Kebanyakan Garam Jadinya Pahit
Beberapa waktu lidahku kelu sebab
masakan Ibu kurang menyatu.
Alam sudah menyediakan berbagai macam
bahan pangan di sudut ruang paling gelap,
kunamai malam. Ia berlarian ke sana
kemari mencari kitab suci. Merangkum
kata-kata yang dibisikkan angin dan
dijatuhkan begitu saja oleh hujan.
Titisan setan ternyata masih bisa merajut
asa dengan alat tenun berupa bahagia.
Yang di dalamnya ia sematkan beragam
bentuk dewa-dewa agar manusia
mencintainya dengan saksama dan
dalam tempo yang selama-lamanya.
Pagi itu hanya tipuan bulan April agar
siasatnya tidak diketahui siapa pun.
Sejak awal Ibu sudah curiga dengan semua
gelagat busuknya. Oleh sebab itu,
Ibu mengajarkan bahwa rasa syukur
juga bisa disajikan dengan pahitnya garam dapur.
Di Tepi Sudut Alun-alun
Empat titik yang kuukur sejauh kaki melangkah. Lelah
tidak mengutuk diri ketika sudah tahu arti. Petang dan
kedatangan bilur selepas senja. Gelap
juga pengap di dalam dada.
Aku ingin tutup mata saja, melintasi celah
di antara mega. Berharap mimpi
terwujud tanpa usah merajut. Cahaya menertawai
harapku yang cemas sewaktu-waktu.
Kali kedua aku kemari, dulu
aku ke sini menikmati kepergian senja. Kini
aku kembali meratapi kepulangan,
menghadapi kehilangan. Tidak di sebelah
meja dengan kopi. Aku ingin beda. Di sudut lain
mengepul asap, menepi dari keramaian.
Satu jam dari sekarang, aku berwajah lain
melebur bersama tawa mereka dan berusaha lupa.
Nurmansyah Amirudin
@syahami
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”