Aku masih ingat ketika pertamakali kamu menyematkan cincin di jemariku. Pantai itu menjadi saksi atas sumpahmu. Aku yakin lututmu masih merasakan panasnya pasir ketika meminangku sebagai pendamping yang akan kamu lihat wajahnya setiap hari.
Kamu memohon pada kedua orang tuaku untuk mempercayaimu sebagai Pangeran berkuda putih yang siap membawa Putri mereka menjadi Ratu di dalam istana megah yang kamu janjikan.
Aku menganggukkan kepala bukan hanya karena kamu Pangeran tampan. Melainkan karena aku tahu bagaimana kala itu kamu menunjukkan keseriusanmu dan mati-matian berusaha agar kita dapat berada di dalam satu atap rumah yang sama. Aku bisa merasakan cintamu yang kala itu luar biasa.
Berulangkali aku peringatkan kamu untuk berpikir kembali terhadap keputusanmu untuk menua bersamaku. Namun, kamu selalu percaya diri atas hal itu. Menjamin seumur hidupku akan dipenuhi kilauan warna meski sesekali harus abu-abu. Tak apa. Jalanan yang dibangun sedemikian rupa agar aman pun tetap saja memakan korban, kan?
Semua momen kebahagiaan itu tentu saja masih pekat di dalam ingatan. Aku pernah sebahagia itu. Betapa yakinnya kamu untuk melangkah bersama di dalam rumah yang kelak menjadi tempat kita berdua pulang dari lelahnya dunia. Kamu mengucap sumpahmu untuk menerima diriku sebagaimana adanya aku.
Yang aku inginkan itu kamu. Karena setiap momen yang aku habiskan bersama kamu itu adalah suatu kebahagiaan yang tak terhingga, aku mau menghabiskan masa tuaku denganmu meski hanya ada kita berdua.
Itu kalimat yang sering kudengar ketika aku ragu untuk dipinang olehmu. Keraguan yang sebetulnya bisa menyelamatkan kita berdua, terutama menyelamatkanmu.
Lalu, kemana sumpah itu pergi? Kemana sosok yang telah mengucapkan janji suci itu?
Walau kamu bisu, aku mengerti dan sangat paham tentang kamu. Aku mengenalmu bukan dengan durasi singkat seperti satu tahun atau dua tahun. Namun hampir seperempat dari usiaku telah kuhabiskan bersamamu.
Pun sebelum menjalin hubungan sakral ini, kamu tahu persis bagaimana adanya diriku. Kekurangan yang selamanya tak bisa kuperbaiki, kamu tahu itu dan menyanggupi untuk menerima hal krusial itu. Lalu sekarang kamu lihat, kan? Hal yang kamu yakini itu juga akhirnya menjadi pemicu karamnya bahtera kita.
Kamu mulai merasa hambar di dalam rumah kita. Hingga pada akhinya aku pun malah merasakan kehangatanmu dari balik foto pernikahan kita daripada kenyataan yang kuhadapi sekarang. Bahkan di dalam rumah ini aku merasa seperti tamu yang menunggu kedatangan tuan rumahnya.
Kamu langsung melangkahkan kaki ke luar rumah tanpa berpamitan. Bahkan menyapapun tidak. Seringkali aku terbangun di pagi hari dan mendapatkan rumah ini begitu sunyi sepi. Sore setelah seharian bekerja, terkadang kamu langsung asyik dengan ponselmu sendiri atau membiarkan masakanku dingin karena kamu telah makan malam di luar rumah. Kemudian kudapati kamu sudah tertidur pulas tanpa mengecupku terlebih dahulu. Seperti yang biasa kamu lakukan dahulu. Di tahun pertama pernikahan kita.
"Sudah ku transfer uang bulanannya," ucapmu tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel.
"Temani aku buat belanja bulanan hari Sabtu nanti, ya?"
"Aku ada futsal."
"Ya sudah. Bagaimana kalau Minggu?"
"Aku ada golf sama atasan. Sendiri saja, ya?"
Perlahan aku tahu kamu sudah tidak lagi menemukan kebahagiaan di rumah ini. Aku menyadari kamu mencari semua itu di dunia luar yang perlahan akhirnya menenggelamkanku juga. Aku seperti terlupakan. Begitu pula dengan janji-janji yang kamu sematkan layaknya cincin di jemari ini.
Kamu bilang, kita akan melangkah bersama apapun keadaan kita. Namun pada kenyataannya kamu pergi begitu saja tanpa bertanya bagaimana bahagiaku. Jika kutanyakan keadaanmu, mulutmu memang mengucap kamu baik-baik saja. Tapi mata dan sikapmu tak bisa berbohong. Mereka begitu menggambarkan kehampaan.
Kendati demikian, aku tak bisa menyalahkanmu. Aku tak bisa menuntut banyak hal padamu karena aku pun tak bisa memberi kebahagiaan untukmu. Bahkan kusimpan sendiri luka hatiku ketika kudapati kamu yang diam-diam punya permaisuri. Nampaknya ia akan menggantikan takhtaku sebagai Ratu di rumah ini. Apalagi dengan perdebatan kita yang selalu menunjukkan bahwa masaku dihidupmu memang sudah menuju bab akhir.
Perih? Tentu. Hancur? Sudah pasti. Sakit rasanya ketika aku memutar kembali video pernikahan kita juga mengingat masa-masa dimana dulu kita berdua berjuang bersama. Aku ingin kembali ke momen itu. Momen yang sepertinya takkan pernah lagi kurasakan bersamamu. Aku rindu kamu yang dulu.
Andai kamu tahu. Sejak awal kamu membawaku masuk ke dalam rumah ini, tentu aku ingin memberikan kebahagiaan yang pada kenyataannya tak sanggup kuberi. Tentang rahimku yang tak pernah bisa melahirkan anak, yang menurutmu itu bukan masalah besar.
Hingga akhirnya kamu baru menyadari, rupanya kamu memang membutuhkannya. Yaitu gelak tawa anak-anak yang memberikan kehangatan hati dan rumah ini.
Kemana kamu yang dulu? Kemana diri kamu yang selalu menguatkan aku dan berkata bahwa kita berdua akan baik-baik saja karena hanya aku yang kamu inginkan? Kemana kita yang dulu? Namun lagi-lagi aku tak bisa menyalahkanmu. Semua itu di luar kuasa dan kendali kita berdua.
Jika saja sejak awal kamu tidak meremehkan keinginanmu untuk memiliki anak, mungkin kita akan lebih baik-baik saja meski berada di jalan yang berbeda. Andai saat itu bukan aku yang kamu pinang, niscaya kamu telah berperan sebagai seorang Ayah sekarang.
Apa mungkin aku memang tak bisa mengatasi kekuranganku dengan hal lain hingga kamu mencari hiburan dengan wanita itu? Namun jika melihat kilas balik, aku sudah memastikan hatimu untuk memilihku sebagai istri tanpa turut berperan sebagai seorang Ibu, walau fitrahku sebagai wanita pastinya ingin melihat senyum manis dari darah dagingnya sendiri.
Kini kurasa … mungkin kita sudah terlalu hancur. Bahkan sudah tak menemukan jalan untuk menyusunnya kembali karena kepingan itu melebur, tak berbentuk lagi.
Maka dengan itu, kuikhlaskan kamu untuk meminang wanita itu. Wanita yang barangkali dapat menghadirkan buah hati yang sejatinya kamu dambakan meski caramu menemukannya itu tergolong jahat dan keji.
Aku tak menemukan jalan lain. Kekuranganku terlalu besar hingga kelebihanku lainnya tak mampu melengkapi kehidupanmu. Meskipun rasanya sakit jika teringat dengan ucapan manismu dulu, namun tak ada lagi yang bisa kulakukan.
Aku menyerah. Kuberikan takhtaku pada wanita itu. Lagi pula sudah tak ada lagi kilauan cinta dan warna di dalam rumah ini, kan? Sejauh ini, hanya abu-abu yang tampak.
Namun sebelum kamu melakukannya, kuharap kamu membawaku pulang dengan utuh … layaknya pertamakali kamu menjemputku untuk satu atap bersamamu. ***
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”