Air Mata di Jalan PulangÂ
Sebuah jawaban yang tidak sepenuhnya benar
Mengatasi kerinduan dengan bertemuÂ
Aku kecewa dengan pertemuan yang tidak mengatasnamakan kita padahal ada banyak cerita yang ingin kubagi atas nama "kita"Â
Di atas bus yang membawa langkah beratku setelah beri salam pisah lagi denganmu ituÂ
Tentu saja aku menangis!Â
Â
Di matamu, aku perempuan kuat – masih seperti itu; iya?Â
Air mata cuma hiasan?
Menggenang tanpa bisa diteteskan cuma di hadapmu
Kamu berpikir aku akan cepat baik-baik saja, bukan?Â
Tapi memang iya, aku menelan terima dengan lugas – mengikhlasÂ
Â
Aku menyesal dengan temu yang kamu ingin tapi aku yang perbuatÂ
Merusuh pikirku, ternyata katamu merusuh lebih padamu
Lagi aku yang mengalah
Padahal pada temu itu aku tak sama sekali membuat percakapan denganmu, bukan?Â
Bagaimana bisa kupingku yang sedang sakit menyaksikan kamu pergi padahal tanpa mendengar?Â
Oh, nyatanya bisaÂ
Air mata membuat aliran yang deras dan membuatku mengantuk di atas bus yang bawaku pulang
Sampai rumahÂ
Kupastikan jari-jariku memberitahumuÂ
Aku pun mengharap kamu jadi 'baik'Â
Meski di antara temu dan pulang ada air mata lagi yang kuhapus kenang atas peristiwa
Â
(Bus Ekonomi Jaya – Seperempat Jalan Menuju Pulang: Hanya Melihat Kekhawatiran di Ujung Temu Denganmu)
Â
Burung yang Kembali ke Sarang
Â
Burung-burung kembali ke sarangnya
Mereka telah penuh mengisi perut kosong bayi-bayi burung yang baru saja menetasÂ
Meski demikian, pada tiap detik kepakan kecil sayapnyaÂ
Mereka tak henti mengucap syukur atas segala hal yang diatur TuhannyaÂ
Â
Langit yang cerah ialah keberuntungan yang mereka harap tiap sempatÂ
Supaya pekerjaan saling menolong dapat terlaksana dengan baik dan selalu siapÂ
Sehingga hanya terungkap bahagia saat kembali ke sarang yang sengaja bebas mereka buat
Â
Kita tanpa "Kita"
Ada dinding-dinding pembatas tak kasat mata bernama kita
Berebut tanpa ada perlu diperebutkan
Aku yang disebut aku berhenti
Lalu menjulangkan jari tengah sebagai perlakuan yang paling gampang dilakukan
Ngeri, kita sama begidikÂ
Â
Tapi kamu yang sangat kamu maju-mundur tak hentiÂ
Â
Kita lari-lari
Menerjang yang katanya segala hal padahal, baru diberi tahu Tuhan itu sama dengan setitik embun pada daunÂ
Kita maki-memakiÂ
Seolah lihai dalam hal ini – alam yang sekarat menyerapahi lebihÂ
Katanya: kita tak tahu diri Â
-memang kalau tentang ini
Â
Sedikit aku, sedikit kamuÂ
Bumbu tanpa kita di antara kita ialah sadar keterbukaan dan keterbentukan tembok-tembok yang sedang terbangun mulai dari awal sebelum kita jadi jarang terlihat
Aku jadi menemukan ilhamku tanpa kitaÂ
Mungkin kamu yang sangat kamu pun demikian tanpa kitaÂ
Â
: batu telah terlempar dan tak akan bisa kembali
Pasir pantai telah bersih di ujung-ujung kaki yang jua sedikit luka diantaranya terkena air asin
Begitu binar renjana kita redupÂ
Aku dan kamu memastikan kita tak sempat lagi menanggung keberlanjutan – meski kala – kala – la : hilang bak tiupan geli angin
Â
Upaya jadi sedih, meski ia menyimpan baik atas dirinya
Cinta jadi sedih juga, meski ia selalu menyertai, tak pergi hanya ikut waktu kita masih lari-lariÂ
Apa mungkin dinding bernama kita yang tak kasat mata itu roboh sehingga membiarkan aku dan kamu menanggung keberlanjutan? – tanya tanpa kita di ujung lorong keajaiban kita
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”