama rata.
Mari kita normalisasikan bersama-sama, bahwa hidup harus dijalani dengan semestinya, tetapi tak perlu juga tergesa-gesa dalam mencapai sesuatu. Menjalani hidup dengan perlahan dapat membuat kita memiliki kebahagiaan yang tak bisa diukur hanya semata-semata dari materi saja, tetapi lahir dan batin juga.
Terakhir, hormat saya untuk kawan-kawan yang sedang berada di fase quarter life crisis saat ini. Hidup bukan perihal kecepatan, kemenangan, ataupun perbandingan, melainkan perihal penerimaan diri dan menghargai setiap detik masa yang kita lalui. Semoga Tuhan dan doa-doa terbaik dari kita selalu mengiringi setiap langkah hidup perjuangan. Selamat berproses kembali, Kawan!
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”