[CERPEN] Pujian yang Tak Pernah Terucap

Andaikan saat ini Ayah masih hidup, mungkin aku akan mendengar pujian itu...

Malam ini El sedang asyik menyelesaikan naskah ceritanya di dalam kamar yang hanya berukuran 2.5 x 3 meter. Di kamar inilah tempat El banyak menuangkan perasaannya kedalam tulisan. Tiba-tiba, Ayah masuk begitu saja ke dalam kamarnya El. El yang terkejut tak sempat menyimpan naskah cerita yang dia buat. El tahu betul bahwa Ayahnya tak menyukai kebiasaan menulis El. Seketika itu juga, Ayah merebut naskah cerita ditangan El.

Advertisement

“Jangan Ayah. Jangan diambil naskah cerita, El.”

“Sudah berapa kali Ayah bilang ke kamu. Ayah tidak suka kamu jadi penulis. Jadi penulis itu tidak menghasilkan uang. Coba kalau dari dulu kamu belajar mungkin kamu diterima di sekolah negeri. Ayah malu El lihat kamu yang sekolahnya swasta melulu. SMP swasta terus SMA juga swasta. Atau jangan-jangan masuk universitas juga swasta. Mau ditaruh di mana muka Ayah, El!”

Ayah lalu merobek naskah cerita yang sudah El buat dengan susah payah tersebut.

Advertisement

“Ayah, sudah. Kasihan lihat anak kita, El.”

“Ibu ini selalu membela, El! Ini hasilnya kalau Ibu terus-terusan membela, El. El jadi anak pembangkang seperti ini. Dan kamu, El. Kamu contoh kakakmu Eki dan Egan itu. Mereka semua sekolah di negeri. Bahkan sekarang kakakmu diterima di universitas negeri. Ayah pengen kamu seperti kakak-kakakmu, El. Apa kamu bisa seperti mereka??”

Advertisement

El terdiam sejenak. Perkataan Ayah ada benarnya juga. Memang dari dulu El tak pernah bisa bersekolah di negeri. El selalu gagal test dan berakhir masuk sekolah swasta. Mungkin karena itulah Ayahnya selalu membeda-bedakan El dengan kakak-kakaknya yang lain.

“Kalau El berhasil mewujudkan apa yang Ayah mau, apakah Ayah akan memuji El? Ayah selalu memuji Kak Eki dan Kak Egan. El juga ingin dipuji sama Ayah. El akan buktikan kalau El juga bisa buat bangga Ayah.”

“Baik. Ayah terima syarat kamu. Tapi, kalau kamu tidak bisa mewujudkannya. Jangan harap kamu bisa menulis lagi. Kamu mengerti, El?”

Malam itu menjadi puncak pertengkaran antara El dan Ayahnya. Memang selama ini mereka berdua selalu bertengkar tapi tak pernah sehebat itu. Sepertinya, emosi Ayah sudah tak terkendali lagi saat ini. Ibu yang sedari tadi menyaksikan pertengkaran dua orang yang dikasihinya, tak kuasa melihat El menangis tersedu-sedu sambil memungut sisa-sisa naskah cerita yang baru saja dirobek sang Ayah.

“Bu, kenapa Ayah jahat sekali sama El? Apa salah jika El ingin jadi penulis, Bu?”

“Ayahmu itu orang yang baik, El. Hanya saja Ayahmu terlalu keras dalam mendidik. Ayah tak ingin kalau nantinya kamu hidup susah. Ayah ingin melihatmu berhasil. El pahamkan maksud ibu?”

“El paham dengan keinginan Ayah agar El bisa masuk universitas negeri. El sekarang lagi berusaha keras agar diterima universitas negeri, Bu. El ingin membuktikan pada Ayah kalau El juga bisa seperti kak Eki dan kak Egan.”

“Ibu percaya kamu, El.”

Sepertinya El harus mengubur dalam-dalam mimpinya untuk menjadi penulis. Saat ini El focus belajar agar dia bisa masuk universitas negeri. El sangat ingin mendengar pujian sang Ayah. Malam ini El belajar sampai larut malam.

“Belum tidur kamu, Dek? Ini sudah larut malam loh,” tanya kak Eki yang tiba-tiba masuk ke kamar.

“Bentar lagi, Kak. Nanggung nih.”

“Kakak perhatiin dari tadi kamu sudah berusaha keras untuk belajar. Belajar itu memang perlu, Dek. Tapi, jangan dipaksakan. Tubuhmu juga perlu istirahat.”

“Hmmm…Baiklah kalau kakak yang memaksa. Hehehe.”

Tiga minggu kemudian…

El sudah bersiap untuk mengikuti tes SBMPTN. Belajar dan doa sudah dilakukannya jauh-jauh hari. Tak lupa, sebelum berangkat El pamit kepada orang tuanya.

“Ayah, El pamit. Doain El lulus tes SBMPTN. El sudah tak sabar mendengar Ayah memuji El.”

“Semoga berhasil, Nak.”

“Yah, apa kamu tidak terlalu keras terhadap El? Kasihan El. Semenjak bertengkar denganmu. Dirinya selalu belajar sampai larut malam biar masuk universitas negeri sesuai harapan kamu.”

“Maafkan aku, Bu. Bukannya aku tidak suka El jadi penulis. Hanya saja aku tidak ingin El hidupnya susah kelak. El anak perempuan satu-satunya di keluarga kita. Ayah ingin dia juga berhasil seperti kakak-kakaknya. Kalau El berhasil toh nantinya El tetap bisa jadi penulis. Ayah percaya El pasti bisa, Bu. Jangan khawatir.”

Pengumuman kelulusan tes SBMPTN dipastikan dua hari lagi. El harap-harap cemas menunggu hasil pengumumannya. Malam itu, Ayah mencoba mendekati El yang sepertinya asyik dengan ceritanya.

“El, boleh Ayah masuk?.”

“Silahkan, Ayah. Ayah mau ngomong apa sama El?.”

“Sebelumnya Ayah minta maaf kalau sudah menyakiti hati El. Ayah benar-benar tidak bermaksud berbicara seperti itu. Ayah hanya ingin yang terbaik bagimu El. Ayah takut seandainya Ayah nggak ada nanti kamu bagaimana?.”

“Ayah kok ngomongnya seperti itu. Kayak orang mau meninggal aja.”

Dan Ayah hanya tersenyum.

“Terus kenapa Ayah bilang waktu itu malu punya anak seperti El. Apa karena El bersekolah di swasta? Nggak kayak kak Eki dan kak Egan yang dari dulu sekolah di negeri?”

“Soal itu Ayah minta maaf. Memang awalnya Ayah malu karena kamu bersekolah di swasta terus. Tapi, lambat laun Ayah sadar bahwa setiap anak memiliki kemampuan dan kelebihannya masing-masing. Toh, setiap sekolah sama saja. Mau sekolah negeri kek sekolah swasta kek kalau pribadinya males ya sama saja. Ayah percaya kalau El bisa seperti kakak-kakakmu.”

“Makasih banyak, Ayah. Terus apa Ayah masih marah kalau El tetap menulis?”.

“Apa pun yang kamu kerjakan selama itu baik dan bermanfaat bagi orang lain, Ayah nggak akan marah. Justru akan bangga kepadamu.”

Tibalah pengumuman yang ditunggu-tunggu. El berhasil menjadi peringkat pertama yang secara otomatis El diterima di universitas negeri favoritnya. El lalu pulang ke rumahnya untuk memberitahu kepada Ayahnya bahwa dia berhasil masuk universitas negeri. El tidak sabar mendengar pujian sang Ayah. Namun, tampak dari kejauhan El melihat bendera kuning tertancap di depan rumahnya. Jantung El berdegup kencang tak karuan. Siapa kiranya yang meninggal dunia? El masih harap-harap cemas. Belum sempat El berkata satu katapun. El langsung disambut tangisan Ibu.

“El, Ayahmu meninggal Nak.”

Bagai tersambar petir di siang bolong, El seakan tak percaya apa yang barusan Ibunya ucapkan. Pagi tadi ayah terkena serangan jantung. Padahal baru semalam El dan Ayahnya berbincang. Tubuh El lemas. Tangis El pun pecah tatkala dilihatnya tubuh kaku sang Ayah yang sudah tertutup kain. El segera memeluk tubuh kaku sang Ayah.

“Kenapa Ayah meninggalkan El secepat ini? El mau kasih tahu Ayah kalau El keterima di universitas negeri. Mana pujian Ayah buat El. Ayah sudah janjikan sama El kemarin. Bangun Yah, bangun. El mohon…”

Namun, semuanya sudah terlambat. Sang Ayah sudah pergi untuk selama-lamanya dan tak akan kembali lagi. Dan El tak akan bisa mendengar pujian dari sang Ayah. Padahal El sudah menunggu saat-saat sang Ayah berjanji untuk memberikannya pujian.

Namun, pujian itu hanyalah pujian yang tak pernah terucap dari Ayah untuk El. Walaupun El tahu seandainya Ayahnya masih hidup sekarang, pasti El akan mendengar pujian itu langsung dari sang Ayah.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Be thankful for what you have. And work hard for what you don't have