RINDU MEMANG SELALU SEMBILU
Â
Tak ada yang lebih sembilu
Selain gugur pada musim semi
Dan doa-doa yang jatuh
Sebelum disemai
Â
Tak ada yang lebih pilu
Daripada gersang dalam basahnya hujan pagi
Dan harapan yang ditaruh
Pada kaki-kaki, dan diinjak sampai habis tiap sesari
Â
Ya namanya juga rindu
Memang selalu sembilu
Sejak jauh-jauh dulu
Tuhan sudah beritahu
Â
Â
TAHU TIDAK RASANYA MENCINTAIMU?
Â
Tahu tidak rasanya mencintaimu?
Seperti berdiri, di tanah kering, kemarau, dan tetiba
Hujan….
Debu, panas, menggelinjang, dihabisi, ditumbuki butir-butir hujan, bertubi-tubi, debu mati diganti wangi, petrichor
Â
Tahu tidak rasanya merinduimu?
Seperti berjalan, di padang kering, pada terik, matahari, membakar, menyengat, berkeringat, menguap, berkeringat lagi, menguap lagi, dan tetiba, hujan lagi
Debu mati lagi, dan wangi lagi
Â
Â
Â
Â
AKU PERNAH MEMINTAMU UNTUK DIRIKU
Â
Waktu itu, berbilang bulan dan purnama, beribu berlalu
Aku meminta dirimu untuk diriku
Di hadapan Maha Kasih dan saksi-saksi
Dan doa-doa yang diterbangkan, dilepaskan oleh tangan-tangan
Dari mereka yang senantiasa memikul janji-janji kita
Karena mereka tahu, mungkin kita bakal kewalahan, memanggulnya
Â
Tahukah kau betapa berbinar
Ratusan pasang mata dan doa-doa yang ditaruh di pundak kita
Doa yang sangat banyak, meluap-luap
Ditaruh di matamu, dimataku, di masing-masing pelupuknya
Â
Tapi sayang
Nyatanya pundak kita belum sekuat itu
Doa-doa pun jatuh
Berhamburan, berserakan, bemusnahan, tak bisa dipunguti
Â
Begitu pula dengan doa-doa
Yang ditaruh di matamu, mataku, dan di pelupuknya
Akhirnya jatuh, jadilah air matamu, air mataku
Maka mungkin memang begitu
Tuhan mengirim kita
Bukan untuk saling menjaga, sampai tibanya waktu
Melainkan untuk saling mengajarkan, pahitnya berpisah, luka, dan rindu yang bertemu, tapi tak menyatu
Â
Â
RINDU DAN TEPI-TEPINYA
Â
Mungkin kita harus saling menjauhi
Menutup diri
Karena memang rindu harus diberi tepi
Kasihan kita yang saling balas merindui, yang nyatanya tak diberi ampun sama sekali
Â
Rindu-rindu itu berhamburan, berserakan, tercerai-berai, terbuang dari sarangnya
Sungguh Tuhan tak pernah mau mengerti
Atau mungkin kita yang terlalu
Memaksa diri
Â
Begitulah rindu
Dia tak memilih-milih siapa yang hendak dibinasakan
Sampai habis
Bahkan yang memilih tak merindu
Nyatanya tetap saja dibuat rindu
Karena ia merindu
Masa dimana ia sepi tak merindui pula
Maka rindu, selalu dekat tak jauh, pada hati yang ramai, atau yang sepi
Dan terbuang
Â
BATAS-BATAS RASAÂ
Hidup yang diikutiÂ
dan mimpi-mimpi yang dijalaniÂ
bulan-bulan yang dihitungiÂ
dan rindu-rindu yang mau tak mauÂ
harus dilaluiÂ
Â
kita selalu samaÂ
seperti siapapun yang saling mencintaÂ
dan hati yang akan saling mengikutiÂ
dan luka-luka yang juga akan selaluÂ
membayangiÂ
Â
kita yang mencintaÂ
dan lukaÂ
dan bahagiaÂ
dan hidup yang memang tak melulu soal rasaÂ
Â
ini tentang kesadaran yang penuh dan seluruhÂ
bahwa harapan memiliki batasnya masing-masingÂ
hanya saja kali ini aku lupaÂ
memberi batasÂ
harapku padamuÂ
Â
KAMU SUDAH MENGAMBIL TERLALU BANYAK
Aku bukannya memusuhiÂ
Karena namamu abadiÂ
Menyusun bagian-bagian hati yang mencintai, merinduiÂ
toh, aku juga tak pandai membenciÂ
Â
pada awalnya aku tak bisa apa-apaÂ
cintaku selalu penuhÂ
tak peduli abaimu bikin jenuhÂ
tapi tahukah kau
ini semua terlalu lamaÂ
bila hanya untuk mencintai dan sibuk sendiriÂ
merindui dan tak pernah dirinduiÂ
Â
ini seperti pementasanÂ
kisahnya tentang cintaÂ
yang abadi, seumur hidup, sampai matiÂ
pemerannya aku sendiriÂ
penontonnya aku sendiriÂ
yang tepuk tangan aku sendiriÂ
alhasil aku jadi abadi dalam cintakuÂ
yang tak pernah jadiÂ
Â
maka maafÂ
aku sudah mantapÂ
pergilahÂ
kamu sudah mengambil terlalu banyakÂ
Â
Â
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”